KETIKA Rasulullah SAW melakukan dakwah secara terang-terangan, hati kaum Quraisy menjadi gundah-gulana. Memasuki musim Haji, kaum Quraisy tahu bahwa akan banyak orang yang mengunjungi Makkah, oleh karena itu mereka melihat perlunya merangkai satu pernyataan yang nantinya mereka sampaikan kepada delegasi tersebut perihal Muhammad SAW agar dakwah yang disiarkannya tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap jiwa-jiwa delegasi Arab tersebut.
Maka berkumpullah mereka di rumah al-Walid bin al-Mughairah untuk membicarakan satu pernyataan yang tepat dan disepakati bersama tersebut.
Lalu Walid berkata “Bersepakatlah kalian dalam satu hal dan janganlah kalian saling berselisih sehingga membuat sebagian kalian saling mendustakan pendapat sebagian yang lain dan sebagian lagi mementahkan pendapat sebagian yang lain!”
Mereka berkata, “Katakan kepada kami pendapatmu yang akan kami jadikan acuan!”
Lalu dia berkata, “Justru kalian yang harus mengemukakan pendapa kalian dan aku sebagai pendengar.”
Merka berkata, “Kita katakan dia adalah seorang dukun.”
Al-Walid berkata, “Tidak, demi Allah dia bukanlah seorang dukun. Kita telah menyaksikan bagaimana praktik seorang dukun, sedangkan yang dikatakannya tidak komat-kamit ataupun sajak para dukun.”
Mereka berkata lagi, “Kita katakan saja dia orang gila.”
Dia menjawab, “Tidak! Demi Allah, dia bukanlah orang gila. Kita telah mengetahui esensi gila dan telah mengenalnya, sedangkan yang dikatakannya bukan dalam katagori tertekan, kerasukan atau pun was-was sebagaimana kondisi kegilaan tersebut.”
Mereka berkata, “Kalau begitu kita katakan saja dia seorang penyair.”
Dia menjawab, “Dia bukan seorang penyair. Kita telah mengenal segala bentuk syair; rajaz, hazaj, qaridh, maqbudh dan mabsuthnya, sedangkan yang dikatakannya bukanlah syair.”
Mereka berkata, “Kalau begitu, dia adalah tukang sihir.”
Dia menjawab, “Dia bukanlah seorang tukang sihir. Kita telah menyaksikan macam-macam sihir mereka, sedangkan yang dikatakannya bukanlah jenis nafts (hembusan penyishir) atau uqad (buhul-buhul) mereka.”
Mereka kemudian berka, “Kalau begitu apa yang harus kita katakan?”
Dia menjawab, “Demi Allah! Sesungguhnya ucapan dia itu begitu manis dan indah. Akhirnya ibarat tandan anggur dan cabangnya ibarat pohon yang rindang. Tidaklah kalian menuduhnya dengan hal tersebut kecuali akan diketahui kebatilannya. Sesungguhnya pendapat yang lebih dekat dengan dirinya adalah dia seorang tukang sihir yang membawa suatu ucapan berupa sihir, yang mampu memisahkan antara seseorang dengan bapaknya, saudara, istri, dan keluarganya. Mereka semua menjadi terpisah darinya lantaran hal itu.”
Dengan perkataan ini, kemudian Allah menurunkan enam belas ayat yang merupakan bagian dari al-Mudatsir yaitu dari ayat 11 hingga 26. Allah SWT menggambarkan bagaimana ia berpikir keras untuk mendapat jawaban.
Setelah majelis menyepakati hal itu, mereka mulai menerapkannya dengan cara duduk-duduk di jalan-jalan yang dilalui orang hingga delegasi Arab datang pada musim Haji. Setiap ada orang yang lewat, mereka peringatkan dan mereka singgung dihadapan perihal Rasulullah SAW.
Sedangkan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW manakala musim Haji telah datang adalah membuntuti jamaah-jamaah yang datang hingga sampai ke tempat-tempat mereka berkemah. Beliau mengajak mereka menyembah Allah SWT, sedangkan Abu Lahab selalu membuntuti di belakang beliau memotong setiap ajakan beliau SAW dengan berbalik mengatakan kepada mereka, “Janganlah kalian patuhi dia karena dia adalah seorang pembawa agama baru lagi pendusta.”
Kenyataanya, dari musim haji itulah perihal Rasulullah SAW menjadi pusat perhatian delegasi Arab sehingga namanya menjadi buah bibir orang seantero negeri Arab. []
Sumber: Perjalanan hidup rasul yang agung Muhammad SAW dari kelahiran hingga detik-detik terakhir/Syaikh Syafiyyurahman al-Mubarrakfuri/Darul Haq