SEBUAH realita yang mengejutkan diungkap Samuel Pyeatt Menefee dalam karyanya Wives for Sale: Ethnographic Study of British Popular Divorce. Fakta mengejutkan ini terjadi di Negara Inggris yang berlangsung selama 500 tahun.
Pada abad pertengahan, wanita dipandang rendah, bahkan banyak di antaranya tak memiliki hak atas dirinya sendiri. Kasarnya, saat itu wanita dipandang hanya sebagai barang dagangan yang bebas diperjualbelikan oleh laki-laki. Penderitaan kaum hawa ini diceritakan dalam Buku Uncle John’s Bathroom Reader Plunges Into History Again.
BACA JUGA: Fir’aun Menyiksa Istrinya Asiyah karena Beriman kepada Allah
Melansir Elite Readers, kebiasan jual-beli istri dari abad ke-18 hingga pertengahan ke-19 di Inggris ini dilakukan sebelum perceraian dikenal dunia.
Pada masa itu, penjualan istri ini sampai diiklankan di media informasi. Sehingga semua orang bisa tahu bahwa istri si Fulan dijual. Setelah orang-orang tahu, barulah dijual di tempat-tempat pelelangan.
Parahnya lagi, layaknya binatang, para istri ini diikat dan perlihatkan dalam panggung hiburan untuk kemudian dijual.
Puncak tradisi ini terjadi pada tahun 1780 dan 1850. Saat itu, di Brimingham, Inggris, sekitar 300 orang istri dijual. Meski wanita-wanita ini menolak diperlakukan demikian, namun saat itu tidak ada undang-undang yang melindungi dan membela hak-hak asasi wanita.
BACA JUGA: Istri Super Canggih
Salah satu kasus penjualan istri yang tercatat pertama kali adalah di Birmingham, tahun 1733.
Seorang pria bernama Samuel Whitehouse, menjual istrinya bernama Mary Whitehouse kepada pria lain bernama Thomas Griffiths seharga 1 pound (Rp17 ribu) pada saat itu.
Khususnya di Inggris, perdagangan wanita ini masih terjadi pada awal abad ke-20. Akhirnya, pada 1913, para wanita menuntut ditetapkannya undang-undang yang melarang perdagangan perempuan. Dan para wanita pun memiliki perlindungan hak secara hukum. []