SYDNEY — Selandia Baru dituntut bekerja lebih keras dalam mengawasi penyebaran informasi di internet. Sebab baru-baru ini, sebuah permainan video atau video game yang menampilkan cuplikan pembantaian umat Islam di Christchurch beredar di internet. Muncul pula meme wajah dan senjata pria yang didakwa atas serangan di dua masjid di ChristChurch, Selandia Baru. Pria yang menewaskan 51 muslim dan melukai puluhan lainnya itu bahkan dipanggil St Tarrant dalam sebuah forum daring.
Padahal, Selandia Baru bekerja keras agar nama teroris itu tidak muncul di berita. Hal itu untuk membatasi penyebaran ideologi kebencian yang digaungkannya melalui serangan keji itu. Namun cuplikan video game, meme, dan pesan kebencian dari teroris ‘supremasi kulit putih’ itu masih mengisi sudut-sudut gelap internet global.
“Internet adalah lingkungan yang sangat kompleks dan kasar dan pemerintah, terutama pemerintah kecil, tidak memiliki ‘kartu’ sebanyak yang ingin mereka mainkan,” kata Ben Buchanan, pakar keamanan dunia maya yang mengajar di Universitas Georgetown, seperti dilansir dari New York Times, Sabtu (6/7/2019).
Sebelumnya, Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern menyatakan dia tidak akan pernah mengucapkan nama pelaku teror di dua masjid di Christchurch itu. Dia juga berjanji akan melakukan apa pun yang dia bisa untuk mencegah pandangan teroris tersebut dari merebut perhatian publik.
Tak lama setelah peristiwa serangan teror, pemerintah Selandia Baru juga melarang membagi atau melihat manifesto setebal 74 halaman yang diyakini telah ditulis pelaku. Negara itu juga menyatakan menyebarkan video yang dimaksudkan untuk menunjukkan pembantaian adalah termasuk bentuk kejahatan. Lebih dari 10 orang telah secara resmi merasakan bentuk kongkrit dari peraturan tersebut berupa tuntutan dan dakwaan.
Ardern juga menggagas Christchurch Call, untuk meminta perusahaan teknologi seperti Facebook, Google, Twitter dan Youtube, berbuat lebih banyak untuk mengekang konten kekerasan dan ekstremis. Ardern mencatat pemerintahnya dapat mengubah undang-undang senjata dan mengatasi rasialisme dan kegagalan intelijen.
“Namun kami tidak dapat memperbaiki penyebaran konten kekerasan secara online oleh kami sendiri,” katanya.
Sebanyak 17 negara dan Komisi Eropa, serta delapan perusahaan teknologi besar, telah menandatangani seruannya. Dan akhir pekan lalu, para pemimpin di KTT G-0 di Osaka, Jepang, mengeluarkan permohonan mereka sendiri kepada perusahaan teknologi. Mereka menyatakan dalam sebuah pernyataan aturan hukum berlaku online seperti halnya offline.
BACA JUGA: Teroris Pembantai Muslim di Selandia Baru Dikenakan Tudingan 50 Pembunuhan
Facebook mengatakan streaming langsung dari serangan Christchurch terlihat oleh kurang dari 200 pengguna, tetapi video serangan yang diposting kemudian ditonton oleh 4.000 orang lain. Platform tersebut juga memblokir lebih dari satu juta unggahan pada hari-hari setelah serangan itu. Tidak jelas berapa banyak unggahan yang telah dicoba dalam beberapa bulan sejak itu.
Namun, video game yang mengadaptasi rekaman Christchurch konon masih dibagikan secara online. Permainan yang dimodelkan pada permainan penembak orang pertama itu melacak pria bersenjata yang memasuki masjid, menggambar senjata dan membunuh siapa pun yang menghalangi jalannya. []
SUMBER: NEW YORK TIMES