MEMINTA maaf menjadi hal yang biasa dan lumrah dilakukan. Namun, menjadi pemaaf sejatinya lebih berat dari mengucapkan kata, “Maafin ya!” Terlebih saat diri merasa suci, merasa benar, dan pihak lain salah dan di bawah status kita.
Menjadi pemaaf begitu indah, karena ia secara lugas diperintahkan Allah swt. Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya, “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf serta berpalinglah daripada orang-orang bodoh.” (al-A’raf : 199). Ayat ini pernah dibacakan Rasulullah saw ketika ada seorang sahabat bertanya mengenai akhlak yang mulia. Dan Rasul, menjawab bahwa akhlak mulia (husnul khuluq) adalah engkau menjadi pemaaf.
Imam ath-Thabari, dalam tafsirnya memaparkan, bahwa ketika turun ayat ini, Rasulullah meminta penjelasan dari malaikat Jibril as. Jibril menjawab, “Sesungguhnya Allah memerintahkan engkau agar memaafkan meskipun terhadap orang yang menganiaya engkau, memberi kepada yang menahan pemberiannya dan menyambung tali silaturahim meskipun kepada orang yang memutuskannya.” Subhanallah, terbukti Rasulullah adalah teladan utama sebagai pemaaf terhadap orang yang menganiaya beliau, seperti banyak dituliskan sejarah.
Allah swt memerintahkan kita menjadi pemaaf, karena ia di antara meneladani sifat-Nya, Maha Pengampun. Terlebih menjadi pemaaf di antara syarat menjadi hamba yang bertakwa. Allah swt befirman, bahwa orang yang bertakwa di antaranya adalah, “Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.“ (Ali Imran : 134)
Karena itu Abu Bakar ash-Shiddiq ra pernah mendapat teguran dari Allah swt agar ia menjadi orang yang pemaaf. Tepatnya saat ia bersumpah memutuskan hubungan kekeluargaan dan menghentikan bantuan keuangan kepada sepupunya Misthah bin Utsatsah karena ia telah menyebar kabar dusta (haditsul ifki) tentang Aisyah, putri kesayangannya. Allah swt menurunkan ayat, “Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apalah kamu tidak ingin Allah meggampunimu?” (an-Nur : 22) Abu Bakar spontan menjawab pertanyaan Allah swt tersebut, “Ya Allah, aku lebih suka agar Engkau mengampuniku, dan aku sudah memaafkannya (misthah).”
Selain itu, menjadi pemaaf adalah di antara bentuk kedermawanan. Suatu hari Rasulullah saw pernah memuji seorang sahabat bernama Abu Dhamdham di depan sahabat-sahabat lain, “Apakah kalian mampu berbuat seperti yang dilakukan oleh Abu Dhamdham?” Sahabat bertanya apakah yang dilakukan Abu Dhamdham. Rasul menjawab, “Ia adalah seorang yang jika bangun pagi selalu mengucapkan doa, ‘Ya Allah, aku berikan jiwa dan nama baikku. Janganlah dicela orang yang mencelaku dan jangan dizalimi orang yang menzalimiku, serta jangan dipukul (dibalas) orang yang memukulku.” Karena itu pula Imam Ibnu Qayyim membagi kedemawanan menjadi sepuluh, di antaranya kedermawanan layaknya Abu Dhamdham, dermawan dengan bersedekah atas nama baiknya, menjadi pemaaf.
Terlebih lagi, membuang benih permusuhan dan menjadi pemaaf menjadikan aliran doa dan amal kita mudah naik ke langit lancar tanpa macet. Rasulullah saw bersabda, “Pintu-pintu surga dibuka pada hari Senin dan Kamis, kemudian ampunan diberikan keapada semua hamba yang tidak menyekutukan Allah, kecuali seorang hamba yang ada permusuhan antara dirinya dan saudaranya. maka Allah memerintahkan keapda malaikat, ‘Tangguhkan bagi kedua orang itu hingga keduanya berbaikan (saling memaafkan). Tangguhkan bagi kedua orang itu hingga keduanya berdamai.” (HR. Muslim)
Betapa indahnya bila dalam konteks keseharian kita, kita berinteraksi dengan membangun prinsip akhlaqul karimah, prinsip memaafkan saudara kita sesama muslim. Pasalnya, bila hati terbuka memaafkan maka kerjasama akan mudah terbentuk, dan agenda umat menjadi terang benerang untuk diaplikasikan. Semoga.Wallahu’alam.
________________________________
H. Atik Fikri Ilyas, Lc, MA
Alumnus Universitas Al-Azhar Kairo & Universitas Amer Abdel Kader Aljazair, mahasiswa program Doktoral Tafsir Hadits UIN Syarif Hidayatullah Jakarta