DI antara kebiasaan orang-orang shalih adalah: mereka berusaha untuk lari dari pujian manusia dan pengagungan mereka, serta membenci popularitas di kalangan manusia. Ini menunjukan keikhlasan mereka kepada Allah, dimana mereka mencukupkan diri dengan pengetahuan Allah sajalah tentang keadaan mereka, dan hanya berharap pahala dari Allah terhadap amalan mereka.
Anda lihat bahwa orang-orang seperti mereka tidak butuh pujian serta tidak butuh popularitas di antara manusia. Mereka tidak mendambakan pujian dan popularitas itu, bahkan mereka membencinya. Mereka berharap menjadi orang yang tidak diperhitungkan di antara manusia, serta tiada yang memperhatikan amalan mereka selain Allah. Namun Allah tidak berkehendak demikian, bahkan Allah berkehendak agar mereka terkenal. Allah meninggikan kedudukan mereka, mereka banyak disebut di kalangan manusia, dan Allah meletakkan di hati para hamba-Nya kecintaan terhadap mereka.
BACA JUGA: Tenarkanlah Dirimu di Langit dengan Bersembunyi di Bumi
Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertaqwa yang kaya lagi tidak menampakan dirinya” (HR:Muslim no.2965).
Kisah Uwais Al-Qarni, bisa dilihat kisahnya dalam Shahih Muslim (no. 2542):
“Apabila kafilah dari Yaman datang, ‘Umar bin Khaththab bertanya kepada mereka: “Adakah di antara kalian Uwais bin ‘Amir?” Sehingga suatu saat ‘Umar mendatangi Uwais dan minta agar Uwais memintakan ampun untuknya, karena Uwais adalah seorang tabi’in yang sangat berbakti kepada ibunya, dan rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa jika Uwais berdo’a, do’anya pasti dikabulkan, maka Uwaispun melakukan apa yang diminta ‘Umar.
Kemudian Umar bertanya kepada Uwais: “Anda mau pergi kemana?”
Uwais menjawab: “Kuufah”,
Umar bertanya: “Perlukah saya tulis untukmu sebuah memo kepada pegawai saya di Kufah (agar dia memenuhi kebutuhanmu -pen)?
Ia menjawab: Aku lebih senang menjadi manusia yang tidak diperhitungkan“.
Imam Syafi’i rahimahullah berkata: “Aku ingin jika manusia mempelajari ilmu ini, mereka tidak menisbatkan sedikitpun ilmu ini kepadaku.” (Hilyatul Aulia, 9/118).
Sufyan Ats-Tsauri berpesan kepada saudaranya: “Waspadalah, janganlah engkau mencintai kedudukan, karena zuhud pada kedudukan itu lebih sulit dari pada zuhud pada dunia.” (Hilyatul Aulia, 6/387).
Ibrahim bin Adham berkata: “Tidaklah tulus kepada Allah, orang yang mencintai ketenaran.” (Hilyatul Aulia, 8/19).
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk menjauhi ketenaran dan pujian-pujian karena pujian itu fitnah. Beliau bersabda,
“Jauhilah sifat suka dipuji, karena dengan dipuji-puji itu seakan-akan engkau disembelih.” (HR. Ahmad no. 16460, di-shahih-kan al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 2674)
BACA JUGA: Waspada, Cinta Ketenaran Berujung pada Kesombongan
Abu Ayyub as-Sikhtiyani mengatakan: “Seorang hamba sama sekali tidaklah jujur jika keinginannya hanya ingin mencari ketenaran.” (Ta’thiru al-Anfas, hlm. 276)
Dari al-Husain bin al-Hasan al-Marwazi diriwayatkan bahwa ia berkata: “Abdullah ibnu Mubarok pernah berkata: “Jadilah orang yang menyukai status khumul (status tersembunyi dan tidak dikenal) dan membenci popularitas. Namun, jangan engkau tampakkan bahwa engkau menyukai status rendah itu sehingga menjadi tinggi hati. Sesungguhnya mengklaim diri sendiri sebagai orang zuhud justru mengeluarkan dirimu dari kezuhudan karena cara itu, kamu telah menarik pujian dan sanjungan untuk dirimu.” (Shifatu ash-Shafwah, 2/325)
Islam memerintahkan umatnya agar tawaduk atau rendah hati dan menjauhi popularitas. Terkadang ketenaran bisa membuat orang sombong dan tidak ikhlas dalam beramal. Namun, ketika ia qodarullah menjadi figur terkenal karena keshalihannya, ilmu dinnya atau karena kebaikannya tanpa ia cari, niscaya tidak karena ini adalah karunia Allah. Ilmu dan prestasi bisa menggelincirkan manusia manakala ia mengabaikan faktor keikhlasan sehingga merasa lebih baik, lebih utama, dan tenar dari orang lain.
Porosnya di hati, yakni niat, meskipun orang lain memandangnya memiliki kelebihan, namun hatinya rendah hati, dan hanya Allah lah yang mengetahui isi hati apakah ia sombong atau benar-benar niatnya ikhlas, ia tidak begitu peduli dengan pujian manusia. Karena sanjungan seringkali membuat orang terlena hingga benih-benih kesombongan dan bangga diri pelan-pelan mengusik hatinya dan akhirnya bisa menodai amalannya. Allah berfirman,
“Katakanlah: Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu melahirkannya, pasti Allah mengetahui.”(QS. Ali-Imran : 29)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
“Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, berkecukupan, dan tersembunyi.” (HR. Muslim no. 2965)
Dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah,
“Yaitu orang yang tidak menampakkan dirinya, tidak berambisi untuk tampil di depan manusia, atau untuk ditunjuk oleh orang-orang atau diperbincangkan oleh orang-orang.” (Syarah Riyadish Shalihin, 629)
Terkadang kita lihat seseorang nampaknya biasa-biasa saja, tak terlihat beda dengan orang lain namun dia subhanallah dikaruniai Allah kefakihan dalam agama, keluasan rezeki atau kekayaan dan berbagai nikmat kelebihan yang jarang dimiliki orang lain. Namun, ia terkesan menghindari perhatian orang lain.
BACA JUGA: Imam Al Ghazali: Dunia dan Akhirat Tak Perlu Seimbang
Ketenaran ibarat ular berbisa. Bisa membinasakan dunia dan akhiratnya ketika ia sengaja mengejarnya demi orientasi dunia semata, biar terkenal, biar dihormati orang lain, biar heboh atau tujuan-tujuan rendah semata. Ini sama sekali jauh dari akhlak Islam. Yakinlah ketenaran demi kebahagiaan dunia semata niscaya pelakunya akan menderita, karena faktanya betapa banyak orang yang tenar akhir hidupnya merana dan tragis.
Imam Ahmad berkata: “Beruntung sekali orang yang Allah buat ia tidak tenar”. Beliau juga pernah mengatakan: “Aku lebih senang jika aku berada pada tempat yang tidak ada siapa-siapa. “ (Ta’thiru al-anfas, hlm. 278)
Akhirnya siapapun kita dan dimanapun perlu mengingat lagi hadits tentang niat “sesungguhnya amal perbuatan itu hanyalah tergantung niat.”
Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Wahai hamba Allah, sembunyikanlah selalu kedudukan muliamu. Jagalah selalu lisanmu. Minta ampunlah terhadap dosa-dosamu, juga dosa yang diperbuat kaum mukminin dan mukminat sebagaimana yang diperintahkan padamu.”
Abu Ayub As Sikhtiyani mengatakan, “Seorang hamba sama sekali tidaklah jujur jika keinginannya hanya ingin mencari ketenaran.” (Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 276.)
Ibnul Mubarok mengatakan bahwa Sufyan Ats Tsauri pernah menulis surat padanya, “Hati-hatilah dengan ketenaran.” (Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 277.)
Daud Ath Tho’i mengatakan, “Menjauhlah engkau dari manusia sebagaimana engkau menjauh dari singa.” (Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 278) Maksudnya, tidak perlu kita mencari-cari ketenaran ketika beramal sholih.
Imam Ahmad mengatakan, “Beruntung sekali orang yang Allah buat ia tidak tenar.” Beliau juga pernah mengatakan, “Aku lebih senang jika aku berada pada tempat yang tidak ada siapa-siapa.” (Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 278)
Dzun Nuun mengatakan, “Tidaklah Allah memberikan keikhlasan pada seorang hamba kecuali ia akan suka berada di jubb (penjara di bawah tanah) sehingga tidak dikenal siapa-siapa.” (Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 278)
BACA JUGA: Tenarkanlah Dirimu di Langit dengan Bersembunyi di Bumi
Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Rahimahullahu ‘abdan akhmala dzikrohu (Moga-moga Allah merahmati seorang hamba yang tidak ingin dirinya dikenal/tenar)” (Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 280)
Basyr bin Al Harits Al Hafiy mengatakan, “Aku tidak mengetahui ada seseorang yang ingin tenar kecuali berangsur-angsur agamanya pun akan hilang. Silakan jika ketenaran yang dicari. Orang yang ingin mencari ketenaran sungguh ia kurang bertakwa pada Allah.” Suatu saat juga Basyr mengatakan, “Orang yang tidak mendapatkan kelezatan di akhirat adalah orang yang ingin tenar.” (Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 284)
Ibrohim bin Ad-ham mengatakan, “Tidaklah bertakwa pada Allah orang yang ingin kebaikannya disebut-sebut orang.” (Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 286). []