DESA Karanganyar, Sambungmacan, Sragen melarang pedagang mainan menjual dagangannya di atas Rp 5 ribu. Apa alasannya?
Menurut Ketua RT setempat, Harloso, awalnya larangan itu hanya lisan kemudian ada kesepakatan dari karang taruna. Sehingga dibuatlah tulisan berisi larangan jual mainan dengan harga di atas Rp 5 ribu.
“Semula saya tidak tahu. Kemudian pada malam harinya, ada pemuda yang memberi tahu saya tentang adanya pemasangan tulisan itu di tempat hajatan warga,” jelas Harloso.
BACA JUGA: Bagaimana Cara Meruqyah Anak untuk Melindunginya?
Harloso mengungkapkan, alasan larangan itu karena penjual mainan anak dengan harga di atas Rp 5 ribu dinilai memberatkan warga. Anak yang ingin mainan sampai menangis karena orangtua tidak punya uang untuk membelikan.
“Bahkan ada orangtua yang sampai utang demi menuruti keinginan anak beli mainan,” ujar Harloso yang juga seorang master ceremony (MC) ketika di acara hajatan warga.
Larangan seperti itu, kata Harloso, tidak hanya di Natan tetapi juga ada di desa-desa lainnya. Dia menyebut di daerah Plumbon, Sambungmacan, Sragen, juga ada kesepakatan warga tentang larangan itu.
Hal itu dibenarkan Siswodiyono (60) warga Paingan RT 006/RW 002, Desa Plumbon, Sambungmacan. Menurutnya orangtua yang sudah terbebani dengan iuran warga yang punya hajat. Kemudian saat anak minta mainan padahal harganya sampai Rp 25 ribu/buah, orangtua tidak bisa membelikan karena tidak punya uang. Anak sering kali menangis dan tida mau tahu orangtuanya punya uang atau tidak.
“Bagi yang mampu tidak masalah, bagi yang tidak mampu jadi persoalan,” tuturnya.
Bayan Mahbang, Karanganyar, Sambungmacan, Rusdiarto, pun pernah mengalami hal serupa, yakni ada keponakannya yang meminta mobil-mobilan yang harganya Rp 25 ribu, padahal ia hanya diberi uang saku Rp 10 ribu.
“Akhirnya keponakan saya itu minta tambahan uang kepada orangtuanya. Dengan adanya penjualan mainan anak maksimal Rp 5 ribu itu tidak memberatkan warga. Kalau jualannya di pasar malam atau tempat hiburan, silakan. Ya itu risiko pedagang,” ujarnya.
Kepala Desa Karanganyar, Giyono, mengaku tidak mengetahui adanya larangan tersebut. Dia berpendapat hal itu mungkin sudah menjadi kesepakatan warga setempat dan memang tidak dilaporkan ke desa. []
SUMBER: LIPUTAN6