PADA masa informasi dapat diakses di ujung jari seperti sekarang ini, e-learning menjadi lebih relevan daripada kelas fisik. Namun, kondisi itu memungkinkan hilangnya kontak hubungan organik dan saling menghormati antara siswa dan guru.
Saat ini di kelas-kelas jarak jauh yang digelar selama pandemi Covid-19, etiket pembelajaran menjadi sesuatu yang sangat berharga untuk diwujudkan. Sebab, prilaku siswa tidak lagi dapat dikendalikan atau dipantau sepenuhnya oleh guru.
Saat pembelajaran secara daring diterapkan, seorang siswa mungkin saja melakukan pembicaraan dengan orang lain, meskipun itu tidak mendesak atau perlu, saat guru sedang mengajar. Ini menandakan ada adab atau etika yang dilanggar.
BACA JUGA: 7 Adab Murid terhadap Gurunya
Padahal, etika atau adab dalam belajar bahkan lebih relevan dan dibutuhkan di zaman sekarang ini untuk menjaga kesucian ilmu dan pewarisnya. Islam sendiri mengajarkan pentingnya adab sebelum Ilmu. Maka, perlu kiranya menyegarkan kembali ingatan kita tentang adab siswa dan guru tersebut.
Allah swt telah dengan jelas mengangkat dan menyebutkan jajaran ulama dan pewaris ilmu dalam Alquran:
أَمَّنْ هُوَ قَٰنِتٌ ءَانَآءَ ٱلَّيْلِ سَاجِدًا وَقَآئِمًا يَحْذَرُ ٱلْءَاخِرَةَ وَيَرْجُوا۟ رَحْمَةَ رَبِّهِۦ ۗ قُلْ هَلْ يَسْتَوِى ٱلَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَٱلَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَٰبِ
Am man huwa qānitun ānā`al-laili sājidaw wa qā`imay yaḥżarul-ākhirata wa yarjụ raḥmata rabbih, qul hal yastawillażīna ya’lamụna wallażīna lā ya’lamụn, innamā yatażakkaru ulul-albāb
“(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS Az Zumar: 9)
Nabi SAW pun pernah bersabda dalam haditsnya:
“Penghuni langit dan bumi, dan ikan-ikan di perairan dalam akan meminta maaf kepada orang terpelajar. Pahala orang yang berilmu dibandingkan dengan yang saleh adalah seperti bulan, pada malam ketika purnama, di atas bintang-bintang lainnya. Pelajar adalah ahli waris para nabi, dan para nabi meninggalkan tidak dinar atau dirham, hanya menyisakan pengetahuan, dan dia yang mengambil itu telah memperoleh porsi yang berlimpah.” (Sunan Abi Daud)
BACA JUGA: 10 Adab Murid kepada Guru Menurut Imam Al Ghazali
Mari, kita perhatikan dan ambil hikmah dari salah seorang ahli Ilmu yang merupakan tokoh Islam terkemuka, Imam Asy-Syafi’i. Beliau adalah salah satu pilar dalam pemikiran hukum Islam dan merupakan orang pertama yang merumuskan Asas-Asas Fikih. Kontribusinya terhadap kehidupan umat Islam di berbagai belahan dunia masih terlihat hingga saat ini. Terlepas dari kontribusinya dalam pengetahuan, kita pasti dapat belajar dari kisah hidupnya yang bermakna, terutama dalam interaksinya dengan guru dan muridnya.
Berikut adalah 3 adab guru-murid yang tercermin dari sikap Imam As-Syafi’i:
1 Hormati guru bahkan dalam perbedaan pendapat
Dalam tradisi kita, kita didorong untuk mengajukan pertanyaan yang membangun dan melakukan diskusi yang bermanfaat sambil mencari pengetahuan. Namun, ada kalanya diskusi bisa memanas dan berubah menjadi argumen. Jika kita tidak berhati-hati, kita mungkin akan menjadi kesal, berteriak, menggunakan sarkasme, atau merendahkan.
Murid boleh saja tidak setuju dengan guru mereka sambil tetap menghormati pikiran dan pendapat mereka. Namun, kita tetap harus memperluas bacaan di luar spesialisasi masing-masing sehingga dapat memahami kedua sisi sebelum memperdebatkan pendapat.
Dalam hal perbedaan pendapat, Asy-Syafie, yang merupakan murid Imam Malik Ibn Anas dan Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani sangat menghormati gurunya sehingga dia memastikan bahwa hati nurani dan niatnya jelas sebelum tidak setuju dengan mereka.
Imam As-Syafi’i pernah berkata, “Aku tidak pernah memperdebatkan siapa pun kecuali bahwa saya ingin dia menjadi sukses, diarahkan, dibantu, dan berharap dia berada di bawah pemeliharaan Allah dan perlindungan-Nya. Dan aku tidak pernah berdebat dengan siapapun tapi aku tidak keberatan jika Allah menyimpan kebenaran di lidahku atau lidahnya.”
Imam ibn Hasan Asy-Syaibani menggambarkan dan memuji Imam As-Syafi’i sebagai seorang santri yang kalem dan dalam kemampuannya. Dia bertanya dengan hormat dan mendengarkan dengan cermat ketika menghadapi pandangan yang berlawanan. Dia sabar terhadap gurunya dalam mengejar pengetahuan. Dia tetap di Madinah di mana gurunya Imam Malik tinggal dan hanya akan meninggalkan Madinah ketika dia ingin mengunjungi ibunya atau melakukan perjalanan pendidikan ke kota-kota lain. Sebelum menuju ke kota-kota tersebut, dia akan memberi tahu Imam Malik.
Imam As-Syafi’i pernah berkata:
اِصبِر عَلى مُرِّ الجَفا مِن مُعَلِّمٍ فَإِنَّ رُسوبَ العِلمِ في نَفَراتِهِ
“Bersabarlah dengan pahit kerasnya (ketegasan) dari seorang guru, karena simpanan pengetahuan hadir dalam kekerasannya.”
Imam Asy-Syafie sangat menghormati guru-gurunya. Maka, untuk menghormati waktu dan upaya guru, kita dapat berusaha untuk fokus pada guru kita selama di kelas dan menghindari melakukan hal-hal lain yang tidak perlu atau tidak pantas.
2 Bersikaplah rendah hati
Imam As-Syafi’i memang orang yang berilmu, dan meski begitu, ia tidak segan-segan belajar dari banyak guru. Selain kesediaan seseorang untuk belajar dari guru yang berbeda dan mengajukan pertanyaan untuk memahami pandangan yang berbeda atau berlawanan, menulis catatan juga merupakan tanda kerendahan hati dan rasa hormat yang dimiliki seseorang terhadap pengetahuan. Ini menunjukkan bahwa siswa tersebut penuh perhatian dan menaruh minat di kelas.
Meskipun Imam As-Syafi’i dilaporkan dianugerahi dengan memori fotografis yang memungkinkannya menghafal Alquran pada usia 7 tahun, dia memastikan bahwa dia menulis semua yang dia pelajari dari gurunya. Tanpa kerendahan hati, ini tidak akan mungkin terjadi.
Dia mengatakan dalam Diwan (kompilasi catatan dan puisi),
“Ilmu adalah buruan dan tulisan adalah ikatannya
Ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat
Termasuk kebodohan kalau engkau memburu kijang
Setelah itu kamu tinggalkan terlepas begitu saja.” (Kaifa Turabbi Waladan Shalihan (Terj. Begini Seharusnya Mendidik Anak), Al-Maghrbi bin As-Said Al-Maghribi, Darul Haq)
3 Tunjukkan empati saat berinteraksi dengan guru
Guru juga manusia. Kita tidak pernah tahu apa perjuangan mereka. Karena itu, kita harus selalu bersikap baik dan menunjukkan empati.
Imam As-Syafi’i begitu berempati terhadap gurunya sehingga ia biasa membolak-balik halaman dan kertas dengan hati-hati sehingga tidak menimbulkan suara sekecil apapun yang mengganggu gurunya. Perhatian penuh dalam perilakunya sebagai seorang siswa adalah teladan.
Tercatat oleh Ibn Al-Jauziy dalam biografi Imam As-Syafi’i bahwa ia tidak memiliki apapun untuk diberikan atau ditawarkan kepada gurunya sebagai tanda penghargaan dan empati. Itu pasti tidak menghentikannya. Sebagai gantinya, Imam As-Syafi’i menawarkan jasa mengasuh anak-anak gurunya ketika dia pergi, dengan harapan bisa meringankan urusannya.
Dalam situasi saat ini di mana pelajaran tersedia secara online, mari kita coba yang terbaik untuk memahami pikiran, perasaan atau emosi guru kita. Jika mereka tampak lelah atau lelah, kita bisa melatih empati dan tidak terlalu banyak bertanya. Untuk menahan diri agar tidak mengganggu waktu pribadi mereka, kita dapat menghormati privasi guru dengan berkonsultasi pada waktu yang tepat. Jika memungkinkan, kita bisa bertanya apakah mereka membutuhkan bantuan untuk kelancaran pembelajaran. []
SUMBER: MUSLIM SG