Suatu hari Tsabit bin Ibrahim berjalan di pinggiran kota Kufah. Ia menemukan sebuah apel tergeletak di luar pagar sebuah kebun. Ia memungut lalu memakannya. Namun, baru separuh saja, ia tidak lagi memakan apel itu.
Tsabit bin Ibrahim teringat akan sabda Nabi: “Siapa yang tubuhnya tumbuh dari yang haram, maka ia lebih layak menjadi umpan api neraka.”
Tsabit menyadari bahwa apa yang baru saja dimakan olehnya bisa saja haram baginya, karena itu bukan miliknya dan ia juga belum mendapat ijin dari pemiliknya.
Dengan bersegera, Tsabit bin Ibrahim pun mendatangi seseorang di dalam kebun apel tersebut. Namun, lelaki itu bukan pemilik kebun, melainkan seorang pembantu yang ditugaskan untuk merawat kebun itu. Dari keterangan yang diberikan orang itu, Tsabit bin Ibrahim pun menempuh perjalanan selama sehari semalam untuk menemui pemilik kebun tersebut di rumahnya.
Setibanya di sana, ia mengetuk pintu dan memberi salam. Ia pun mengutarakan maksud kedatangannya, “Wahai tuan yang pemurah, saya terlanjur memakan setengah buah apel milik tuan yang jatuh di luar kebun. Maukah tuan menghalalkannya?”
Setelah terlebih dahulu mengamati Tsabit bi Ibrahim, lelaki pemilik kebun kemudian berkata, “Tidak. Aku tidak bisa menghalalkannya, kecuali dengan satu syarat.” Ia kemudian meneruskan perkataannya, “Engkau harus mengawini putriku yang buta, bisu, tuli, dan lumpuh! Selain ini, aku tidak bisa menghalalkan apa yang kau makan.”
Tsabit bin Ibrahim tentu saja kaget. Namun, demi menebus dosa yang dilakukannya, ia patuh pada ajaran agamanya. Ia pun akhirnya menerima syarat tersebut.
Setelah pernikahan berlangsung, Tsabit bin Ibrahim kembali dikejutkan oleh perkara yang disebabkan buah apel itu. Sang istri ternyata jauh dari sangkaan. Nyatanya, wanita yang dinikahinya itu sempurna secara fisik, bahkan sangat cantik.
“Ayahku benar, aku buta karena aku tidak pernah melihat apa-apa yang diharamkan Allah. Aku tuli karena aku tidak mau mendengarkan cerita-cerita yang tidak diridhai Allah. Aku dikatakan bisu karena aku hanya menggunakan lidahku untuk menyebut asma Allah. Dan, aku lumpuh karena kakiku tidak pernah digunakan ke tempat-tempat yang diharamkan-Nya.”
Demikianlah seseorang yang menjaga dirinya dari keharaman suatu perbuatan, ia akhirnya memperoleh anugerah yang indah dari Allah. Pasangan itupun kemudian diberkahi Allah dengan keturunan yang suci. Dari keturunannya tersebut lahir lah seseorang yang dikemudian hari termansyur sebagai imam besar salah satu mazhab dalam Islam. Beliau tidak lain adalah Imam Abu Hanifah.[]
Sumber: Saat Tuhan Menyapa Hatimu/Yusuf Burhanudin/Mizan