YANGON—Organisasi Hak Azasi Manusia, Amnesty International, menemukan adanya penggunaan ranjau mematikan oleh militer Myanmar di perbatasan Bangladesh untuk mencegah Muslim Rohingya kembali ke Rakhine State.
Dalam keterengan resminya, Amnesty International, menyebut beberapa ranjau anti-personel ditemukan di dekat Taung Pyo Wal, daerah yang juga dikenal bernama Tumbro, di wilayah perbatasan Rakhine dan Bangladesh.
Direktur Respons Krisis Amnesty International, Tirana Hassan, mengatakan terungkapnya penggunaan ranjau mematikan oleh militer Myanmar ini merupakan dugaan awal telah terjadinya pelanggaran HAM yang serius, Padahal jenis ranjau tersebut telah dilarang penggunaannya secara internasional.
Kuat dugaan, kata Tirana, militer Myanmar memasang ranjau tersebut karena banyak pengungsi yang sering melakukan perjalan pulang-pergi ke perbatasan Rakhine untuk membawa makanan dan membantu pengungsi lainnya untuk menyebrang ke Bangladesh.
“Otoritas setempat di Myanmar harus segera menghentikan praktek keji terhadap orang-orang yang melarikan diri dari persekusi ini,” lanjutnya
Berdasarkan wawancara dengan saksi-saksi dan analisa oleh tim ahli senjata Amnesty International, ranjau tersebut dipasang di bagian utara Rakhine. PBB memperkirakan sekitar 270 ribu orang telah menyeberang ke Bangladesh melalui daerah beranjau tersebut dalam dua minggu terakhir.
Empat ledakan yang diduga berasal dari ranjau juga terjadi minggu ini di sebuah jalan yang sibuk, di sebuah perkampungan di Myanmar di dekat wilayah perbatasan. Ledakan tersebut melukai dua anak yang berumur antara 10 dan 13 tahun serta membunuh satu orang dewasa.
Muslim Rohingya dinilai mengambil resiko berbahaya dengan membersihkan dua ranjau di wilayah tersebut untuk melindungi warga Rohingya lainnya.
Berdasarkan analisis tim ahli senjata Amnesty International, satu dari dua ranjau tersebut berjenis PNM-1 yang didesain untuk menghancurkan tubuh lawan.
“Otoritas Myanmar harus berhenti mengelak. Semua bukti menunjukkan bahwa militerlah yang menanamkan ranjau tersebut. Ini tidak hanya melanggar hukum tapi juga membantai warga sipil,” pungkasnya.[]