SETELAH berpuasa satu bulan penuh di bulan Ramadhan, kita dianjurkan kembali menjalankan puasa selama enam hari di bulan Syawal. Hal ini akan terasa begitu berat bagi kita untuk melaksanakannya. Mengapa? Sebab, pada bulan ini biasanya banyak orang yang menghabiskan waktu untuk pergi berlibur dan merasakan nikmatnya makan di pagi dan siang hari.
Mungkin, hanya segelintir orang saja yang mampu melaksanakan perintah Allah SWT yang satu ini. Banyak orang lebih memilih untuk tidak berpuasa kembali. Padahal, jika ia tahu rahasia di balik puasa Syawal, maka ia akan merasakan rugi. Memang, apa rahasianya?
BACA JUGA: 5 Strategi Mudah Menikah di Bulan Syawal
Dari Abdul Wahab, ia berkata, “Rahasia yang terkandung dalam anjuran puasa 6 hari Syawal ini yaitu, ‘Bahwa tidak tertutup kemungkinan terjadinya pelampiasan nafsu terhadap syahwatnya di hari raya, mengakibatkan kelengahan dan terpatri hatinya, maka puasa 6 hari seolah-olah menjadi penebus terhadap apa-apa yang kurang sempurna dalam pengetrapannya, dan cacat dalam melaksanakan puasa Ramadhan seperti persunatan yang mengiringi fardhu atau sujud syahwi.’ Sedang teknis pelaksanaannya (puasa 6 hari) adalah terusan, sejak hari pertama hingga ke 6, itulah yang diutamakan menurut ulama ahli tahqiq/ kebenaran, dan manfaat demikian ini dapat lebih mendekatkan pada kecerahan jiwa.”
Bahkan Sayid az-Zadah menegaskan, “Teknis pelaksanaan 6 hari ini sebaiknya disamakan sebagaimana puasa Ramadhan, sebab ia berfungsi sebagai penebus/ penyempurna kesunahan. Namun, apabila dikerjakan secara terpisah-pisah/ tidak terusan dalam 6 hari, juga sudah cukup.”
Dari Ibnu Umar RA, Nabi SAW bersabda, “Siapa puasa Ramadhan, lalu menyambungnya dengan puasa 6 hari Syawal, maka ia dibersihkan dari segala dosanya, seperti anak yang baru dilahirkan ibunya,” (Dikutip dari At-Targhib Wat-Tahrib).
BACA JUGA: Puasa 6 Hari di Bulan Syawal, Ini Keutamannya
Sungguh luar biasa rahasia di balik puasa Syawal ini bukan? Waktu ini merupakan kesempatan emas bagi kita untuk terus memperoleh ridha Allah SWT. Juga bisa menjadi ajang kesiapan diri untuk menempuh sebelas bulan lainnya, selain bulan Ramadhan agar menjadi pribadi yang lebih baik. []
Referensi: Tarjamah Duratun Nasihin/Karya: Ust. Abu H.F. Ramadlan BA/Penerbit: Mahkota Surabaya