USIA Zaid ibn Haritsah tak lebih dari delapan tahun saat Rasulullah menikah dengan Khadijah binti Khuwailid. Zaid adalah budak Khadijah. Rasulullah mengetahui kecerdasan Zaid, hal itu membuat beliau mencintainya. Beliau iba saat mengetahui bahwasannya Zaid adalah seorang anak yang diculik oleh orang-orang pedalaman yang kemudian dijual sebagai budak. Salah seorang kerabat Khadijah kemudian membelinya untuk Khadijah.
Zaid nampak sedih saat pertama kali tinggal di rumah Khadijah. Ia begitu merindukan kasih sayang ibu dan kelembutan ayahnya. Hal ini membuatnya seakan terbuang, terasing dan menjadi budak.
Namun, itulah rumah pilihan Allah untuk Zaid. Semakin lama berada di sana, Zaid kecil pun semakin betah. Ia mencintai keluarga itu, dan mencintai tuannya yang memberinya kasih sayang sebagaimana seorang ibu kepada anaknya.
BACA JUGA: Mimpi Abdullah bin Zaid yang menjadi Syariat dan Seruan Islam
Khadijah kemudian melimpahkan kepemilikan Zaid kepada Rasulullah. Rasulullah pun memperlakukan Zaid sebagaimana ayah memperlakukan anaknya. Bahkan, Rasulullah menisbahkan Zaid kepada diri beliau. Zaid ibn Muhammad.
Orang-orang Quraisy menerima dan mengakui pernyataan Rasulullah itu. Mereka memanggil Zaid dengan nama baru itu.
Sementara, keluarga Zaid terus bersedih di kediamannya.
Hingga pada suatu musim saat sekelompok orang dari kabilah Zaid menuju Makkah untuk menunaikan haji. Di sana mereka bertanya-tanya tentang Zaid, siapa tahu ada yang mengenalnya, atau paling tidak mengetahui kabar dan keberadaannya. Namun tanpa diduga mereka melihat Zaid di masjid, dan Zaid pun mengenal mereka.
”Kau Zaid?” kata salah seorang diantara mereka.
“Ya, benar. Dan kalian dari tetanggaku dari Bani Kalb?” jawab Zaid sambil kemudian bertanya.
Mereka terus bertanya perihal kabar Zaid, dan di mana ia tinggal.
Zaid mengabarkan bahwasannya ia tinggal bersama Muhammad ibn Abdullah, keturunan Abdul Muthalib, seorang tokoh di negeri Makkah.
Tidak lama kemudian, orang-orang Bani Kalb menyelesaikan hajinya lebih awal. Betapa girangnya mereka mendengar kabar bahwa Zaid tak lama lagi akan kembali. Tidak jadi masalah berapapun tebusan yang harus dikeluarkan. Tanpa membuang banyak waktu, mereka segera mengabari ayah dan paman Zaid, mereka ingin membawa pulang untuk mengobati hati Ibu Zaid yang sedih didera kerinduan.
Sesampainnya di Makkah, ayah Zaid langsung menanyakan keberadaan Muhammad ibn Abdullah. Lalu seseorang memberi kabar bahwa Muhammad sedang di masjid. Ayah dan paman Zaid segera menemui beliau di masjid.
Rasulullah pun menoleh ke arah mereka, tahu bahwasannya akan ada yang ingin mereka sampaikan. Terkait seorang anak yang mereka cari, Rasulullah pun paham dan tahu anak yang dimaksud mereka. Tapi Rasulullah tetap bertanya bahwasanya siapa yang mereka maksud.
”Zaid ibn Haritsah. Kami datang untuk menebus dengan harga yang kauinginkan,” ucap ayah Zaid.
“Bagaimana jika kutawarkan sesuatu yang lain?” jawab Rasulullah.
Mendengar itu, kedua laki-laki itu tersontak kaget.
Dengan tegas dan tenang, Nabi menjelaskan, “Aku akan memanggilnya lalu akan kuberi ia pilihan. Jika ia, memilihmu ia akan menjadi milikmu. Jika ia memilihku, maka ia menjadi milikku. Demi Allah aku tidak bisa memilih orang lain selain orang yang memilihku.”
Kemudian kedua laki-laki itu menyetujuinya karena mereka awalnya yakin bahwasanya Zaid akan memilih keluarganya.
Nabi pun memanggil Zaid. Haritsah, ayah Zaid terlihat senang melihat Zaid. Suasana haru setelah sekian lama tidak bertemu, Haritsah pun menciumi Zaid dan memeluknya.
BACA JUGA: Usamah bin Zaid, Panglima Perang Termuda
“Zaid,” kata Rasulullah, “Kau sudah tahu siapa aku dan kau tahu bagaimana aku memperlakukanmu. Sekarang, kau boleh memilih antara aku atau ayahmu.”
Allah memilihkan anugerah terbesar di hati Zaid yang tidak pernah diketahui siapapun. Zaid pun mengucapkan sesuatu yang membuat ayah dan pamannya bingung. Ia menatap Nabi dan berkata, “Aku tidak bisa memilih orang lain selain engkau, kau sudah seperti ayah sekaligus pamanku.”
Haritsah dan paman Zaid tersentak, mereka tidak menyangka bahwa Zaid akan mengatakan demikian. Mereka juga tak menyangka mengapa Zaid lebih memilih menjadi budak daripada menjadi orang yang merdeka.
Dengan tenang dan matang, Zaid pun mengatakan, “Aku melihat sesuatu yang lain dalam sosok lelaki ini. Aku tidak bisa memilih siapapun kecuali dia.” []
Sumber: Sahabat-Sahabat Cilik Rasulullah, karya Dr. Nizar Abazhah, terbitan Dar al-Fikr, Damakus: 2009., hal. 55, 56, 57, 58, 59, 60.