Oleh: Andi Ryansyah, Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
PASCA proklamasi kemerdekaan Indonesia berkumandang, kuku-kuku tajam penjajah rupanya masih mencengkeram. Semangat kemerdekaan yang meluap-luap dalam diri rakyat, menggolakkan pertempuran di berbagai tempat. Salah satu Ormas Islam, Nahdlatul Ulama (NU) bahkan sampai mengeluarkan resolusi jihadnya bahwa,”mempertahankan dan menegakkan Negara Republik Indonesia menurut hukum Islam termasuk sebagai suatu kewadjiban mutlaq bagi tiap2 orang Islam laki2 dan perempuan.”
Perlawanan rakyat 10 November 1945 pun akhirnya meletus di Surabaya. Kaum Nahdiyyin (laki-laki NU) dan Nahdiyyat (perempuan NU) ikut mempertahankan kemerdekaan dengan segala apa yang ada. NU bergabung dalam pasukan-pasukan pejuang Hizbullah dan Sabilillah memanggul senjata melawan musuh.[1]
Semangat perjuangan fi sabilillah (di jalan Allah) yang dihidupkan para ulama menerjunkan anak-anak muda dan kaum ibu NU ke gelanggang perjuangan. Jika kaum laki-laki berjuang di garis depan, maka kaum ibu berjuang di garis belakang. Kaum ibu bekerja di di berbagai lapisan seperti dapur umum, palang merah, mengumpulkan pakaian dan makanan, memberi penerangan ke sana sini, serta menghidupkan semangat perjuangan melawan musuh.[2]
BACA JUGA: 6 Nasihat Mengagumkan dari Mbah Moen
Sebagaimana organisasi-organisasi perjuangan yang diikuti perempuan Indonesia, sebut saja GPII Putri, Muslimaat Masjumi, BPRI, dan Pesindo, maka NU pun mengorganisir perempuan-perempuannya. Kaum perempuan disusun NU agar menjadi barisan imaadul bilaad karena perempuan itu laksana tiang negeri. Apabila dia baik, negerinya baik. Dan apabila dia rusak, negerinya pun rusak binasa.[3]
NU menggerakkan perempuan-perempuan ahlussunnah wal jamaah menurut ajaran Islam agar turut menyerahkan darma baktinya membela tanah air, berdasarkan sabda Nabi Muhammad saw, “Perempuan memikul kewajiban-kewajibannya seperti kewajibannya laki-laki.” dan “Laki-laki mendapat bagian dari usahanya, perempuan pun mendapat bagian dari hasil kerjanya.”
Oleh karena itu, tatkala negara diserang, kaum perempuan NU pun diwajibkan berjuang mempertahankan kemerdekaan sesuai dengan kodrat dan iradat sebagai perempuan.[4]
Setelah kaum ibu NU turut menyingsingkan lengan baju mempertahankan kemerdekaan, tiba masanya mereka menjalani peran dalam organisasi. Maka pada Kongres NU ke XVI di kota Purwokerto, tanggal 23-26 Rabiul Akhir 1365, bertepatan dengan tanggal 26-29 Maret 1946, rencana menjadikan Muslimaat bagian dari NU dimajukan dalam Kongres. Kongres itu secara aklamasi (suara bulat) memutuskan Muslimaat termasuk bagian dari NU dan diresmikan dalam rapat pleno terakhir, 26 Rabiul Akhir 1365/ 9 Maret 1946, dengan singkatan nama NUM (Nahdlatul Ulama Muslimaat).[5]
Ketua NUM Nj. Chadidjah saat itu kemudian menjelaskan dasar perjuangan mereka:
“… sebenarnya kita perempuan Islam terutama zaman pembangunan sebagaimana sekarang ini tidak boleh tinggal diam, dan tidak boleh menonton para kaum laki-laki yang sedang berjuang untuk meluhurkan agama Allah. Tetapi juga kaum perempuan harus membantu dan memperkuat barisan NU. Karena apa NU harus dibantu? Ya karena memang lapangan pekerjaan itu luas sekali dan berat…Ketahuilah bahwa setengah dari kekawatiran yang besar ialah orang yang menjauhkan diri dari mengumpuli ‘Ulama, tentu jauh pula ia dari pada agama, sebagaimana orang-orang yang tinggal di desa-desa yang tiada orang ‘Alimnya yang mereka tidak tahu pada orang ‘Alim, pun begitu sebaliknya dan sebagai pula penggembala lembu atau para pekerja-pekerja yang hanya mengetahui pekerjaannya saja serta tidak mau pada lainnya, atau dalam golongan mereka itu terdapat orang ‘Alimnya, tetapi mereka tidak mau mencampurinya, atau mereka tidak mau tunduk padanya dan tidak mau memetik ilmunya. Sesungguhnya mereka itu dalam umumnya tidak mengetahui Tuhan. Tidak pula Rasul dan tidak pula Agama…maka kewajiban yang dihadapi NU itu besar sekali, minta tenaga yang cukup banyaknya guna beramar ma’ruf dan nahi munkar, dan menuntun ummat Islam yang demikian sifatnya itu… Kalau menilik ummat Islam Indonesia ini begitu besar jumlahnya yang tidak mengerti urusan agamanya, baik laki-laki maupun perempuan, bahkan kaum perempuan lebih banyak yang kurang perhatiannya pada agama, maka tepat benar Nahdlatul ‘Ulama membentuk bagian perempuan. Al-Mukminuuna wal mukminatu ba’dluhum auliyau ba’di ta’muruna bil ma’rufi wa tanhauna ‘anilmunkar al ayat.”[6]
Lahirnya NUM tidak bisa dipisahkan dari KH. Wahab Hasbullah dan KH.M Dahlan. Ibarat bayi yang baru lahir, maka mereka berdualah yang menjadi dokter dan bidan NUM. Mereka mengerti dan terus mengamati kapan “bayi” itu akan lahir. Maka saat tiba waktunya, mereka mendorong, memimpin, dan membimbing dengan tidak menghiraukan rintangan dari kanan dan kiri.
Kini bayi NUM telah lahir sehat dan segar bugar. Sebagai “dokter” dan “bidan”, mereka tidak tega meninggalkan bayi NUM yang baru lahir itu sendirian. Maka diasuhlah NUM, diberi petunjuk, dipimpin, dan dibimbing, diluruskan jalannya, ditolong kalau mau jatuh, dibesarkan hatinya, dikobarkan semangatnya, sehingga NUM dapat berjalan sedikit demi sedikit.[7] Dalam kiprahnya untuk negeri tak sedikit yang telah mereka curahkan. Dari politik sampai pendidikan.
Menumpas PKI
Menjelang peristiwa pemberontakan PKI di tahun 1965, NUM terlibat dalam kegiatan ekstra sejak tahun 1964. Pimpinan-pimpinan NUM mengikuti kursus-kursus kader revolusi dan kursus kader lain-lainnya. Secara khusus sekitar bulan November 1964, NUM menyelenggarakan latihan sukarelawati bertempat di pusat pendidikan HANSIP PUSAT di Jalan Salemba Raya dan diikuti oleh pimpinan Muslimat/Fatayat NU se-Indonesia, dengan pimpinan latihan Ny. Saifuddin Zuhri dan pimpinan asrama Ny. Chadidjah Immron Rosjadi.
Dalam latihan ini, mereka mendapat pelajaran kemiliteran seperti baris berbaris, pelajaran menggunakan senjata (latihan tembak di lapangan tembak Cibubur), bongkar pasang senjata dengan mata tertutup, dan lain sebagainya.[8]
BACA JUGA: Perginya Natsir, Sang Khadimul Ummah
Pada 2 Oktober 1965, NUM menyatakan sikapnya atas peristiwa Pemberontakan 30 September. Mereka mengutuk pelaku-pelakunya sebagai pengkhianat dan meminta pemerintah menindak pelakunya. Kemudian pada 5 Oktober 1965, NUM diwakili oleh Ny. Hj. Solehah A Wahid Hasjim menandatangani pernyataan PBNU yang isinya mengutuk pengkhianatan G 30 S PKI.
Lebih dari itu, Ny. Hj. Solehah A Wahid Hasjim meminta agar menindak dan membubarkan PKI beserta mantel organisasinya. Pada bulan Oktober, NUM juga membuat pernyataan agar Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (P&K) membubarkan Taman Kanak-Kanak “Melati” (milik Gerwani) dan supaya Pemerintah mengambil alih TK itu. Usul NUM itu lalu disetujui oleh Menteri P&K dan didukung Kongres Perempuan Indonesia (KOWANI).
Pada 8 November 1965, perempuan ibukota yang tergabung dalam front pancasila menyelenggarakan demonstrasi menuntut pembubaran PKI dan mantel organisasinya. Seksi perempuan Front Pancasila ini dipimpin oleh Ny.H.Asmah Sjachruni dari NUM dan Ny.Arudji Kartawinata dari perempuan PSII. Ny.H. Asmah Sjachruni juga menjadi salah satu pimpinan di Kesatuan Aksi Perempuan Indonesia (KAWI). KAWI telah melakukan gerakan “Perjuangan Hanura” dengan TRITURA-nya yaitu: bubarkan PKI, bubarkan kabinet, dan turunkan harga. KAWI akhirnya bubar seiring tuntutan prinsipil terwujud, dan semua anggota serta pimpinannya kembali ke induk organisasinya masing-masing.[9] [Bersambung]
Catatan Kaki
[1] Aisjah Dachlan, Sedjarah Lahirnja Muslimaat Nahdlatul ‘Ulama di Indonesia, Jamunu: Djakarta, 1955, hlm. 45
[2]Ibid, hlm. 47
[3]Moeslimat Soekaradja. Menjoesoen Barisan Kaoem Poetri Islam, Majalah Berita Nahdlatoel Oelama, No.1 Th.10. November 1940, hlm.14
[4]Ibid, hlm.46
[5]Ibid, hlm.47
[6]Tim Penyusun, Sejarah Muslimat Nahdlatul Ulama,PP Muslimat NU Jakarta:Jakarta, 1979, hlm.58-57
[7]Ibid, hlm. 46
[8]Ibid, hlm.67
[9]Ibid, hlm. 68-69