Oleh: Adilia Rahayu
Mahasiswa Sekolah Tinggi ekonomi Islam SEBI
yayuadilia@gmail.com
FENOMENA COVID-19 yang ramai sejak akhir 2019 lalu belum kunjung reda, malah jumlah pasien terdamapak dan angka kematian akibat virius ini kian meningkat dari hari ke hari. Belum ada ahli kesehatan yang tau pasti akan sebanyak apa jumlah korban yang jatuh akibat terinveksi COVID-19, juga belum tahu pasti kapan virus ini berkahir.
Namun Guru Besar Statistika Fakultas MIPA UGM Prof. Dr. Rer. Nat Dedi Rosadi S.Si., M. Sc memprediksi wabah COVID-19 akan berakhir pada akhir Mei pertengahan tahun ini. Seiring itu dampak COVID-19 terhadap perekonomian makin terasa menghawatirkan baik di dunia maupun di Indonesia.
Di Indonesia sendiri indeks bursa saham anjlok, rupiah melorot, dan pelaku di sektor riil mulai kesulitan. Banyak pihak yang telah memprediksi mulai dari lembaga keuangan dunia, ekonom luar dan dalam negeri, otoritas pemerintahan yang menyatakan jika tidak mengatasi dengan benar pandemi ini ekonomi Indonesia bisa masuk dalam skenario terburuk.
Mengutip Bloomberg, pelemahan rupiah menjadi yang terdalam di Asia. Itu juga merupakan yang terendah sejak krisis 1998. Hari berikutnya, rupian hanya menguat 0,45 % ke level 16.500 per dolar AS. Selain itu, berbagai aktivitas diberbagai sektor industri terganggu mulai dari pariwisata, industri pengolahan, perdagangan, transportasi dan tak terkecuai perbankan.
Sektor perbankan dibayang-bayangi oleh risiko kredit seret dan pengetatan margin bunga bersih (NIM). Mengutip dari katadata.com. Tim analis Moody’s menyatakan kualitas kredit akan menurun meski restrukturisasi, atau upaya perbaikan yang dilakukan dalam kegiatan pengkreditan terhadap debitur yang mengalami kesulitan memenuhi kewajibannya, bisa memberikan sedikit dukungan. Namun tekanan pada profitabilitas perbankan akan sulit dihindari.
Di sisi lain, pemangkasan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia akan menekan margin bunga bersih (NIM). Lalu bagaimana dengan Bank Syariah yang sebagai mana kita ketahui dalam sistem oprasionalnya bank ini tidak mengandalkan bunga namun melalui sistem bagi hasil. Apakah perbedaan sistem ini akan membuat Bank Syariah mampu bertahan di tengah badai prekonomian COVID-19, ataukah hal tersebut justru tidak berpengaruh apapun?
Pada sisi penyaluran kredit, bank syariah ataupun bank konvensional akan sama sama mengalami pelambatan. Bagaimana tidak, penyaluran yang lambat ini terjadi karena permintaan dari pelaku-pelaku usaha maupun perusahaan yang sangat rendah.
Di tengah maraknya COVID-19 ini banyak perusahaan terpaksa menghentikan produksi, yang akhirnya perusahaan tidak mendapatkan pendapatan, maka berpengaruh pada profit yang dihasilkan, lalu berujung pada solvabilitas atau kemampuan perusahaan untuk memenuhi semua hutang (kewajibannya).
Selanjutanya pada sisi margin bunga bersih (NIM) menjadi risiko serius yang membayang-bayangi perbankan di Indonesia. Margin bunga bersih atau Net Interest Margin (NIM) adalah selisih pendapatan bunga yang didapatkan oleh bank dengan bunga yang dibayarkan kepada pemberi pinjaman.
Margin bunga bersih (NIM) dihitung dengan mengurangi pendapatan bunga dengan beban kemudian dibagi dengan total asset produktif. Semakin besar NIM, maka tingkat profitabilitas bank akan semakin besar, atau dengan kata lain kemampuan dalam menghasilkan laba semakin besar.
Celakanya, dalam kondisi perekonomian ditengah pandemi seperti ini mengakibatkan pendapatan kredit menurun tidak diikuti dengan penurunan biaya bunga untuk deposan.
Hal tersebut membuat perbankan Indonesia tidak luput dari terkoreksinya laba dan pengetatan margin bunga bersih (NIM) sebab rata-rata perbankan di Indonesia masih bergantung pada pendapatan bunga yang mana ketika suku bunga berubah, maka pendapatan bunga juga akan berubah. Tapi tidak untuk perbankan syariah.
Bank syariah dalam operasionalnya mengharamkan bunga (riba) dan mengantinya dengan system bagi hasil. Besaran ratio bagi hasil ini di tentukan di awal akad dan akan dijalankan hingga akad selesai (akhir perjanjian) berbeda dengan bank konvensional dimana suku bunga di bank konvensional bisa berubah rubah sesuai suku bunga Bank Indonesia.
Sistem bagi hasil inilah yang menjadi pembeda sekaligus diperkirakan dapat menjadi keunggulan dibandingkan dengan bank konvensional. Sebab, dengan adanya sitem bagi hasil kondisi keuangan bank syariah akan lebih elastis karena tidak bergantung pada bunga.
Besaran laba Bank Syariah bergantung pada keuntungan yang didapat pihak bank, dimana akan meningkat seiring peningkatan keuntungan bank syariah tersebut, begitu sebaliknya. Berbeda dengan bank konvesional dimana persentase bunga yang harus diberikan bank kepada nasabah penyimpan dana tetap, baik bank sedang mengalami keuntungan tinggi ataupun rendah.
Jadi, dalam kondisi bagus bank syariah memperoleh keuntungan yang besar sebab usaha nasabah pun bagus, nasabah penyimpan dana juga akan mendapat keuntungan yang besar karna menggunakan sistem bagi hasil. Namun dalam kondisi kurang bagus seperti ditengah pandemi saat ini, ketika keuntungan usaha nasabah mengalami penurunan maka besaran kewajiban bank syariah dalam memberikan bagi hasil kepada penyimpan dana ikut menyesuaikan.
Sedangkan pada bank konvensional ketika pendapatan bunga kredit menurun tidak diikuti dengan penurunan biaya bunga untuk deposan, itulah yang menjadi masalah bagi bank konvensional. Maka diperkirakan bank syariah bisa lebih mampu bertahan di tengah gejolak ekonomi akibat pandemi COVID-19.
Meski begitu, tetap diperlukan langkah langkah mitigasi untuk menahan dampak COVID-19 terhadap ekonomi dan bisnis yang semakin parah. Sebagai bentuk antisipasi kredit seret baik pada bank syariah ataupun konvensional dapat dengan memperketat filter dengan lebih selektif melakukan penyaluran terutapa pada sektor sektor yang terdampak langsung COVID-19, serta memperketat persyaratan pengajuan kredit agar tidak terjadi pemburukan kualitas kredit, jangan sampai pinjaman dan angsuran memberatkan nasabah untuk membayar.
Selanjutnya dapat fokus ke nasabah yang ada, agar dapat berkomunikasi secara cepat tanggap mengenai kondisi nasabah. Hal lain yang dapat dilakukan untuk meringankan risiko bank yaitu dengan memanfaatkan stimulus yang dikeluarkan olah Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dengan adanya POJK No.11/POJK.03/2020 bank syariah dan bank konvensional akan sedikit terbantu dalam pencadangan penyisihan penghapusan aktiva produktif.
Dan terakhir, jika pandemi ini tidak segera berakhir semua pihak harus selalu siap dengan kemungkinan terburuk. Namun, semoga kondisi ini cepat membaik dan semua pihak dapat sama-sama bangkit lagi. []
Referensi
-https://katadata.co.id/telaah/2020/03/26/ekonomi-indonesia-dalam-skenario-terburuk-akibat-virus-corona.
-https://kumparan.com/suhail-eresmair/pandemi-covid-19-menguji-bank-syariah-menghadapi-krisis-1t8zaV1I0Ll.
Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi di luar tanggung jawab redaksi.