Oleh: Agus Suryana
Aktivis, Pengemban Dakwah Ideologis, Twitter: @agus_nasrul
TIDAK sedikit pengemban dakwah yang menjadikan kesibukannya –tentu bukan sibuk berdakwah—sebagai alat justifikasi untuk menghindari berbagai amanah dakwah.
Fragmen seperti ini mungkin sering kita dengar, “Afwan ustadz beberapa bulan terakhir ini saya lagi sibuk, kerjaan di kantor makin banyak, bos nambah amanah baru buat saya, terus terang sulit jadinya membagi waktu untuk dakwah” atau alasan seperti ini “Afwan ustadz untuk minggu-minggu ini saya nggak bisa diganggu, lagi sibuk ujian tadz, untuk amanah dakwah sementara minta diserahkan dulu pada yang lain, afwan tadz, harap maklum”.
Mungkin kita geleng-geleng kepala mendengarnya, ada perasaan sedih, terlebih jika membandingkan dengan perjuangan tanpa lelah bahkan dengan keringat dan darah yang ditunjukkan para pejuang dan aktivis dakwah di belahan dunia yang lain seperti Palestina, Uzbekistan, Pakistan, Suriah, Turki, dan negeri-negeri Islam lainnya.
BACA JUGA: Wibawa Dakwah Buya Hamka
Bagi mereka tidak ada waktu ujian kuliah dan sekolah, tiada waktu berbisnis menumpuk harta, apalagi bersenang-senang dalam sebuah komunitas penghobi. Laa rohata ba’da al yaum (tidak ada waktu istirahat setelah hari ini) adalah kondisi yang benar-benar sedang mereka jalani.
Kita Tidak Berlaku Adil kepada Allah
Sungguh jika mau jujur selama ini kita tidak berlaku adil kepada Allah, karena waktu kita tidak lebih banyak untuk mengabdi pada Allah dibanding untuk memenuhi kebutuhan kita. Padahal jika mau adil, sederhana saja, misalnya kita bisa bagi waktu menjadi tiga bagian (untuk bekerja, aktivitas lain, dan dakwah/ibadah), atau sederhananya masing-masing dibagi menjadi 8 jam. Bisa saja kita membagi waktu menjadi 4 atau 5 bagian—terserah—yang jelas adil bagi Allah artinya hak kepada Allah terpenuhi.
Tapi faktanya tidak sedikit pengemban dakwah malah sering berlaku tidak adil kepada Allah, pun ketika dia diminta menyisihkan waktu barang beberapa jam saja untuk menunaikan amanah-amanah dakwah tetap tidak jua bisa dilaksanakan, kontak tidak jalan, halqah bolong, acara-acara dakwah bablas, rakor dakwah diabaikan, dll. Sadarkah kita bahwa kita telah merampas hak Allah?
Padahal apa yang ada pada diri kita (waktu, harta, bahkan nyawa) hakikatnya bukan milik kita, semuanya sudah menjadi milik Allah, sudah Allah beli dengan jannah-Nya.
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka….”(TQS. At Taubah: 111).
Inilah jual beli yang paling menguntungkan, yang takkan pernah kita jumpai transaksinya di dunia ini. Bayangkan saja, kita diberikan secara gratis oleh Allah apa yang kita nikmati saat ini berupa kesehatan, rezeki, waktu luang, dan berbagai kemudahan. Kemudian setelah memberikannya secara gratis pada kita, dengan kemurahan-Nya Allah malah membeli semuanya itu dengan kompensasi atau harga yang tiada bandingannya yakni dengan jannah-Nya.
Sebagai ilustrasi, ada seseorang yang memberikan hadiah sebuah rumah dengan semua isi dan fasilitasnya pada kita, kemudian setelah itu orang tersebut dengan kemurahannya malah membeli apa yang sudah diberikannya itu dengan harga yang sangat fantastis jauh berlipat-lipat dari harga rumah itu, namun alih-alih menyerahkannya dengan kondisi terbaik, kita malah berbuat curang, sebagian isi rumahnya kita ambil, fasilitasnya terus kita pakai, bahkan ada yang kita rusak sebelum akhirnya kita serahkan pada yang membelinya.
Maka naudzubillah, janganlah kita berbuat curang dalam ‘jual beli’ dengan Allah. Semuanya sudah menjadi milik Allah, tapi kita malah enggan menyerahkannya pada Allah, atau kalaupun diserahkan juga tapi kita menyerahkannya dengan kondisi ‘rusak’, tidak maksimal, bukan kondisi terbaik.
BACA JUGA: Medsosmu Arenamu, Medsosmu Ladang Dakwahmu
Ketika Allah meminta harta kita dalam bentuk infaq di jalan-Nya, kita malah kikir, banyak berhitung untung-rugi, dan setengah hati memberikannya, ketika Allah meminta waktu kita untuk berdakwah kita malah bermalas-malasan dan selalu berlindung di balik segudang alasan untuk tidak mengerjakannya, bahkan ketika Allah meminta pengorbanan nyawa demi izzul Islam wal muslimin dengan tegaknya Syariah dan Khilafah, kita malah lari menghindar, seraya diliputi ketakutan karena penyakit wahn (cinta dunia, takut mati).
Allah Pasti Menolong Para Penolong Agama-Nya
Coba kita cermati, betapa banyak pengemban dakwah yang mengalami kesibukan terkait urusan kantor, bisnis atau studi, tapi Allah selalu menunaikan janji-Nya di saat yang paling tepat, mereka selalu mendapat pertolongan dengan diberikan berbagai kemudahan. Berbagai urusan kantor, bisnis, studi, dan yang lainnya selalu bisa diselesaikan dan dilewati dengan baik dengan hasil yang memuaskan, tentu semua itu tidak terjadi secara tiba-tiba tetapi karena pertolongan-Nya sesaat setelah kita menunaikan amanah-amanah dakwah yang mulia ini (sesuai dengan janji Allah di dalam QS Muhammad:7).
Sebaliknya sesaat setelah kita beralasan karena mau fokus dulu menyelesaikan tugas-tugas duniawi, seraya meninggalkan amanah dakwah, saat itu pula urusan-urusan kita sepertinya tambah banyak tetapi tidak pernah selesai dengan hasil yang sempurna. Terus saja berkutat dengan urusan kerja, bisnis, studi, dll tanpa ada penyelesaian dan disaat yang bersamaan akhirnya kita terus saja melalaikan dakwah.
Sejatinya kita tetap konsisten dengan berbagai amanah dakwah yang dibebankan pada kita tanpa membenturkannya dengan aktifitas lain. Jadikan dakwah sebagai poros kehidupan, konsekuensinya dakwah harus menjadi aktivitas inti yang lainnya mengikuti, selalu kedepankan sikap bahwa aktifitas dakwah yang mulia ini lebih prioritas dari yang lainnya. Intinya kita boleh beraktifitas yang lain, tapi berikanlah kepada dakwah haknya, hak untuk kita emban agar kemenangan bisa kita raih yakni berlangsungnya kehidupan Islam.
Maka sampai kapan kesibukan pada urusan-urusan dunia ini terus memasung kita? Mereduksi peran kita sebagai para penolong agama-Nya? Bahkan menjadikannya sebagai tameng untuk melindungi kekurangoptimalan kita dalam dakwah ini? Sampai kapan?
BACA JUGA:
Bangunlah para pengemban dakwah! Sadari dan insyafi bahwa ini adalah sebuah kelalaian besar, sebab semakin hari peran dakwah amat sangat krusial, kondisi karut marut kehidupan umat di negeri ini dan di berbagai belahan dunia darurat penanganan hukum Allah, butuh akselerasi para pengemban dakwah untuk segera merealisasikan tegaknya hukum-hukum Allah Swt tsb. Berjuanglah dengan penuh semangat, bergeraklah dengan total, bersikaplah tuma’ninah, titipkan semua yang kita cintai pada Allah, jauhkan rasa khawatir yang tak lain adalah bisikan setan, biarkan Allah menunaikan janji-Nya yakni menolong kita (para penolong agama-Nya) dengan caranya sendiri yang takkan pernah kita pahami. []
OPINI ini adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.