ENTAH kenapa hari itu, Rasulullah merasa tidak enak sekujur tubuhnya. Ia merasa akan jatuh sakit. Putra Abdullah itu juga sulit untuk memejamkan matanya.
Akhirnya tengah malam sekali, ditemani oleh pembantunya, Abu Muwayba, Rasullah pergi ke Baqi Gharqad, pemakaman kaum Muslim di Madinah. Abu Muwayba merasa tidak enak dan menebak ada apakah gerangan, karena di sana Rasulullah berdoa untuk orang-orang yang wafat, dan beliau seperti berbicara pada para ahli kubur.
BACA JUGA: Rasulullah Anjurkan Kita Perbanyak Doa ketika Sujud
Setelah malam itu, demam Rasulullah makin menghebat. Pun begitu, Rasulullah masih berusaha untuk melakukan kegiatan seperti biasanya. Namun suatu hari, ketika Rasulullah di rumah Maimunah, serangan demam makin kuat saja. Beliau tak dapat berbuat apapun selain berbaring. Ketika itu juga, beliau dipindahkan ke tempat Aisyah.
Alangkah hebatnya demam itu. Sampai Rasul merasa seolah terbakar tubuhnya. Untuk mengurangi rasa panas itu, Rasulullah meminta disiram sedikit dengan air dari sumur. “Cukup.. cukuplah dahulu!” ujarnya.
Rasul merasa sedikit ringan. Ia mengenakan pakaiannya kembali, mengikat kepala, lalu pergi ke masjid. Di atas mimbar, beliau mengucap banyak puji syukur kepada Allah, mendoakan para sahabat yang gugur di Uhud, juga banyak lagi memanjatkan doa yang lain. Rasul juga mengatakan bahwa “Seorang hamba Allah oleh Tuhan telah disuruh memilih antara di dunia ini atau di sisi-Nya, maka ia memilih di sisi Tuhan.” Rasulullah lalu terdiam. Ia tidak menyebut siapa hamba yang diminta Tuhan untuk memilih itu. Hadirin pun terdiam. Sejenak suasana masjid menjadi senyap. Baru kemudian Abu Bakar memecah keheningan dengan tekadnya untuk menebus jiwa Rasulullah dengan jiwa mereka dan anak-anak mereka. Abu Bakar tahu, yang dimaksud “hamba Allah” oleh Rasul adalah Rasul sendiri.
“Sabarlah, Abu Bakar,” hibur Rasulullah. Dengan bersusah payah ia lalu meninggalkan masjid. Namun, sebelum pulang, beliau sempat berpesan agar kaum Muhajirin terus menjaga Anshar.
Keadaan Rasul semakin parah. Untuk menjadi imam masjid, Rasulullah minta agar orang-orang menghubungi Abu Bakar. Aisyah—putri Abu Bakar—keberatan karena suara ayahnya terlalu pelan untuk menjadi imam, dan sering menangis saat membaca ayat-ayat Quran. Namun Rasul tetap minta agar Abu Bakar yang menjadi imam. Ketika terdengar suara Umar yang keras mengimami shalat di masjid, Rasul berkata, “Mana Abu Bakar?” Belakangan, banyak orang percaya, bahwa kejadian tersebut adalah isyarat Rasul agar kaum Muslimin memilih Abu Bakar sebagai penggantinya kelak.
Begitu parah keadaan Rasulullah. Ia sempat pingsan beberapa lama. Rasul juga minta istrinya agar menyedekahkan uang miliknya yang cuma tujuh dinar. Ia tak ingin meninggal dengan masih memiliki kekayaan—betapapun sedikitnya—di tangan.
Demam Rasul tampak mereda. Dengan kepala diikat, dan ditopang oleh Ali bin Abu Thalib dan Fadzil bin Abbas, Rasul ke masjid. Abu Bakar yang tengah menjadi imam menyisih untuk memberi tempat pada Rasulullah. Namun Rasulullah mendorong Abu Bakar untuk terus menjadi imam. Ia shalat sambil duduk di sebelah kanan Abu Bakar.
Orang-orang gembira. Rasulullah telah menunjukkan tanda-tanda sembuh. Namun, kemudian, hari itu tiba. Di musim panas, yang diperkirakan tanggal 8 Juni 632, Rasulullah wafat di pangkuan Aisyah. Hari itu Rasulullah meminta diambilkan air dingin. Ia mengusap wajah dengan air itu, lalu bersiwak. Rasul sempat berdoa untuk dimudahkan dalam menghadapi sakaratul maut. Kemudian tubuhnya terasa memberat. Beliau menghembuskan nafas terakhirnya. Dari mulutnya terdengar kata, “Umatku… Umatku… Umatku…” lirih namun dalam.
Kini pemimpin, sahabat, bahkan kekasih seluruh umat Islam itu menghadap-Nya. Perihal itu cepat sekali menyebar. Tentu ada yang menyambut gembira dan lebih banyak yang tidak percaya. Umar bin Khattab berkali-kali meyakinkan dirinya. Ia gusar bukan kepalang. Apalagi ketika ternyata orang-orang munafik mengolok-olok kepergian Rasulullah. Di tengah kemarahan dan kedongkolan serta ketidakpercayaannya, Umar menghunus pedang. Matanya merah dan nafasnya memburu berat, “Barang siapa yang mengatakan Muhammad mati, akan kutebas lehernya!” sentaknya.
Kondisi Umar yang seperti kalap itu sesungguhnya tidak membuat keadaan jadi lebih baik. Ketika sahabat-sahabat yang lain tengah sibuk mengurus segala keperluan untuk Rasulullah, mereka juga harus mengururs Umar bin Khattab yang masih terus mendatangi orang-orang sambil terus menghunus pedangnya dan mengatakan perkataan, “Barang siapa yang mengatakan Muhammad mati, akan kutebas lehernya!”
BACA JUGA: Nubuwwah Rasulullah tentang Lima Fase Akhir Zaman dan Keluarnya Dajjal
Tidak ada yang bisa menghentikan Singa Gurun itu. Semua orang mengenalnya siapa. Perihal tentang Umar itu segera sampai pula ke telinga Abu Bakar As-Shiddiq.
“Umar… Umar…,” ujarnya lirih. Di tengah-tengah kesedihan yang terus menggerogoti karena ditinggal oleh pemimpin terkasih, Abu Bakar segera mendatangi Umar. Abu Bakar tidak banyak bicara, ia hanya berbisik lirih ke telinga sahabatnya itu, “Rasulullah hanyalah Rasul sebagaimana para rasul sebelumnya. Bila ia wafat atau terbunuh, apakah kamu akan berbalik ke belakang?”
Mendengar itu, terasa hancurlah hati Umar. Kini ia harus menerima kenyataan. Berdiri di atas segala yang telah terjadi. Perkataan Abu Bakar yang diambil dari petikan Al-Quran adalah nasihat yang paling meyakinkan, menyejukan kalbu, menentramkan jiwa. Walau itu tentang wafatnya Rasulullah sendiri sekalipun. Si Singa Gurun masih terus menangis. Sementara langit terus menghitam dan udara pun menjadi dingin. []