LUKA di kaki kiri Urwah bin Zubair sudah sangat parah. Bernanah dan terus menjalar hingga ke kaki bagian atas, ke pangkal paha. Tak menduga akibat jatuh ketika melewati Wadil Qura, sebuah daerah dekat dengan Madinah, luka itu semakin parah. Obat tradisional yang diberikan tak juga menyembuhkannya. Tampak telapak kaki kiri beliau terluka.
Adik dari Abdullah bin Zubair ini tetap terus melakukan perjalanan untuk melaksanakan amanah menemui khalifah Al-Walid bin ‘Abdil Malik di ibukota kekhalifahan, yaitu Damaskus di Syam. Bersama dengan rombongan, cucu dari Abu Bakar ini terus menempuh perjalanan dari Madinah menuju Damaskus, yang saat ini menjadi bagian dari negara Yordania.
Begitu sampai di istana Al-Walid, sosok khalifah penyayang dan sangat menghormati ulama ini kaget melihat kondisi Urwah, seorang tabi’in utama itu. Sang khalifah pun memerintahkan sejumlah dokter (tabib) untuk mengobatinya.
Setelah melalui beberapa pemeriksaan, para dokter yang memeriksa salah seorang murid dari Aisyah binti Abu Bakar ini mempunyai satu kesimpulan. Kaki kiri Urwah harus diamputasi, agar luka yang membusuk tidak terus menjalar ke tubuhnya.
Urwah menerima keputusan tim dokter istana itu. Waktu untuk operasi amputasi pun tiba. Ada sejumlah orang mengusulkan agar Urwah mendapat rukhshah minum khamar, supaya ia tak sadar saat amputasi itu dilakukan.
Dengan keras Urwah menolak, “Tidak. Demi Allah, bagaimana aku mengharapkan kesembuhan dari jalan yang Allah haramkan. Tidak sama sekali. Aku yakin dari jalan halal Allah sudah siapkan untuk kemaslahatan hamba-hamba-Nya. Setiap penyakit Allah sediakan obatnya, dan itu dari jalan yang halal.”
Seorang dokter menyuguhkan Urwah sejenis obat bius agar saat proses operasi amputasi dilakukan Urwah tidak merasa sakit. Urwah menolak dengan halus, ia berkata, “Mohon maaf, aku tidak akan meminum suatu obat yang menghilangkan akalku sehingga aku tidak lagi mengenal Allah, walaupun untuk sesaat.”
Mendengar itu, para dokter pun menjadi ragu untuk melakukan amputasi. Urwah tersenyum, lalu berkata pada para dokter, “Silakan kalian potong kakiku. Lakukanlah operasi amputasi ketika aku sedang shalat agar sakitnya tidak aku rasakan.”
Operasi amputasi siap dimulai. Urwah memulai takbir untuk shalat. Ia tenggelam dalam khusyuk dan menikmati setiap doa dan ayat yang dibaca. Para dokter menunduk haru. Terbawa pancaran khusyuk Urwah dan indahnya gerakan shalat.
Operasi harus segera dimulai. Mulailah tim dokter memotong kaki Urwah yang sedang shalat itu dengan gergaji. Mereka potong saat Urwah berdiri tegak, kedua mata melihat ke tempat sujud, saat ia begitu menikmati ayat-ayat Allah yang tidak hanya ia baca tapi kuat merasuki hatinya. Selama proses operasi itu, tabi’in yang rutin mengkhatamkan Al-Qur’an selama dua hari ini tampak khusyuk dan tenang. Saat gergaji mulai memotong kaki kirinya tak ada sedikit pun suara rintihan keluar dari lisannya. Ia tetap khusyuk shalat, seolah tak ada yang terjadi pada dirinya dan yang ada di sekitarnya.
Operasi amputasi dinyatakan selesai oleh tim dokter. Urwah menyelesaikan bagian akhir dari shalatnya, yaitu salam. Saat salam selesai dilakukan ia rasakan sakit luar biasa dan ia sempat pingsan tak sadarkan diri sesaat. Tapi tak lama ia siuman kembali.
Malam pun tiba dengan peranan memberikan kesejukan dan ketenangan. Namun Urwah bin Zubair kembali bertemu ujian dari-Nya. Malam itu juga, bersamaan dengan telah selesainya operasi pemotongan kaki, Urwah mendapat kabar bahwa salah seorang putra beliau yang bernama Muhammad, putra kesayangannya meninggal dunia.
Air mata mengalir tersebab kabar duka ini. Tapi urwah tetap lapang dada atas musibah yang menimpanya.
Terbukti keesokan harinya ada seorang Arab Badui berkata kepadanya, “Hai Urwah, lengkap sudah penderitaanmu. Engkau baru saja jadi diamputasi salah satu kakimu. Engkau jadi laki-laki buntung. Terus semalam anakmu meninggal dunia.”
Urwah bin Zubair dengan tersenyum, lalu ia menyatakan dengan tegas, “Saudaraku, Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Ketahuilah, Allah telah mengkaruniakan kepadaku puluhan tahun dengan anggota tubuhku yang lengkap. Aku telah menggunakan kedua kakiku puluhan tahun di jalan Allah. Yang Allah baru saja ambil hanya satu kaki, aku bersyukur masih punya satu kaki yang dapat aku gunakan di jalan-Nya. Aku masih punya kedua tangan yang normal. Belum lagi aku masih memiliki kedua mata yang dapat melihat dengan normal. Telinga, hidung, dan anggota tubuh indah yang lainnya.
“Mengenai anakku, aku dikaruniai Allah empat orang anak. Aku telah puluhan tahun bersama mereka, bercanda, bermain, saling berbagi puluhan tahun. Sekarang, yang Allah ambil hanya satu dari empat orang anakku. Aku masih bisa bermain, bercanda dengan tiga anak yang lain. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.”
***
Indah sikap lapang dada yang dipilih oleh Urwah bin Zubair. Ia tidak larut dalam penyesalan dan duka saat takdir Allah menyapanya. Ia begitu kokoh lapang dada, dalam arti menerima, ridha, dan tergambar keyakinan terbaik yang Allah gariskan untuknya. Bukan hanya itu, dalam ketetapan yang bisa jadi dianggap tidak menyenangkan bagi sejumlah orang, justru ia tetap bersyukur atas nikmat yang Dia anugerahkan.
Inilah lapang dada terhadap Allah. Sikap lapang dada dengan tenang, nyaman, menerima, dan ridha atas segala perintah Allah dan ketentuan atau takdir yang digariskan-Nya. Inilah di antara karakter mukmin sejati. Allah swt berfirman, “Siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (menjalankan) ajaran Islam. Dan siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.” (al-An’am [6] : 125).
Demikianlah, orang-orang yang lapang dengan mudah mendekap hidayah berjalan di muka bumi dengan segenap kehendak Allah yang mengitari. Bagaimanapun ia tenang dan lapang.
Sebaliknya, jika mendapatkan ketentuan atau perintah Allah tapi sempit, sejatinya hidayah susah menembus samudera kehidupannya. Sehingga hanya karena keingian yang tak tercapai, karena problematika yang hadir dalam kehidupan, maka ia sempit, “seolah dunia mau kiamat”. Bahkan tak jarang yang mengambil jalan pintas, bunuh diri misalnya.
Tentu tidak sama, antara orang yang lapang dadanya dan yang sempit dadanya saat berhadapan dengan ketentuan Allah. Orang yang dadanya lapang, ia akan tetap mengembalikan kepada Allah, menerima, tenang dan yakin jalan hikmah Dia hamparkan. Sementara orang yang sempit dadanya, hanya karena tidak mendapatkan yang ia kehendaki, maka ia protes, menyatakan Allah tidak adil, bahkan melakukan hal yang tidak dibenarkan agama.
Allah swt menegaskan, “Maka apakah orang-orang yang dilapangkan dadanya oleh Allah untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu (sempit) hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.” (az-Zumah [39] : 22). Iya, tidak sama yang segera ingat Allah, segera mengembalikan kepada Allah, segera memohon hikmah yang terbaik kepada-Nya, dengan yang mencela, lemah, tidak menerima, emosional bila yang tak diharapan menjelma dalam kehidupannya.
Indah doa yang diajarkan oleh nabi Musa as, tepatnya saat ia diuji Allah untuk berhadapan dengan Fir’aun la’natullah ‘alaih. Pasalnya saat itu nabi Musa hanya pemuda biasa, tak memiliki kekuasaan dan kekuatan. Sementara Fir’aun la’natullah ‘alaih adalah penguasa dunia ketika itu, tentara, kekuatan dan kekuasaan berada di kerajaannya. Lihatlah doa yang pertama kali diucapkan nabi Musa, tiada lain adalah memohon kelapangan dada. “Ia (Musa) berkata, Tuhanku lapangkanlah dadaku.”
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya, Zadul Ma’ad menyebutkan bahwa lapang dada di atas adalah di antara makna lapang dada untuk Allah. Yaitu bagaimana ketika menerima apa yang Allah gariskan, saat harapan membuncah tapi realita tak sejalan pun tetap harus dengan terus senantiasa enjoy, siap menerima perintah dan ketentuan Allah.
Berlapang dadalah agar hilang kesedihanmu. Orang-orang yang yakin dengan kekuasaan Allah, siapa yang percaya dengan pilihan Allah untuk kehidupan, maka ia memilih lapang dada sebagai jalan untuk meraihnya. Inilah tanda dari orang-orang yang Allah bukakan hati mereka, hidayah merasuki jiwa mereka. Sehingga, mereka pun selalu lapang dada, tenang, tenteram dan damai. Ingatlah, saat hidup terasa tak berarti, datanglah kepada Allah, lapang dadalah untuk raih perbaikan. Tetaplah lapang dada untuk berbuat sesuai dengan perintahnya, akhir anugerah Allah niscaya indah bertengger di hadapanmu.
Apa pun yang terjadi kembalikan kepada Allah, dan berlapang dadalah. Yakinlah hanya yang terbaik yang Allah pilihkan kepada Anda. Indah perkataan Ali bin Abi Thalib, “Aku meminta sesuatu kepada Allah. Jika Allah mengabulkannya untukku maka aku gembira sekali saja. Namun, jika Allah tidak memberikannya kepadaku maka aku gembira sepuluh kali lipat. Sebab, yang pertama itu pilihanku. Sedangkan yang kedua itu adalah pilihan Allah swt.” []