Oleh: Nazirah Ahmad
Penulis adalah Guru Pesantren Husnayain, Sukabumi
Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang memiliki akal. (QS. Yusuf (12) : 111)
Pikirkanlah dengan dalam..! Betapa jauh perbedaan latar belakang wanita Aceh 358 tahun yang lalu itu dengan perjuangan wanita zaman sekarang.
Mereka itu didorong oleh semangat jihad dan syahid karena ingin menegakkan agama Allah dengan kaum laki-laki, jauh daripada arti yang dapat kita ambil dari gerakan emansipasi wanita atau feminisme zaman modern sekarang ini. (Kekaguman Buya Hamka atas keteguhan Cut Nyak Dien).
Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah melupakan sejarah bangsanya oleh karena itu belajarlah dari sejarah
Sejarah perempuan Indonesia bukah hanya membincangkan peran perempuan yang menuntut pendidikan dan kesetaraan di segala bidang, melainkan juga mengenai sejarah para perempuan yang pernah menjadi pemimpin sebuah kerajaan, negarawan maupun pemimpin militer. Di Aceh, misalnya sebut saja Laksamana Malahayati atau Ratu Nihrasiyah Chadiyn. Tetapi, jika kita maju hingga akhir abad ke-19 di masa Aceh berperang melawan penjajahan Belanda, maka kita akan bertemu dengan Cut Nyak Dien, Cut Meutia, dan Teuku Fakinah. Sayang, sejarah perjuangan mereka nyaris dilupakan bangsa.
Tentu kita bertanya, mengapa Aceh memiliki begitu banyak tokoh perempuan dalam melawan kaum imperialis? Menurut Teuku H. Ainal Mardhiah Aiy dalam artikelnya yang berjudul “Pergerakan Wanita di Aceh Masa Lampau sampai Masa Kini”, dijelaskan mengenai kedudukan perempuan di Aceh pada masa lampau. Perempuan Aceh diberi kesempatan dan penghargaan yang luar biasa untuk ikut serta dalam lembaga-lembaga negara serta kancah pertahanan karena Pemerintah Kerajaan Aceh Darussalam mengambil Islam sebagai dasar negaranya dan Kanun serta Hadits sebagai sumber hukumnya. Oleh karena itu, perempuan setara dengan laki-laki dalam kehidupan masyarakat dan bernegara. Maka adalah hal yang wajar jika banyak tokoh perempuan yang bermunculan dan berperan sama pentingnya dengan laki-laki di Aceh.
Pada kesempatan kali ini, kita akan membahas salah satu pahlawan perempuan Aceh yang telah disebutkan di atas, yaitu Cut Nyak Dien. Siapa yang tidak kenal beliau dalam perjuangannya mengusir penjajah? Insya Allah masyarakat dalam negeri ini mengenalnya. Akan tetapi, adakah yang mengetahui mengapa beliau sangat gigih melawan penjajah? Hal inilah yang kurang atau bahkan tidak diketahui oleh banyak orang.
Cut Nyak Dien adalah keturunan dari bangsawan puteri Nanta Seutia Raja Ulebalang VI Mukim. Berwajah cantik, baik budi pekertinya, tangkas tingkah lakunya, dan mempunyai watak yang luar biasa menjadi kata yang pas disematkan pada Cut Nyak Dien.[1] Nanta Seutia mengharapkan putrinya menikah dengan seorang yang mencintai negaranya. Maka, Cut Nyak Dien akhirnya menikah dengan Teuku Ibrahim Lamnga. Teuku merupakan seorang pahlawan yang memimpin peperangan melawan kolonial Belanda. Keduanya merupakan pasangan serasi dalam kepribadian, yaitu tegas dan tangkas dalam menyikapi “Kaphe (kafir) Belanda” yang merupakan musuh agama dan negara.
Perjuangan Cut Nyak Dien melawan Belanda hadir dalam bentuk upaya mengajar para wanita dalam hal mendidik bayi dan menanam semangat kepahlawanan melalui syair-syair yang menanam semangat jihad kepada anak-anak mereka. Ketika peperangan semakin memanas, Cut Nyak Dien terus menggembleng semangat para pejuang perempuan untuk turut serta membantu peperangan. Pun, ketika Teuku Ibrahim Lamnga gugur (29 Juni 1878), Cut Nyak Dien tidak larut dalam kesedihan dan berputus asa, melainkan sebaiknya beliau merasa bangga atas kemuliaan suaminya yang syahid.
Seiring dengan berjalannya waktu, Cut Nyak Dien akhirnya melepaskan status jandanya. Kali ini pria yang dinikahinya adalah Teuku Umar yang setelah pernikahan diangkat menjadi panglima perang. Ketika banyak daerah yang telah dikuasai oleh Belanda dan Belanda menyatakan damai, banyak Hulubalang yang menyerah damai. Namun, Cut Nyak Dien tetap tegas menyatakan pantang tunduk. Atas kegigihannya mengobarkan semangat jihad, banyak para pahlawan kian bersemangat dalam berjuang mengusir Belanda untuk secara teratur munudr dari Jawa pada tahun 1873.
Setelah peperangan tersebut, Cut Nyak Dien pulang ke kampungnya, Lampisang. Sampai di Lampisang, ia menggantikan kedudukan ayahnya yang sudah lanjut usia sebagai Hulubalang VI Mukim. Selain memegang tampuk pemerintahan, Cut Nyak Dien juga mengatur siasat untuk menentang Belanda dari dalam rumahnya yang dijadikan “Markas Besar”. Cut Nyak Dien pun terus berusaha mengubah paham suaminya agar tidak berdamai dengan Belanda. Hal ini akan terlihat jelas saat Teuku Umar menyebrang ke pihak Belanda.
Teuku Umar mengajukan penyerahan diri dan menyatakan siap membantu Belanda mengamankan Aceh Besar yang diikuti sikap Jenderal C. Deijkerhoff untuk meneliti kesungguhan suami Cut Nyak Dien tersebut. Pada bulan Agustus 1893, Teuku Umar dengan menggunakan kebijaksanaannya berhasil mengamankan Mukim XXV untuk membuktikan kesungguhannya. Deijkerhoff pun merasa puas atas sikap Teuku Umar dengan menerima penyerahan dirinya. Pada tanggal 30 Sempetember 1893, Teuku Umar bersama 15 orang panglimanya menyatakan sumpah setia di hadapan Deijkerhoff dalam sebuah upacara.[2] Gelar Johan Pahlawan Panglima Besar Hindia Belanda didapatkan pada upacara ini. Teuku Umar juga diberi sebuah rumah besar, diangkat sebagai pejabat pemerintah, dan mendapatkan gaji. Selama 3 tahun Teuku Umar berada di pihak Belanda, dan selama itu pula Cut Nyak Dien tetap tegas melawan Belanda dan berusaha mempengaruhi suaminya untuk tidak terus melanjutkan taktiknya.
Adalah Teuku Fakinah, seorang pejuang wanita yang selalu gigih melawan Belanda. Teuku Fakinah memiliki hubungan yang erat dengan Cut Nyak Dien karena keduanya saling membantu ketika peperangan. Saat Teuku Fakinah mendengar berita mengenai Teuku Umar, ia memikirkan bagaimana caranya supaya Cut Nyak Dien dapat mempengaruhi suaminya untuk kembali ke jalan yang benar. Maka Teuku Fakinah mengirim Cut Nyak Dien surat berisi permintaan agar suaminya menyerang benteng-benteng Inong Bale. Tujuannya agar dia tahu keberanian wanita Aceh yang terdiri dari janda-janda. Melihat kondisi tersebut, Cut Nyak Dien tersadar dan mengirim surat balasan pada Teuku Fakinah yang berisi harapan agar Allah mengembalikan langkah Cut Nyak Dien dan Teuku Umar ke jalan semula.
Teuku Umar mendapati bahwa walaupun berada di pihak Belanda, ia mengalami kesulitan untuk mengubah langkah Belanda agar menguntungkan pihak Aceh. Menyadari hal tersebut, maka Teuku Umar berencana untuk kembali berbalik melawan Belanda setelah mendapatkan senjata tambahan, yaitu 380 pucuk senapan achterlaad, 25.000 peluru Beamont, 120.000 slaghoedjes, 5.000 kg loods, dan uang $18.000. Setelah kembali ke pihak Aceh, Teuku Umar bersama Cut Nyak Dien melancarkan perang gerilya. Saat perang inilah, Teuku Umar meregang nyawa. Ia syahid dalam sebuah pertempuran. Berita syahidnya Teuku Umar sampat membuat Cut Nyak Dien terpaku. Namun tak lama berselang, kebanggan tersirat dalam dirinya karena sejatinya Teuku Umar meninggal dalam kondisi syahid.
Pasca syahid suami keduanya inilah Cut Nyak Dien bersumpah: “Demi Allah, selama Pahlawan Aceh masih hidup, peperangan tetap kuteruskan guna kepentingan agama, kemerdekaan bangsa, dan negara.”[3] Cut Nyak Dien pun meneruskan perjuangan suaminya dan bergerilya selama enam belas tahun di tengah hutan.
Pada tanggal 6 November 1905, Belanda menyerbu ke hutan, tempat di mana Cut Nyak Dien bersembunyi. Dalam serbuan itu situasi menakdirkan Cut Nyak Dien tertangkap. Dalam kondisi yang lanjut usia dan tidak kuasa lagi melawan Belanda, perempuan pemberani itu mencabut rencong di pinggang pendukungnya lalu dihadapkan ke dadanya. Sebelum rencong tersebut menikam dadanya, Letnan Van Vuuren secepat kilat merampas rencong dari tangannya. Akibat perbuatannya, Van Vuuren membuat marah Cut Nyak Dien yang berkata, “Jangan kau menyinggung (menyentuh) kulitku, kafir!”[4] Versi lain menebutkan bukan Van Vuuren yang menangkap lengan Cut Nyak Dien, melainkan Panglima Laot, pengikut Cut Nyak Dien yang selalu menasehati pahlawan perempuan tersebut untuk menyerah pada Belanda.
Panglima Laot-lah yang melapor kepada Belanda mengenai posisi Cut Nyak Dien. Panglima Laot melapor akibat ia tidak tahan lagi melihat kondisi Cut Nyak Dien yang begitu menyedihkan. Ketika Panglima Laot menangkap tangan Cut Nyak Dien agar melepaskan rencong, Cut Nyak Dien marah dan menjeritkan hinaan: “Cis, kau pengkhianat!” Cut Nyak Dien juga berkata kepada Kapten Veltman: “Kau kafir jahanam, tembak saja aku! Di Meulaboh pun kau nanti akan membuangku ke laut.”[5] Dari perkataan Cut Nyak Dien ini, kita dapat menyimpulkan bahwa walaupun dalam keadaan terdesak, beliau tidak begitu saja takut dan menyerah. Beliau terus melawan, walau kemungkinan untuk menang sangat kecil. Sikap beliau terhadap Belanda sama sekali tidak berubah, tetap tegas menghadapi mereka.
Alhasil, Cut Nyak Dien dibawa ke Meulaboh. Dari sana, beliau diberangkatkan ke Kutaraja. Awalnya, Cut Nyak Dien tidak akan diasingkan. Tetapi, Pemerintah Belanda khawatir jika tidak diisolir Cut Nyak Dien dapat kembali mengobarkan semangat perjuangan. Akhirnya keputusan mengasingkan Cut Nyak Dien itu dipilih belanda. Perempuan gagah berani itu dibawa ke Batavia hingga kemudian diasingkan ke Sumedang. Namun dalam pengasingannya, Cut Nyak Dien mendapatkan perlakuan istimewa meski ia tetap tidak diizinkan melihat tanah Aceh. Hingga pada tanggal 6 November 1908, mujahidah tersebut meninggal dalam pengasingan.
Ketahuilah, Cut Nyak Dien memiliki pengaruh besar di masyarakatnya dan cukup ditakuti oleh Pemerintah Belanda. Beliau disegani kawan maupun lawan. Hal ini terbukti dari kebijakan Belanda untuk mengasingkan Cut Nyak Dien ke Sumedang, jauh dari tanah dan rakyatnya. Padahal Cut Nyak Dien pada saat itu telah berusia lanjut dan lemah.
Pengaruh Cut Nyak Dien, seperti yang diuraikan dari karangan Pol bahwa di Meulaboh kejuruan/uleebalang, datuk-datuk, penghulu-penghulu, dan lain-lain mulai dari setinggi-tingginya sampai serendah-rendahnya betul-betul menjadi momok menakutkan bagi Belanda.[6]. Walaupun tidak dapat berjuang dengan tangan dan kaki, tapi pikirannya mampu mengobarkan semangat para pahlawan Aceh untuk mengangkat senjata melawan Belanda. Selain itu, beliau juga dapat bertahan di hutan-hutan dengan makanan seadanya, bahkan berminggu-minggu tanpa sesuap nasi. Padalah pada saat itu, usia Cut Nyak Dien telah udzur. Hal inilah yang menyebabkan para pengikutnya mengadakan perjanjian dengan Belanda. Mereka sudah tidak tahan lagi dengan kondisi Cut Nyak Dien dan ingin menyelamatkannya.
Cut Nyak Dien bukan hanya pejuang yang gigih, tegas, dan tangkas, tapi beliau juga seorang istri yang selalu menyayangi dan menghormati suaminya. Cut Nyak Dien memang tidak menyukai taktik yang dijalankan oleh Teuku Umar, tapi beliau terus mendukung dan mengingatkannya dengan berbagai cara. Beliau juga tidak terlena dengan perlakuan istimewa Pemerintah Belanda ketika Teuku Umar berada di pihak Belanda. Saat Teuku Umar kembali melawan Belanda, Cut Nyak Dien mendukung suaminya dan berusaha agar para pejuang Aceh dapat menerima suaminya.
Cut Nyak Dien berjuang bukan hanya dengan tenaga dan kekuatannya, tapi juga dengan pemikiran dan keteguhannya membela agama. Seperti yang dikatakan Snouck Hurgronje, kekuatan perjuangan pasukan Aceh bukan dari tenaga mereka tapi dari agama mereka. Begitu pula dengan semangat perjuangan Cut Nyak Dien. Wallahu’alam bi ash shawwab. []
[1] Suny, Prof. DR. Ismail S.H., M.C.L. (1980). Bunga Rampai tentang Aceh. Jakarta: Penerbit Bhratara Karya Aksara. Hal. 297.
[2] Said, Mohammad H., (2007). Aceh Sepanjang Abad jilid II cet. III. Medan: Harian WASPADA. Hal. 277.
[3] Suny, Prof. DR. Ismail S.H., M.C.L. (1980). Bunga Rampai tentang Aceh. Jakarta: Penerbit Bhratara Karya Aksara. Hal. 301.
[4] Ibid. Hal. 301.
[5] Said, Mohammad H., (2007). Aceh Sepanjang Abad jilid II cet. III. Medan: Harian WASPADA. Hal. 339.
[6] Ibid. Hal. 331.