SEMASA Umar bin Khaththab belum menjabat sebagai khalifah, Ia merupakan seorang pedagang. Namun, selepas menjabat khalifah, Umar terpaksa meninggalkan dunia perdagangan.
Berdagang merupakan mata pencaharian Umar. Dari berdagang inilah Umar bisa membiayai hidupnya. Namun, semua berubah setelah Umar menjabat sebagai seorang khalifah. Umar memutuskan berhenti berdagang dan lebih memfokuskan dirinya untuk urusan umat.
BACA JUGA: Cara Umar Memaafkan Istri Tercinta
Karena itu, untuk membiayai hidupnya, dia mendapat bagian dari Baitul Mal (Badan Keuangan Negara). Ternyata, biaya itu sekadar cukup untuk hidupnya secara sederhana. Melihat hal yang demikian itu, Ali bin Abu Thalib, Utsman bin Affan, dan Thalhah bin Ubaidullah berpendapat bahwa bagian khalifah dari Baitul Mal perlu diperbesar. Tetapi, tidak seorang pun di antara mereka yang berani menyampaikan hal itu kepada sang khalifah.
Oleh karena itu, mereka kemudian mendatangi Hafshah, putri sulung Umar sekaligus sebagai istri dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, agar Hafshah menyampaikan maksud mereka kepada ayahandanya.
Permintaan ketiga sahabat itu dipenuhi Hafshah. Dia pun menyampaikan maksud ketiga sahabat itu kepada ayahandanya. Baru saja sang khalifah mendengar apa yang dimaksud oleh ketiga sahabat itu, muka Umar bin Khaththab memerah padam karena marah.
“Apa katamu, Hafshah? Siapa mereka itu yang telah berani mengusulkan kenaikan gaji seperti itu?” ucap Umar.
Hafshah diam saja dan tidak berani menjawab serta merundukkan kepala.
“Katakanlah siapa mereka itu, biar dapat saya ajar! Hafshah, selama engkau menjadi istri Rasulullah, makanan apa yang biasa beliau santap?” Tanya Umar
Mendengar ucapan sang ayahanda yang demikian, hafshah hanya bisa merundukkan kepala. Air matanya tak terasa meleleh deras dan membasahi kedua pipinya. Dia teringat kehidupan Rasulullah yang kelewat sederhana.
Dengan terbata-bata, Hafshah akhirnya menjawab, “Roti tawar kering dan keras, wahai ayah. Dan, untuk memakannya harus dicelupkan dulu ke dalam air minumnya.”
“Hafshah, pakaian paling mewah apakah yang pernah beliau kenakan?” Tanya Umar lagi.
“Selembar jubah berwarna kemerahan karena sudah luntur. Itulah yang beliau bangga-banggakan untuk menerima tamu-tamu kehormatan,” jawab sang putri dengan suara lirih dan kepala semakin merunduk.
BACA JUGA: Ketik Musuh Allah Mendengar tentang Umar bin Khattab
“Apakah beliau pernah tidur di atas tilam yang empuk?” tanya sang ayahanda lebih lanjut.
“Tidak, Ayah,” jawab sang putri yang semakin tak kuasa menahan lelehan air matanya yang membasahi kedua pipinya. “Rasulullah hanya beralaskan selembar selimut tua. Manakala musim panas tiba, selimut itu dilipatnya menjadi empat lapis agar nyaman ditiduri. Dan manakala musim dingin tiba, selimut itu dilipatnya menjadi dua, untuk alas dan penutup badannya.”
Mendengar jawaban putri sulungnya yang demikian itu, Umar bin Khaththab berucap lirih dan perih, “Hafshah, putriku. Aku, Abu Bakar, dan Rasulullah adalah tiga musafir yang menuju cita-cita yang sama. Karena itu, kami harus menempuh jalan yang sama. Musafir pertama, yakni Rasulullah, telah tiba di tempat tujuan sebagai pelopornya. Musafir kedua telah mengikuti jalannya dengan saksama, sehingga dia telah berkumpul bersama musafir yang pertama. Dia adalah Abu Bakar. Lalu apakah sebagai musafir ketiga, jika aku tidak meniti jalan yang sama akan dapat bergabung dengan mereka? Tidak, Hafshah. Katakan kepada para sahabat yang mengusulkan kenaikan gajiku itu, aku lebih memilih berkecukupan di akhirat daripada bermewah-mewah di dunia yang fana ini.”[]
Sumber: Pesan Indah dari Makkah dan Madinah/Penulis: Ahmad Rofi’ Usmani/Penerbit: Mizan/ 2008