JANGAN anggap remeh efek kekerasan pada anak. Gangguan fisik dan mental, penyalahgunaan obat terlarang, hingga penurunan kualitas hidup dapat mereka alami hingga mereka dewasa, bahkan tak jarang seumur hidup.
Kekerasan terhadap anak bisa berupa kekerasan fisik, kekerasan seksual, psikologis, verbal, eksploitasi, penjualan anak, hingga penelantaran atau pengabaian terhadap kesejahteraannya. Hal ini rentan terjadi di rumah, sekolah, maupun dalam komunitas masyarakat.
BACA JUGA:Â Penelitian: Istri Alami Kekerasan saat Hamil Lahirkan Anak dengan IQ Rendah
Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada tahun 2016, tercatat ada 6.820 kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia. Sekitar 35% di antaranya berupa kekerasan seksual, di samping kekerasan fisik (28%), psikis (23%), dan penelantaran anak (7%).
Anak korban kekerasan tidak hanya memiliki bekas luka pada tubuhnya, namun juga luka emosional, perilaku menyimpang, dan penurunan fungsi otak. Berikut beberapa efek kekerasan pada anak:
1. Emosi
Misalnya, anak menjadi lebih sering sedih atau marah, sulit tidur, bermimpi buruk, memiliki rasa percaya diri yang rendah, ingin melukai diri sendiri, atau bahkan keinginan untuk bunuh diri. Mereka juga menjadi sulit berinteraksi dengan orang lain dan cenderung melakukan tindakan yang berbahaya.
2. Penurunan fungsi otak
Efek kekerasan pada anak juga dapat memengaruhi struktur dan perkembangan otak, hingga terjadi penurunan fungsi otak di bagian tertentu. Hal tersebut berpotensi menimbulkan efek jangka panjang, mulai dari penurunan prestasi akademik, hingga gangguan kesehatan mental pada saat dewasa.
3. Tidak mudah memercayai orang lain
Anak korban kekerasan merasakan pengalaman buruk dalam hal penyalahgunaan rasa percaya dan rasa keamanan. Saat mereka dewasa nanti, mereka akan kesulitan untuk memercayai orang lain.
4. Sulit mempertahankan hubungan pribadi
Pengalaman sebagai korban kekerasan pada anak dapat membuat mereka menjadi sulit memercayai orang lain, mudah cemburu, merasa curiga, atau merasa kesulitan mempertahankan hubungan pribadi untuk jangka waktu yang lama karena rasa takut. Kondisi ini berisiko membuat mereka merasa kesepian. Penelitian menunjukkan, banyak korban kekerasan anak yang mengalami kegagalan dalam membina hubungan asmara dan pernikahan pada saat dewasa.
5. Memiliki risiko gangguan kesehatan yang lebih tinggi
Efek kekerasan pada anak juga dapat memengaruhi kesehatan dan tumbuh kembang anak. Korban kekerasan anak berisiko mengalami gangguan kesehatan yang lebih tinggi, baik secara psikis maupun fisik, pada saat mereka tumbuh dewasa.
Trauma akibat kekerasan pada anak bisa meningkatkan risiko seseorang mengalami asma, depresi, penyakit jantung koroner, stroke, diabetes, obesitas, hingga kecenderungan untuk mengonsumsi alkohol berlebih dan menggunakan narkoba. Sebuah penelitian mencatat prevalensi upaya bunuh diri yang cukup tinggi pada orang dewasa yang pernah menjadi korban kekerasan anak.
6. Menjadi pelaku kekerasan pada anak atau orang lain
Saat anak korban kekerasan menjadi orang tua atau pengasuh, mereka berisiko melakukan hal yang sama pada anak. Siklus ini dapat terus berlanjut jika tidak mendapatkan penanganan yang tepat untuk mengatasi trauma.
Selain itu, ada pula risiko lain dari korban kekerasan pada anak ketika mereka beranjak dewasa, seperti depresi, gangguan makan, serangan panik, keinginan bunuh diri, gangguan stres pasca trauma (PTSD), dan kualitas hidup yang lebih rendah. Pria yang pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga di masa kecilnya juga lebih berisiko mengalami depresi setelah menjadi ayah nantinya.
BACA JUGA:Â Cegah Kekerasan Terhadap Anak, Kemenag Segera Terbitkan PMA
Tidak peduli seberapa lama pengalaman traumatis sudah berlalu, efek kekerasan pada anak akan menimbulkan gangguan yang berkelanjutan jika tidak mendapatkan penanganan yang tepat. Penting bagi para korban kekerasan anak untuk mendapatkan bantuan dari psikolog atau psikiater guna menanggulangi efeknya dalam jangka panjang. []
SUMBER: ALODOKTER