SETELAH daya sentuh dari ruh yang terhubung ke langit, penulis sejati harus ber-Daya Isi. Menyentuh tanpa mengisi membuat pembaca ternganga, tapi lalu bingung harus berbuat apa.
Daya isi adalah soal ilmu. Mahfuzhat Arab itu sungguh benar; “Faqidusy syai’, laa yu’thi: yang tak punya, tak dapat memberi”. Menjadi penulis adalah menempuh jalan ilmu dan berbagi; membaca ayat-ayat tertulis; menjala hikmah-hikmah tertebar. Semuanya sebagai mujahadah tanpa henti.
Dia menyimak apa yang difirmankan Rabbnya, mencermati apa yang memancar dari hidup RasulNya; dan membawakan makna ke alam tinggalnya. Dia pahami ilmu tanpa mendikotomi; tapi tetap tahu di mana menempatkan yang mutlak terhadap yang nisbi; terus mencoba mencerahkan akal dan hati.
Penulis sejati memiliki rujukan yang kuat, tetapi bukan tukang kutip. Segala yang disajikan telah melalui proses penghayatan dan internalisasi. Penulis sejati kokoh berdalil bukan hanya atas yang tampak pada teks; tapi disertai kepahaman latar belakang dan kedalaman tafsir. Dengan internalisasi itu; semua data dan telaah yang disajikan jadi matang dan lezat dikunyah. Pembacanya mengasup ramuan bergizi dengan amat berselera hati.
Sebab konon ‘tak ada yang baru di bawah matahari’; tugas penulis mungkin memang hanya meramu hal-hal lama agar segar kembali. Atau mengungkap hal-hal yang sudah ada, tapi belum luas dikenali. Diperlukan ketekunan untuk melihat satu masalah dari banyak sisi. Atau mengingatkan kembali hal-hal yang sesungguhnya telah luas difahami; agar jiwa-jiwa yang baik tergerak kuat untuk bertindak. Maka penulis sejati lihai menghubungkan titik temu aneka ilmu dengan pemaknaan segar dan baru, dengan tetap berpegang pada kaidah shahih dan tertentu.
Dia jalin makna yang kaya; fikih dan tarikh; dalil dan kisah; teks dan konteks; fakta dan sastra; penelitian ilmiah dan kecenderungan insaniyah. Dia menularkan jalan ilmu untuk tak henti menggali. Tulisannya tak membuat orang mengangguk berdiam diri; tapi kian haus dan terus mencari. Dia membawakan pemaknaan penuh warna; bisa beda bagi masing-masing pembaca; beda pula bagi pembaca yang sama di saat lainnya. Tulisannya membaru dan mengilhami selalu.
Maka karyanya melahirkan karya; syarah dan penjelasan, catatan tepi dan catatan kaki, juga sisi lain pembahasan, dan bahkan bantahan.
“Membaca dan menulis adalah menyalakan api”, kata Victor Hugo. “Setiap patah kata yang tereja adalah letupan bara.” []