INI adalah kisah tentang pemakaman Buya Hamka, salah satu ulama besar yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.
24 JULI 1981. Waktu zuhur telah tiba; azan Shalat Jumat di Al-Azhar siap berkumandang. Kaum keluarga di bawah pimpinan Dahlan AS (menantu Abdul Kudus Amrullah) mengadakan shalat jamaah pula di rumah. Turut dalam jamaah itu antara lain Bapak Ir. Azwar Anas (Gubemur Sumatra Barat), dan Bapak AR Baswedan yang baru datang dari Yogyakarta. Selesai Shalat Jumat, hujan turun dengan lebat sekali.
Faishal Tamim datang memberitahukan bahwa tanah pekuburan sedang digali. Saya segera mengajak kawan-kawan dan adik-adik memandikan jenazah.
Sementara itu, tamu-tamu pun semakin banyak, rumah dan pekarangan di jalan Raden Patah penuh sesak.
Sepanjang jalan penuh dengan mobil dan motor yang diparkir. Jenazah Buya Hamka dibaringkan kembali untuk dikafani dan memenuhi permintaan keluarga yang belum sempat melihat wajah yang terakhir kami mempersilakan mereka itu melihat.
BACA JUGA: Kata-kata Bijak Terbaik Buya Hamka
Awalnya, kami bermaksud hendak membawa jenazah ke Masjid AI-Azhar untuk dishalatkan, dan diadakan sekadar upacara pelepasan, di mana atas nama keluarga saya menyatakan terima kasih. Menko Kesra Surono, atas nama pemerintah dan Departemen Hankam, direncanakan melepas almarhum Buya Hamka, bersama-sama Syaikh Ali Mochtar selaku wakil dari Rabithah Alam Islami.
Tiba-tiba ada telepon dari Sekretariat Negara bahwa Presiden Soeharto akan datang, dan meminta izin agar beliau melihat wajah Buya Hamka untuk terakhir kalinya. Kami semua terharu mendengar permintaan Kepala Negara itu. Tak lama kemudian lampu-lampu kamera televisi dan juru foto menerangi ruangan.
Presiden berdiri di antara menteri-menteri lain yang sudah lebih dulu hadir, yaitu Menko Kesra Surono, Menteri Dalam Negeri H. Amir Machmud, Menteri Agama Alamsyah, Menteri Urusan Pemuda Abdul Gafur, dan Menteri Urusan Wanita Lasiyah Sutanto.
Presiden hanya sejenak membaca doa dan tertegun menatap jenazah Buya Hamka dengan wajah murung. Sedikit ucapan beliau sampaikan pada keluarga Buya Hamka agar tabah. Beliau keluar tanpa pengawalan resmi, sehingga orang ramai banyak yang tidak tahu Presiden berada di tengah mereka.
Telepon datang lagi, kali ini dari Wakil Presiden, memohon supaya jenazah Buya Hamka jangan ditutup dahulu, apatah lagi beliau sudah dalam perjalanan menuju rumah duka. Kurang lebih pukul 14.00, Wakil Presiden bersama Ibu Nelly Adam Malik tiba.
Di belakangnya turut Menteri Emil Salim, Menteri Harun Zein yang paginya juga tampak di rumah sakit bersama Menhamkam M. Yusuf. Wakil Presiden membuka Al-Quran kecil dan membaca surat Yaasin. Beberapa menit kemudian beliau meninggalkan ruangan.
Jenazah Buya Hamka pun ditutup dan segera dimasukkan ke dalam usungan untuk dibawa ke masjid Al-Azhar. Untuk menshalatkan di rumah sudah tak mungkin lagi, karena ruangan telah penuh sesak. Pelayat-pelayat juga sulit untuk diatur.
Rupanya Masjid Al-Azhar pun telah penuh. Semua orang ingin turut menggotong jenazah. Mereka berebutan, bahkan ada yang kena sikut, terinjak-injak. Saudara Lukman Harun yang melihat situasi itu bakal menimbulkan histeri, sontak mengomandokan takbir. Allahu Akbar! Beramai-ramai para pelayat mengikuti pekik takbir. Sulit juga mengatur jamaah yang memadati bagian atas masjid, karena mereka mendesak ke muka.
Alhamdulillah, akhirnya shalat jenazah Buya Hamka bisa juga dilangsungkan dengan Imam K.H. Hasan Basri, dan pembaca doa oleh KH Abdullah Syafi’i. Tanpa pidato-pidato lagi, kemudian jenazah dibawa ke Tanah Kusir.
Di sepanjang jalan masyarakat berdiri menyaksikan iring-iringan jenazah. Lalu lintas dari jalan Sisingamangaraja sampai Tanah Kusir terhenti, dan iring-iringan jenazah berjalan lambat.
Gubernur Tjokropranolo menanti dan memimpin penggalian kuburan. Sekitar pukul 16.00 jenazah dikebumikan putra-putra almarhum. Zaki (putra sulung almarhum Buya Hamka ), dan saya, dibantu oleh orang yang tak kami kenal, memasukkan jenazah ke liang lahad.
Setelah ditimbuni dan dilepas dengan pidato dari Buya Malik Akhmad (murid almarhum yang tertua), Menteri Agama Alamsyah dan doa Kanda E.Z. Muttaqin, upacara pun berakhir. Akan tetapi, ribuan orang masih berdiri di pemakaman Buya Hamka. Saat yang sama, awan hitam di langit. Semakin menunjukkan tanda-tanda bakal turunnya hujan lebat.
Pesan dari Sumbar
Azwar Anas, Gubernur Sumatra Barat, yang tahu-tahu muncul di jalan Raden Patah tak lama setelah tibanya jenazah Buya Hamka dari rumah sakit bertanya kepada saya. “Apakah Buya Hamka tidak berwasiat untuk dikubur di tanah kelahirannya di Padang atau Maninjau?”
Saya jawab bahwa saya dan kami semua tidak pernah mendengar wasiat itu. Dulu tatkala Ummi meninggal, dan dimakamkan di Taman Pekuburan Blok P Kebayoran, almarhum Buya Hamka ingin dikuburkan di sebelah Ummi. Sampai di situ disediakan tanah pekuburan Ayah.
“Tapi karena pekuburan Blok P telah ditutup, Gubernur DKI Tjokropranolo menjanjikan lewat Faishal Tamim akan memindahkan kuburan Ummi ke Tanah Kusir di sebelah Ayah. Dan kami menerima saran Gubernur itu,” jelas saya pada Pak Azwar Anas.
Pak Azwar masih meminta kepada keluarga sebagai Kepala Pemerintah Sumatra Barat dan atas nama rakyat di sana.
Dengan menyatakan terima kasih, saya pun meyakinkan Pak Azwar bahwa jauh lebih baik kita segera saja membawanya ke Tanah Kusir, karena Pemerintah DKI dan masyarakat Jakarta pun adalah pencinta almarhum Buya Hamka. Marilah kita sama-sama berdoa dan melanjutkan perjuangan beliau. Pak Azwar Anas, salah seorang yang saya tahu menganggap almarhum sebagai gurunya, tampak berlinang air mata.
Beberapa orang ibu-ibu dari jamaah pengajian Masjid Istiqlal tatkala di rumah sakit menemui saya. Mereka memohon kesediaan keluarga untuk menyemayamkan jenazah Buya Hamka beberapa waktu di masjid yang megah itu. Demi memberikan kesempatan pada umat untuk melepaskan kepergian almarhum Buya Hamka untuk selama-lamanya.
Kepada ibu-ibu itu pun saya mohon pengertian bahwa yang terbaik kita lakukan ialah segera membawanya ke tempatnya yang terakhir menemui Allah yang memanggilnya. Ibu itu memahami jawaban saya meskipun mereka menitikkan airmata kecewa.
https://www.youtube.com/watch?v=_kkfVXp8FJE
Ketika mendampingi Menteri Agama Alamsyah duduk di bagian belakang rumah, tiba-tiba datang seorang pemuda. Katanya, atas nama perantau Minang di Jakarta mereka memohon agar kuburan Buya Hamka bersebelahan dengan Bung Hatta. Pemuda itu sengaja mengajukan usul dengan suara dikeras-keraskan. Mungkin maksudnya agar didengar oleh Bapak-Bapak Menteri.
BACA JUGA: 2 Kisah Buya Hamka
Lalu saya jawab dengan suara yang agak keras pula dengan mengulang ucapan Pak Natsir di rumah sakit, “Tidak usahlah macam-macam, kita tahu di mana tempat yang layak bagi almarhum Bung Hatta, dan kita pun tahu tempat yang layak bagi Buya Hamka.”
Pemuda itu mengundurkan diri, tapi saya tak lupa menjabat tangan pemuda itu dengan mengucapkan terima kasih dan maaf yang sebesar-besarnya. []
Disunting oleh: Yusuf Maulana – Yogyakarta. (Dikutip dan disunting dari artikel berjudul “Penjelasan Tentang Pemakaman Almarhum Buya Hamka”, tulisan Bapak Rusydi Hamka, Panji Masyarakat Nomor 332, halaman 9-11).