Oleh: Nazwar, S. Fil. I., M. Phil.
Penulis Lepas, Yogyakarta
naz.nazwar@yahoo.co.id
PENGALAMAN spiritual, atau katakanlah bagian terdalam pengalaman keagamaan menjadi semakin menarik dengan membincang hikmah-hikmah di dalamnya.
Bentuk pengalaman spiritual berupa berbagai ekspresi, menjadi contoh eksistensi spiritualitas dalam diri manusia nyata dan bisa diperbincangkan. Diperbincangkan dengan tujuan menyerap manfaat, dan berharap dijauhkan dari segala mudarat.
Kezuhudan sebagai Jalan
Zuhud secara sederhana dapat dipahami dengan hidup secara sederhana. Gemerlap dunia, kemudahan fasilitasnya, serta nikmat-nikmat yang terkandung di dalamnya dipahami kenyataan yang menipu dan melalaikan manusia dari tugas utamanya sebagaimana sesungguhnya manusia.
Sama sekali, kemewahan, keindahan berikutnya kenikmatan ditinggalkan dan menempuh hidup zuhud, itulah jalan para penempuh atau yang disebut sufi. Muara yang dituju adalah Allah. Dibutuhkan ilmu agar tidak tenggelam tanpa pengetahuan.
Layaknya hasrat kembali ke kampung halaman, perasaan rindu yang dalam menjelma tatkala pengalaman tersebut datang setalah meninggalkan selainnya. Senantiasa meniti dan penuh harap untuk mampu menitinya dalam keredoanNya.
BACA JUGA: 6 Tarekat Sufi yang Lahir di Maroko
Dikatakan, semangat pejuang (mujahid) di masa lalu seperti mutiara bagi mereka yang mengalami kebingungan, peneladan kisah orang-orang dalam sejarah menjadi oase bagi pemenuhan kedahagaan akan ilmu pengetahuan, termasuk perihal kezuhudan.
Ilmu kiranya tidak hanya dipahami dalam fungsinya bagi manusia untuk mengolah kehidupan menjadi dunia berkembang dan berkemajuan seperti saat ini. Ilmu tidak hanya membangun peradaban, tetapi dengan ilmu manusia memfilter perbuatan mana yang akan dilakukan sebab akan dipertanggung jawabkan di hadapan Yang Maha Kuasa.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an Surat al-Israa’ Ayat 36: “dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak memiliki ilmu terhadapnya, sesungguhnya pendengaran, dan penglihatan serta hati, semuanya akan diminta pertanggungjawabnya.”
Hidup Tidak Bermukim
Hidup tanpa rumah sebagai tempat tinggal layaknya manusia modern kebanyakan, adalah bukan suatu yang sulit untuk digambarkan. Tidak menetap, berpindah dari satu tumpangan karena tempat tersebut mau digunakan hingga harus ke tempat lain, serta beribadah dari satu masjid ke masjid yang lain.
Bukan tanpa pilihan; memilih tidak bermukim menghadirkan hikmah, berupa usaha mencari ilmu atau meraih suatu posisi (“maqam”) keilmuan menjadikannya pilihan terbaik untuk mengharap hasil terbaik pula.
Seolah hendak mengikuti semua kehendak Tuhan, tidak ada rasa terpaksa serta kondisi badan senantiasa sedia untuk memenuhi setiap perintahNya. Menjadi yang terbaik dengan mencari jalan terbaik untuk menunaikannya. Berpikir bagaimana caranya dapat melaksanakan secara sempurna.
Bagian terakhir pada paragraf di atas disebutkan “beribadah dari masjid ke masjid”, menjadi sempurna dengan kata ganti “hidup”, karena masjid tidak hanya tempat ibadah secara khusus, namun terdapat berbagai perbuatan yang dihukumi mubah (perbuatan dengan hukum boleh menurut agama namun tidak mendapat pahala) yaitu makan dan minum di dalamnya, serta tidur.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman dalam al-Qur’an Surat Al-A’raf Ayat 31 yang artinya: “wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.”
Layaknya Ulama yang dicirikan al-Qur’an sebagai manusia yang takut pada Allah, sikap sufi adalah hati-hati dalam arti menempuhnya dengan ilmu dan menghindari sikap semena-mena dan atau melampaui batas termasuk dalam melaksanakan perintah agama.
Melakukan dalam arti berjuang dengan sungguh-sungguh mewujudkan amalan terbaik adalah dengan niat terjaga semua dilakukan sesungguhnya semata untuk Allah.
BACA JUGA: Perisai Diri dengan Dzikir Sore
Walhasil, setiap amalan bahkan dalam bentuk kesalahan sekalipun dilakukan dalam perjalanan menuju Allah secara sadar bahwa kejadian apa pun tidak lepas dari kuasa dan pengetahuanNya.
Sehingga sudah sepantasnya hidup ini adalah dari, dengan, dan untukNya, dalam redaksi yang lebih frontal dikatakan, “amalan ini, cinta ini, hasrat ini semata demiMu, ya Allah!” “hamba mengenal Engkau sebagaimana Engkau mengenalkan diriMu dalam al-Quran, yang adalah kalamMu” “RasulMu menyampaikan kalamMu, Engkau pula yang mengutusnya” sungguh “tiada daya dan upaya selain dengan Allah Yang Maha Tinggi Maha Agung” Engkau jua yang mengajari. []
Kirim tulisan Anda ke Islampos. Isi di luar tanggung jawab redaksi. Silakan kirim ke: islampos@gmail.com, dengan ketentuan tema Islami, pengetahuan umum, renungan dan gagasan atau ide, Times New Roman, 12 pt, maksimal 650 karakter.