Oleh: Amalia Sinta
BILA seorang ayah ditanya: mengapa ia bekerja sedemikian keras? Pasti jawabannya adalah Demi Anak.
Tapi ia lupa, bahwa anak tidak butuh begitu banyak harta, namun butuh banyak perhatian dan keterlibatan nyata ayahnya.
Agar si anak perempuan mendapat figur lelaki yang melindungi dan mencintainya, sehingga kelak ia tak mudah terjebak bujuk rayu pemuda yang membawa cinta palsu.
Agar anak lelakinya mendapat contoh nyata bagaimana bersikap. Agar tak melambai, terbawa arus LGBT atau pornografi karena penasaran mendera namun tak ada tempat bertanya.
Bila seorang ibu rumah tangga ditanya: mengapa ia mau seharian berada di rumah? Pasti jawabannya adalah Demi Anak.
Tapi ia lupa, bahwa anak butuh ditemani bermain dengan terlibat langsung. Bukan hanya disediakan sekotak besar mainan, buku-buku yang tidak dibacakan, apalagi gadget tercanggih agar duduk diam. Sang ibu sibuk memasak, mencuci, dan terus saja membereskan rumah.
Dan dari sejak bangun tidur hingga malam tiba, si anak selalu merasa sendiri, kesepian tak berujung. Makin sedih hatinya, saat ia merengek ingin mencuri sedikit perhatian, malah cubitan yang harus ia rasakan. Sakit di kulit mungkin tak bikin melilit. Tapi torehan luka hati akan ia bawa hingga nanti.
Bila seorang ibu yang berbisnis dari rumah ditanya: mengapa ia juga sibuk mencari uang? Pasti jawabannya adalah Demi Anak.
Tapi ia lupa, bahwa anaknya sering telat makan, mandi, ataupun terlalu lama nonton TV, karena ibunya sibuk membalas pesan konsumen yang tiada henti. Bisnisnya makin berkembang namun tak juga punya asisten untuk membantunya.
Sang ibu senang karena banyak pemasukan. Tapi sang anak sedih, karena hatinya merasa semakin jauh dari pelukan ibunya.
Ia tak bisa paham mengapa benda kecil bernama handphone itu selalu dipegang oleh ibunya, sungguh terasa lebih penting daripada dirinya, seorang anak yang katanya sangat dicintai sang ibu. Entah kapan terakhir ia dibelai dengan lembut, dicium tanpa terburu-buru.
Bila seorang ibu yang bekerja di luar rumah ditanya: mengapa ia begitu semangat mengejar karir mengukir prestasi tinggi? Pasti jawabannya adalah Demi Anak.
Tapi ia lupa, bahwa anak harus jadi prioritas, walaupun hatinya sedang cemas karena situasi kantor yang memanas.
Saat lelah mendera karena setumpuk deadline, setelah menembus macetnya jalanan kota, ia mendapati anaknya di rumah rewel tak jelas apa maunya. Ia mencoba bersabar, namun tangisnya tak jua mereda. Emosi tak bisa terbendung lagi.
Sang anak yang merindukan belaian, malah mendapat ancaman agar lekas bungkam. Dan esoknya dia harus terima dalam diam, bahwa ia akan menunggu berjam-jam lamanya hanya untuk melihat ibunya hadir lagi di rumah.
Dear orangtua yang baik!
Lihatlah kaki anak kita yang masih begitu kecil.
Ia takkan sanggup mengimbangi.
Saat kita berlari mengejar dunia.
Ia akan tertatih bahkan terluka.
Saat ini cukuplah bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Bukan untuk mengejar gaya hidup.
Yang tak kan pernah ada ujungnya itu.
Sungguh…
Tak perlulah bekerja hingga lembur malam, Ayah.
Tak perlulah keadaaan rumah harus selalu bersih rapi sempurna, Ibu.
Tak perlulah mengejar posisi tinggi dulu di kantor dan di bisnis, Bunda.
Karena bila terlalu sibuk dan fokus bekerja.
Kita tak punya waktu dan tenaga lagi untuk mereka.
Padahal mereka sedang masanya bereksplorasi dan berekspresi.
Maka kita akan bereaksi dengan amarah dan emosi tinggi.
Dear ayah ibu yang baik!
Anak-anak sangat membutuhkan kehadiran kita.
Yang nyata, terlibat dalam permainannya.
Yang nyata, bertanya perasaan hati tentang kejadian yang ia alami.
Yang nyata, memberikan belaian, pelukan dan ciuman yang menentramkan hatinya.
Saat ini, di lima tahun pertamanya.
Adalah saat tepat untuk kita membentuk karakternya.
Menanamkan nilai spiritual yang kita yakini kebenarannya.
Mengajarkannya nilai tentang kesopanan, disiplin, welas asih dan toleransi.
Saat untuk memantau perkembangan fisik dan mental anak.
Agar tak sampai gagal tumbuh.
Rasanya sia-sia belaka.
Bila uang yang kita kumpulkan selama ini.
Hanya habis untuk biaya terapi karena kegagalan tumbuh kembang anak.
Nanti, saat anak kita sudah lepas masa balita.
Saat kita sudah berhasil menanamkan segala hal baik dalam hatinya.
Bolehlah kau kembali menghidupkan hasrat untuk berkerja keras.
Mengumpulkan pundi emas.
Mengejar cita-cita yang masih tergantung bebas.
Demi anak.
Demi harta paling berharga bernama anak.
Saat ini hadirlah di setiap tawa, tangis dan sejuta rasa dalam hatinya.
Sehingga bila kelak ia telah tumbuh besar dalam bahagia.
Namamu lah yang akan ia sebut sebagai pahlawan hidupnya.
Karena sungguh…
Engkaulah, Sang Orangtua hebat yang mampu seimbangkan antara bekerja dan keluarga. []