GAZA—Armada kapal pembebasan ‘flotilla’ ketiga melakukan pelayaran dari Gaza ke Laut Tengah untuk menantang blokade Israel yang telah berlangsung selama satu dekade. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan bahwa Palestina juga memiliki hak atas perairan.
Juru Bicara Komite Nasional Gaza untuk Pengepungan, Bassam al-Manasra mengungkapkan, Palestina mempunyai hak atas perairan teritorial di lepas pantai Gaza. Bahkan, menurutnya dijamin oleh dunia internasional.
BACA JUGA: Ferry Nur: Palestina Bisa Bertahan karena Iman
“Pembangunan pelabuhan yang menghubungkan Palestina dengan dunia dijamin di bawah hukum internasional,” kata Bassam.
Selain itu, Dia juga menyebut langkah ‘flotilla’ ini merupakan demonstrasi maritim yang damai melawan “terorisme Zionis.”
Pada tahun ini (2018) Komite tersebut telah meluncurkan dua kapal pesiar, yakni pada 29 Mei sampai 10 Juli dalam upaya untuk mematahkan blokade Israel yang sedang berlangsung. Namun keduanya diadang oleh angkatan laut Israel.
Sebelumnya, Angkatan Laut Israel menyita kapal layar berbendera Swedia, yang berupaya menembus kepungan Jalur Gaza Palestina pada Sabtu (4/8/2018). Kapal itu membawa sebagian besar pasokan kesehatan dan dua penumpangnya adalah wartawan.
Ke-12 penumpangnya sebagian besar berasal dari Swedia, tetapi ada juga dari Jerman, Inggris, Spanyol, Prancis, dan Kanada. Mereka ditahan dan akan diterbangkan pulang.
Israel menyatakan pengucilan lautnya di Gaza ditujukan untuk mencegah senjata mencapai kelompok keras, termasuk Hamas, gerakan Islam penguasa daerah kantong Palestina tersebut. Israel dan Amerika Serikat menyatakan Hamas kelompok teroris.
“IDF (Angkatan Bersenjata Israel) menjelaskan kepada penumpang kapal itu bahwa mereka melanggar penutupan laut dan bahwa setiap barang kemanusiaan dapat dikirimkan ke Gaza melalui pelabuhan Ashdod,” kata pernyataan tentara dengan menyebut pelabuhan Israel.
BACA JUGA: Tentara Israel Cegat Kapal Pengangkut Bantuan untuk Gaza
Jalur Gaza berada dalam blokade Israel sejak 2007. Hal itu membuat perekonomian Gaza terganggu. sekitar 2 juta penduduknya kehilangan aksesuntuk mendapatkan berbagai komoditas pokok. []
SUMBER: ANADOULU