Oleh: Raidah Athirah
Kontributor Islampos, Tinggal di Polandia
“DAN bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” [Q. S. An Nuur : 31]
Musim semi ada di sini. Pepohonan yang tadinya kering mulai nampak hidup. Kuncup-kuncup yang malu menunjukkan semangat kehidupan.
Musim terus berganti tapi tak semua beruntung menemukan hidayah di tengah hidup yang semakin ramai tapi gersang dalam hati.
Warsawa tak ubahnya ibukota yang lain, orang-orang yang sibuk bergerak menggapai mimpi dan sebagian besar yang bingung bergelut dengan masalah hidup yang tak pernah habis.
Saya bersyukur dipertemukan dengan orang-orang yang senantiasa mengingatkan pada kehidupan yang kekal, akhirat.
Hari Jumat adalah waktu dimana saya meneguhkan hati untuk datang walau hanya mendengarkan khutbah.
Kesibukan merewat putri ABK, kerja dan ambisi mengejar mimpi dunia seakaan tak pernah berhenti.
****
Setiap orang punya musuhnya sendiri. Pada akhir Desember, qadarAllah, saya jatuh sakit. Bukan sakit biasa tapi sakit yang tak bisa dinamai.
Tubuh saya menggigil. Demam mencapai puncak 40 derajat. Dan saya sendiri di negeri ini tanpa suami dan keluarga.
Saat itu saya pikir maut akan menjemput. Tenggorokan saya terbakar. Beberapa hari kemudian telinga berdengung dengan bunyi dentuman tak henti-henti. Tidak sampai di situ, nafas saya tersenggal putus-putus.
Suami masih di Norwegia bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup yang kian hari meningkat.
Malam dimana saya sendiri, saya menatap putri saya dengan perasaan paling terkasih. Penyesalan yang banyak. Jantung teriris. Kalau benar-benar ini akhir hidup saya di negeri ini kiranya Allah mengampuni semua dosa dan salah.
Saya hampir menyerah. Pandangan halusinasi mulai muncul. Air tak mampu masuk ke ruas-ruas mulut. Makanan jangan ditanya. “Penyakit macam apa ini?” saya bergumam dalam hati.
Di titik nadir pada malam gelap nan buta, saya melangkah tertatih ke dapur dan mencari obat penurun panas, paracetamol. Menelan air saya rasakan seperti duri-duri yang menusuk dinding tenggorakan.
Ini pilihan hidup yang telah saya pilih maka sudah tak ada lagi waktu untuk mengeluh. Menikah dengan orang asing dan menjalani hari-hari dalam keterasingan haruslah sudah bukan lagi sesuatu yang harus dipermasalahkan.
Rasa sakit kian berulang-ulang. Saya meneriakkan kalimat Allah sebagai titik pasrah sebelum saya tak sadarkan diri.
“Allahu Akbar.”
“Laa haula walaa quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adziim.”
Saya tak ingat sudah berapa lama saya jatuh pingsan ketika suara tangis putriku terdengar menyayat dan hanya satu panggilan saya terbangun.
“Mama!”
Mungkin ini yang dinamakan kasih sayang, rahmat Allah yang diikatkan ke bumi antara seorang Ibu dan anak.
Kasih ini yang membuat semangat menyala.
Ketika suami bekerja maka tak ada alasan beliau meninggalkan tempat kerja sekalipun keadaan darurat. Hal ini karena tempat kerja beliau berada di tengah laut.
Dua minggu sudah waktu berlalu, saya memberanikan diri mengirim pesan singkat kepada Ibu mertua dan meminta tolong untuk menjaga Aisha.
Pandemik belum datang, hari masih terlihat seperti biasa. Januari sudah di tengah-tengah. Tubuh lesu saya paksa menaiki bus ke arah Legionowo. Pandangan orang sesekali memandang ke arah wajah. Tak bisa dipungkiri semakin ke sini, bentuk wajah oriental semakin kentara. Dengan mata sipit dan kulit yang semakin terang saya tak ada bedanya dengan orang Cina.
Kursi di samping saya tetap kosong sampai saya tiba di tempat klinik. Saya mendaftarkan diri dan duduk menunggu giliran dipanggil. Pada bulan itu orang-orang yang sakit sudah terlihat banyak.
Dada saya terasa terbakar. Saya bertahan selamat dua minggu dengan paracetamol karena paracetamol telah habis dan kondisi saya masih demam yang membuat saya harus mengunjungi dokter.
Dokter tua yang saya perkirakan seumuran dengan Ibu saya memanggil marga keluarga suami, “Pisarzewska?”
Kaki melangkah ke ruangan dan pandangan lesuh terus mengikuti retina. Kami berdiolag dalam bahasa Polandia yang terdengar lambat di telinga saya saat itu.
Pemeriksaan itu tak ubahnya wawawancara. Dokter lembut itu bertanya tentang asal dan menanyakan apakah saya pernah menginjakkan kaki di tanah Cina.
Saya menjawab bahwa hampir 3 tahun lebih saya tidak keluar dari wilayah Polandia. Beliau kemudian mendiagnosis saya mengalami infeksi tenggorokan. Saya juga ditanya apakah mengalami flu. Saya memang batuk tapi saya tidak ada tanda-tanda orang yang terkena flu.
Pemeriksaan selesai. Beliau menasihati saya untuk tidak kemana-mana. Penggunaan paracetamol setiap 8 jam sekali dan saya diharuskan memakai masker ketika keluar.
Saya juga diberikan beberapa resep obat dan dinasihatkan untuk banyak mengomsumsi madu dan memperbanyak minum air jahe.
Atas izin Allah saya berangsur-angsur sembuh tapi dengan kondisi kulit terbakar dan rambut saya semuanya rontok bak musim gugur.
Ada perasaan lain muncul. Saya merasa seperti seseorang yang baru. Senyum masih ada tapi ketenangan semakin tersebar di alam pikiran
***
Februari datang tapi hawa dingin masih menusuk. Abu Aisha sudah kembali ke rumah. Saya mempersiapkan diri untuk keluar dari pekerjaan.
Menata hari baru untuk bersyukur.
Tempat saya bekerja memang tak jauh dari Islamic Center Warsawa. Setelah menyelesaikan urusan pekerjaan, saya singgah ke Masjid. Menyendiri.
Rasanya telah lama saya tak berkunjung selain hari Jumat. Pandemik belum menyebar seperti saat ini.
Ketika saya membuka pintu masjid, terdengar suara tangis sesenggukan. Entah masalah apa yang gadis itu alami.
Saya tak berani menoleh dan langsung mengenakan mukena lusuh untuk menunaikan shalat dzuhur.
Selesai shalat saya memberanikan diri untuk mendekat. “Salamualaikum sister, are you okay?” (Salamualaikum ukhti, apakah kamu baik-baik saja)
Ia menyeka sisa-sisa air mata dan memandangi wajah saya dengan raut agak terkejut. “Wailaikum Salam. Well, I’m okay!” (Wailaikum Salam. Yah, saya baik-baik saja)
Ia mencoba tersenyum. Saya katakan kalau Ia masih ingin menangis saya akan meninggalkannya. Mungkin itu lebih baik.
Tapi di luar dugaan Ia mulai nampak ceria. Gadis dengan lesung pipi dan kulit itam manis itu mulai memperkenalkan diri. Ia seorang mahasiswi yang sedang menempuh program master.
Tanpa banyak hal yang saya tanyai, ia dengan leluasa bercerita. Ia berkata untuk pertama kalinya ia bertemu seseorang yang bisa ia curahkan perasaannya. Saya hanya tersenyum dan mencoba mendengarkan dengan sabar.
Perlahan saya mulai pahami kenapa tangisnya pecah. Ayahnya baru saja meninggal. Dan Ia sendiri memutuskan berpisah dengan pacarnya yang asli Polandia. Alasannya, perbedaan cara pandang sungguh berbeda. Dan yang lebih berat ialah gadis ini tetap ingin hidup sebagai seorang Muslimah.
Kalimat terakhir ini membuat saya terhenyak. Tak mudah mêmegang teguh prinsip di tengah kepungan dasyat fitnah dan godaan masa muda untuk hidup bebas tanpa nilai.
Seks sebelum nikah, dugem dan minum-minuman alkohol adalah hal yang terlihat akhir-akhir ini. Kenyataannya, ada banyak sekali hal yang terjadi yang tidak pernah kita bayangkan. Tapi, sungguh pintu taubah seluas langit dan bumi.
Saya pribadi tak ingin mencampuri urusan orang lain kecuali orang tersebut dengan suka rela meminta nasihat. Namun, pertemuan adalah takdir. Saya yang banyak dosa ini berusaha mengingatkan dengan kata-kata yang saya punya kiranya Allah meneguhkan hati saya dan mengobati lukanya yang sedang menganga.
Tak terasa obrolan yang tidak direncanakan itu membawa kami makin dekat. Saya sangat sangat paham rasa kehilangan yang sedang ia rasakan. Saya mengalami hal yang sama ketika sedang menempuh studi di Bandung.
Tapi lagi-lagi, hal-hal yang terjadi dalam hidup adalah tanda kasih sayang-Nya.
Siapa mengira bulan berikutnya kehidupan diterjang badai pandemik. Dan isolasi itu nyata.
Dunia boleh terisolasi dan manusia berada dalam suasana seakan-akan terkunci tapi hati seorang Muslim harusnya senantiasa hidup sebelum pintu taubah tertutup dengan datangnya kematian.
Selamat menjalani Ramadan dari rumah masing-masing. []
Polandia, 23 April 2020