KEMARILAH sejenak, saya ingin menceritakan sesuatu kepada Saudara. Jika Saudara berkenan mendengarkan, saya baru saja melewatkan sebuah badai besar, pengalaman batin yang sangat dalam, dalam hidup saya. Perihnya tak terkira, ngerinya tak terbayang.
Pada Sabtu malam, 23 September 2011, bayi kami yang baru berusia tiga pekan, menangis tanpa henti. Menangis keras selama berjam-jam. Pada pukul 03.00 dini hari, tangisnya berhenti. Kami lega. Tapi perutnya keras sekali. Kembung. Kami membawanya ke rumah sakit di kota kami. Panas biasa, begitu kata dokter. Itu sore hari. Panas dan kembungnya terus menghebat. Tangisnya kembali pecah tanpa henti. Jam 01.00 dini hari, kami membawanya ke rumah sakit yang lain. Diagnosis dan obat yang sama.
Selang dua jam, kami bawa ke rumah sakit satunya lagi. Sama juga. Tapi bayi kami tak berhenti menangis. Jam 06.00 pagi, kami membawanya ke dokter keluarga—karena dua hari sebelumnya ia berada di luar kota. “Ini sepsis,” ujar bu dokter. “Harus dibawa ke rumah sakit besar. Saya rujuk ya ke Hasan Sadikin. Sekarang juga.”
BACA JUGA: Nasi Goreng
Kami mulai panik. Kami sudah tidak tidur selama dua hari.
Saya langsung menelefon karib saya yang punya mobil. Kami berangkat ketika itu juga dengan menggunakan mobilnya. Bayi kami di belakang masih terus menangis. Mungkin Saudara bisa bayangkan, ada banyak hal yang bergumul dan bertubrukan dalam kepala saya ketika itu; bayi yang sakit (entah apa itu sepsis—namanya pun baru saya dengar!), anak kedua yang melambaikan tangannya ketika kami pamit berangkat ke Bandung karena tidak mungkin membawanya, dan anak pertama yang masih di sekolahannya. Saya masih terus menangis jika mengingat momen pada detik itu, Saudara.
Di Bandung, ada sekitar lima dokter yang langsung menangani bayi kami. Bergantian. Mereka memarahi kami, “Ini penyakit gawat, mengapa baru dibawa sekarang?”
Saya terdiam—tidak tahu seberapa gawat penyakit itu.
Istri saya sudah sejak tadi membeku. Ia hanya bertindak apa yang perlu dan harus dilakukan terkait bayi kami—tanpa ada satupun kata dari mulutnya.
Pada pukul 16.00 sore, dokter kepala yang masih muda menghampiri saya untuk segera mencari ruang NICU (Neonate Intensive Care Unit—merupakan unit perawatan intensif untuk bayi baru lahir (neonatus) yang memerlukan perawatan khusus misalnya berat badan rendah, fungsi pernafasan kurang sempurna, prematur, mengalami kesulitan dalam persalinan, menunjukkan tanda tanda mengkhawatirkan dalam beberapa hari pertama kehidupan). Segera. Ketika itu juga. Jika tidak, bayi itu mungkin tak bisa bertahan hidup.
Saya bertanya, “Dokter, mohon jujur kepada kami, seberapa parah dan seberapa bisa bayi kami bertahan hidup?”
Dokter memandangi kami. Saya balas memandangnya.
“Menurut hitungan medis, hanya 25%…” ujarnya.
Saudara yang budiman, ketika itu bayi kami kondisinya sudah mengkhawatirkan. Selang sudah terjulur dimana-mana di sekujur tubuhnya. Dari mulut, telinga, hidung, kemaluan, dan anusnya, terus keluar kotoran. Kata dokter, ada ususnya yang bocor sehingga semua lubang di tubuhnya dipaksa untuk mengeluarkan kotoran tubuh. Saya beristighfar tak henti-hentinya.
Pada pukul 17.00 WIB sore, dokter mengatakan bagaimanapun caranya, ruang NICU itu harus segera tersedia. Kondisi anak kami sudah harus dipantau dengan mesin 24 jam penuh. Saya dengan teman saya segera menyusuri rumah sakit yang ada di Bandung, karena NICU di Hasan Sadikin sudah terisi semua.
Kami mulai dari rumah sakit terdekat. Agak dekat. Jauh. Agak jauh. Sangat jauh. Tapi seantero Bandung, semua ruang NICU rumah sakit sudah terisi penuh. Saya tertidur dengan perasaan yang sangat gundah. Batin saya menangis hebat ketika itu. Tapi Saudara, saya sempat berkata dalam hati, entah betul atau tidak, “Saya tidak boleh menyerah.”
Di rumah sakit terakhir yang kami datangi, petugas administrasi mengatakan bahwa tak ada lagi ruang NICU yang kosong. Saya melayang serasa tak berpijak. Istri saya sudah menelefon berkali-kali menyampaikan pesan dari dokter bahwa bayi kami harus secepatnya dibawa ke ruang NICU. Itu sudah jam 21.00 malam.
Saya merasa ingin menangis keras sekali. Atau entah apalagi lah. Petugas administrasi tiba-tiba mengatakan, “Pak, di cabang kami di Pasteur ada kamar yang kosong. Cepatlah ke sana.”
BACA JUGA: Kamu Lagi Punya Masalah?
Saya dan teman saya segera ke sana. Pukul 22.00 malam. Saya booked kamarnya. Bayi kami masuk pukul 23.00. Kondisinya sudah sangat mengkhawatirkan. Tangisnya sudah semakin tak terdengar. Kami dipisahkan dari bayi kami. Pukul 02.00 dini hari, saya dan istri baru bisa tertidur. Itupun karena tidak kami sadari.
Shubuh saya terbangun. Setelah mandi—kami tidak mandi selama dua hari, Saudara—saya dan istri tertidur lagi di kursi tunggu depan ruangan NICU bayi kami. Pukul 10.00, dokter Ali Usman yang menangani bayi kami berkata kepada saya dan istri, “Ini sudah di luar kuasa medis. Ini wilayah Allah SWT. Sejak tahun 1980, tak pernah ada bayi yang selamat oleh penyakit ini. Bapak dan Ibu banyak berdoa saja.”
Dr. Ali Usman tak pernah tersenyum dan bercanda kepada kami. Ia berbicara seperlunya saja. Kami menganggapnya ayah. Sekilas kami melihat bayi kami di dalam inkubator. Ia masih sama dengan pertama kali masuk ke ruang NICU.
Saudara, dalam hati, saya berkata kepada diri saya sendiri, “Selama masih bisa berjalan, walau harus merangkak, ayah berjanji akan terus berusaha dan tak akan pernah berhenti mengharapkan keajaiban untuk kamu.” Singkat. Getir. Sakit. Namun penuh harap. []
BERSAMBUNG