DISAAT pengantin baru berbulan madu biasanya di tempat wisata, atau ditempat-tempat yang indah. Berbeda dengan dua sejoli ini yang memilih untuk berbulan madu di hutan, mengabdikan dirinya untuk berdakwah.
Muhammad Yudi, 27 tahun, pria kelahiran Lampung 1990 baru menikah beberapa bulan lalu. Ia adalah penanggung jawab Panti Asuhan Qurrota A’yun, Pondok Pesantren Hidayatullah Kabupaten Lebong, Bengkulu.
Bentuk bangunan pasantren dan rumahnya yang kecil begitu memprihatinkan, lokasi keberadaannya juga terpencil, di tepi hutan, di mana tidak ada lagi rumah penduduk. Sementara jarak tempuh ke perkampungan lain bisa sampai satu kilometer.
“Kalau hujan turun, pas redanya, babi-babi hutan turun sampai dekat sekali ke depan rumah. Sekalipun tidak begitu membahayakan, jelas babi ini mengerikan, selain najis juga sangat mungkin membahayakan,” ucap Yudi menceriterakan kondisinya.
Namun itu masih belum seberapa. Kondisi lingkungan di sini, daerah perbukitan dengan tanah merah dan bebatuan. Masyarakat di sini sulit untuk bertani dengan tanaman yang sifatnya cepat panen, misal singkong, jagung, pisang dan sebagainya, karena hama babi itu luar biasa.
Sebelum tanaman itu tumbuh sudah dipanen duluan oleh babi, sehingga masyarakat di sini bertani dengan tanaman yang bisa aman dari serangan babi. ‘Musuh’ lain masyarakat selain babi adalah tikus.
Jika malam ada saja harimau ‘nongkrong’ dan duduk di jalan aspal. Demikianlah kondisi jalan yang harus dilalui baik menuju ataupun meninggalkan Lebong.
Namun saat ditanya hal ini, Yudi hanya menjawab santai. Menurutnya, takut yang paling utama hanyalah kepada Allah Subhanahu Wata’ala semata.
“Mau gimana lagi, sudah harus dijalani semua. Takut sudah pasti, tapi ini amanah (dakwah), gak bisa kita ciut nyali,” ucapnya sembari tersenyum.
Mengubah Pola Pikir
Meski kondisi alam yang tidak semua orang sanggup menjalani dakwah seperti ini, namun bagi Yudi masih ada tantangan lebih berat dibanding tantangan alam ini. Apa itu?
“Menyadarkan masyarakat akan pentingnya pendidikan, khususnya pendidikan agama,” ungkapnya.
Menurut Yudi kondisi ini jauh lebih berat dibanding beratnya alam. Di tempat ini, menyekolahkan anak merupakan sesuatu yang ‘istimewa’.
Dakwah dan pemberitan pemahaman terus mereka lakukan, baik melalui pengajian umum atau berkunjung ke rumah-rumah warga.
Qadarullah, melalui proses ini, satu-dua warga sudah mulai terbuka pikirannya, sehingga sudi menitipkan anak mereka di sekolah-sekolah atau di pesantren rintisan Yudi dan Efra.
“Alhamdulillah, enam bulan kita melakukan proses penyadaran di masyarakat, santri kita sudah sepuluh anak. Mudah-mudahan kedepannya akan lebih bayak lagi,” katanya.
Bulan Madu di Hutan
Yudi sendiri baru 6 bulan menikah dan langsung mengajak pujaan hatinya itu ke medan dakwah, merintis pesantren di tempat terpencil di Lebong.
Ia mengaku, awalnya saat istrinya baru sampai di tempat ini, di lokasi pesantren rintisan itu, mengaku kaget luar biasa. Sang istri yang asli Ciamis itu tak bisa menyembunyikan perasaanya.
“Awalnya istri nyampai di sini, kaget luar biasa. Sebelumnya ia tidak pernah membayangkan untuk tinggal di tempat yang seperti ini,” jelas Yudi.
Apalagi belahan hatinya itu sebelumnya bukanlah lulusan pondok pesantren, tiba-tiba harus hidup terpencil lagi. Bukan suatu yang mudah, ujar Yudi.
Untuk menguatkan hatinya, Yudi berusaha selalu memotivasi agar sang istri tabah dalam melintasi medan dakwah. Ia selalu mengingatkan akan hakekat kehidupan; bahwa hidup ini hanyalah sementara. Hanya akhiratlah yang kekal.
“Sering saya sampaikan, kita tidak selamanya di sini, bahkan di dunia ini pun kita sementara. Jadi, anggap saja kita sedang ‘mondok’ di pesantren jadi harus banyak ‘tirakat‘ supaya kuat iman tauhid kita,” ujarnya.
Syukurlah, sang istripun makin memahami arti perjuangan, sehingga dengan setia terus menemani Yudi, berjibaku di medan dakwah, demi menyebarkan syi’ar Islam, khususnya di daerah Lebong.
“Saya selalu berusaha kuatkan istri, mungkin dengan menetapi jalan dakwah ini Allah ridha dan berkenan memudahkan kita mendapat jannah,” Ucapnya.
Semoga Allah senantiasa memberi kekuatan kepada para da’i untuk selalu semangat dalam menyebarkan agama Allah. []
Sumber: Hidayatullah