Oleh: Ramadani Ann Al-Qohirohiyyah
SEORANG pemuda biasa; yang tidak pernah tertinggal shalat berjamaah di masjid, memuliakan kedua orang tuanya, suka bersedekah, menjaga lisan dari perkataan tidak baik/sia-sia, sudah memutuskan untuk berhenti merokok, menjauhi interaksi dengan non mahram, menahan diri dari amarah, menjaga diri; seperti idaman penduduk langit itu tengah merayakan rindu di atas sajadah, sujud pada waktu-waktu mustajabnya rapalan doa yaitu saat sepertiga malam.
“Ya Allah, jika dia bisa menjadi penyejuk mataku; menemani diri ini dalam ketaatan pada-Mu sepenuh cinta hingga ia berkarib setia membimbing anak-anak kami menjadi keturunan shalih dan shalihah; generasi Rasulullah sallahualaihi wasallam, maka jodohkanlah kami, permudahkanlah pertemuan kami, berkahilah pernikahan kami nantinya, teguhkanlah kedua keluarga kami dengan ikatan cinta yang takkan tergerus oleh hadirnya orang ketiga atau prahara lain. Satukanlah kami dalam iman; islam.”
Sebelumnya, pemuda ini telah mengenal seorang gadis yang membuatnya jatuh hati lewat untaian tulisan-tulisan bernada dakwah serta cinta kepada Islam. Ketika bermaksud hendak meminangnya, ternyata waktu belumlah mengizinkan, karena si gadis itu masih ada urusan-urusan lain yang tak bisa diganggu.
“Di mana alamatmu?” tanya pemuda itu.
“Untuk apa?” jawab si gadis.
“Aku akan menemui ayahmu.”
“Kenapa?” tanya si gadis heran.
“InsyaAllah, berniat untuk melamarmu.”
“Apa?”
“Di mana alamatmu?” tanya pemuda itu lagi.
Tiba-tiba percakapan dari dunia maya itu terhenti, mungkin si gadis seperti mendengar petir di siang bolong. Seorang lelaki berniat melamarnya; padahal mereka tidak pernah bertemu, hanya berteman di sebuah komunitas media sosial.
Tentu saja naluri seorang wanita dalam rangka menyadari hal ini cukup memberi signal kewaspadaan; menguras otak, sebab banyak sekali
kasus-kasus dunia maya yang tidak realistis.
“Di mana alamatmu?” tanya pemuda itu enam bulan kemudian.
“Maaf, ibu saya telah berpesan agar tidak sembarangan kasih alamat pada orang yang kenal di dunia maya!” jawab si gadis.
“Saya berniat menikahimu, Ukhty.”
“Saya belum mau menikah untuk saat ini.”
“Kapan rencana ingin menikah?” tanya pemuda itu lagi.
“Tergantung Allah; kalau jodohnya sudah ada.”
“Saya datang mungkin dengan izin Allah juga, sudah siap ya?”
“Kenapa Anda seperti memaksa saya, saya tidak mau!”
Percakapan pun telah berakhir; sebenarnya gadis itu pun menyukai pemuda yang berani ingin melamar dirinya tersebut, namun waktu belum mengizinkan. Sembari menganalisa dengan diam-diam sikap serta kepribadian pemuda kenalan dunia maya, sesekali si gadis ingin menguji perkataan yang beredar di mana-mana, entah siapa yang menuliskan pertama kali,
“Tanda seorang wanita yang baik ialah ketika disuruh ia akan patuh, dan tanda seorang lelaki yang baik ialah ketika dimarahi maka ia akan mengalah dan sabar.”
Waktu membuktikan, setahun sudah mengenal pemuda itu; ada kesamaan visi dan misi, sesekali berinteraksi sekadar melihat apakah dia akan kecewa jika dimarahi, ditinggalkan, atau diusir. Pertanyaan, “Di mana alamatmu?” seperti mantra ajaib yang menghubungi komunikasi; meskipun setan sangat terampil menjadikan hubungan tersebut nampak lumrah, wajar sajalah.
“Ukhty, saya takut berkomunikasi denganmu lagi, setan akan membuat hal ini nampak indah; pacaran berkedok ta’aruf. Dan sekiranya memang ada keinginan di hatimu untuk menerima, berikanlah alamat lengkapmu, saya berjanji di hadapan Allah untuk bertemu kembali sampai batas waktu yang ditentukan. Agar sempurna segala urusanmu; untuk pertemuan kita nanti.”
“InsyaAllah diterima, dan hanya Allah yang akan menentukan.”
Kini keduanya tidak lagi berinteraksi; semua kontak di dumay telah dihapuskan sesuai perjanjian, agar tidak ada celah untuk berbuat khilaf karena sengaja melanggar perintah Allah.
“Karena aku merayakan rindu di atas sajadah, melipat jarak dengan doa, agar semesta mengaamiinkan temu untuk kita.”
Rapalan doa si gadis di ujung belahan bumi lainnya, di sepertiga malam. Semoga mereka berdua dipertemukan dan menikah. []
Balqis, 26 April 2016