LOMBOK—Mata Yono berkaca-kaca, ketika membayangkan rumahnya yang kini sudah rata dengan tanah. Gempa besar bertubi-tubi sudah membuat seluruh warga dusun Jorong, Sembalun Bumbung Lombok Timur, mengungsi ke tenda sederhana beratap terpal.
Tak ada warga yang berani masuk ke dalam bangunan. “Hampir semua rumah rata dengan tanah, termasuk rumah saya,” kenang Yono.
BACA JUGA: Gempa Lombok Belum Berstatus Bencana Nasional, Ini Penjelasan BNPB
Tak pernah terpikirkan dalam benaknya, kalau Lombok akan diguncang gempa dahsyat yang meluluhlantakkan kampung halamannya.
“Hanya Allah saja yang kami miliki sekarang. Yang bisa memberi kami keteguhan menghadapi semua ini,” kata Yono.
Ternyata, di balik kesulitan yang melanda Yono, di balik rumahnya yang hancur, di balik barang-barangnya yang rusak, di balik trauma akan gempa, ia masih menyisakan sedikit ruang untuk terus berbagi.
Yono, salah satu petani yang ikut membagikan bawang hasil buminya, untuk para pengungsi di Lombok Utara. Dan kini, ketika Idul Adha tiba, lagi-lagi Yono ingin berbagi.
“Saya ingin berkurban!” katanya.
Yono tak sendiri. Ada puluhan warga Sembalun Bumbung yang rumahnya rata dengan tanah ingin berkurban. Inisiasi para pengungsi untuk berkurban ini dirampunkan di Masjid Darurat Ramah Gempa dusun Jorong.
Ustaz Sinardi, salah seorang pengungsi yang juga pengurus masjid –sebelumnya yang sudah rusak – mengatakan bahwa di tengah kesulitan yang menghampiri para pengungsi, mereka berkomitmen untuk tetap berkurban tahun ini.
“Warga akan tetap berkurban tahun ini,” kata ustaz Sunardi di hadapan masyarakat ketika membahas Idul Adha di pengungsian. Apa bisa terbayangkan, seorang pengungsi, tak memiliki rumah, hidup dalam kesulitan, masih ingin berkurban?
BACA JUGA: Sekretaris Kabinet: Indonesia akan Rugi Besar Jika Gempa Lombok Dinyatakan sebagai Bencana Nasional
“Alhamdulillah, dikumpul-kumpul, ada lima sapi kami dapati,” kata ustaz Sinardi.
Dia, dan juga warga Jorong masih teringat, ketika awal-awal membangun masjid darurat bersama para relawan Sinergi Foundation, Jumat pertama pasca gempa pertama (6.3 SR) melanda.
Para ustaz di masjid itu mengingatkan tentang salah satu ciri orang bertakwa (QS :Ali Imrah 134 ) yang tetap berbagi, di saat lapang dan sempit. Maka, kita tahu bagaimana gerakan dari masjid beratap terpal ini.
Berpuluh-puluh ton sayuran, hasil panen warga dikirimkan untuk para pengungsi di Lombok Utara. Berduyun-duyun warga datang ke masjid, membawa apapun yang mereka miliki.
“Ya memang kami sedang sulit, tapi mungkin masih ada rezeki yang Allah berikan dari panen tanaman kami, atau ada yang memang sudah menabung ingin berkurban, maka mereka tetap berkurban,” kata ustaz Sinardi.
Saat lapang, kata Sinardi, warga bisa saja mudah berkurban. Tahun lalu saja, kata Sinardi, ada lebih dari 11 sapi untuk dusun Jorong saja untuk berkurban. “Tahun ini, sementara kami hanya bisa mengumpulkan patungan 5 sapi,” tambahnya.
“Dan tahun ini, saat kondisi kita sulit, ini ujian untuk kami sebenarnya, apakah tetap berkurban atau tidak,” lirih Sunardi. Dan mereka pun, memilih untuk berkurban, Subhanallah!
Bisa saja, kata Sunardi, uang yang tersisa digunakan untuk –misal- membangun rumah, membeli kebutuhan sendiri, dan lainnya.
“Bisa saja sebenarnya seperti itu. Tapi sungguh kami rugi, rugi betul jika kondisi langka seperti itu, kami malah tidak berkurban,” tegasnya.
Sinardi mengatakan, bahwa berjuta hikmah di balik perintah kurban ini. Sebut saja, ketika Nabi Ibrahim yang diminta menyembelih Ismail, anak sematawayangnya yang telah lama dinanti.
Begitu berat Ibrahim untuk menyembelih puteranya sendiri. Namun, karena itu perintah Allah, ia tetap lakukan. Di di ujung kisahnya, kita semua tahu bahwa Allah memuliakan mereka berdua dan menjadikan teladan.
Dan kini, teladan Ibrahim- Ismail abad ini mungkin saja hinggap di warga dusun Jorong. Di tengah rasa trauma, di tengah kesulitan, di tengah tak memiliki harta benda apapun, mereka tetap berkurban!
Lantas bagaimana dengan kita? []
LAPORAN: RIZKI LESUS/ INA