SAUDARA yang budiman, rumah sakit sama sekali tak memberikan rasa aman sedetik pun kepada kami. Kami masih terus menebak-nebak apa jenis penyakit yang hinggap di tubuh bayi kami, dan saya tanpa henti mencari literatur soal penyakit ini. Sayangnya, internet hanya memberikan sedikit sekali soal sepsis. Kami tak bisa menebak kemana arah perawatan bayi kami.
Jam 10 pagi hari ketiga di Bandung, sementara bayi kami di ruang penuh selang dan kabel, dalam sebuah kotak, saya dan istri pergi mencari sesuatu untuk bisa kami makan. Namun, Pasteur ternyata bukanlah tempat yang ramah untuk orang biasa seperti saya. Di sepanjang ruas jalan rumah sakit, tak ada tempat makan yang cukup untuk kami. Jika tempat makan itu sangat kumuh, maka sangat mahal layaknya restoran di rumah makan.
Tempat makan kami pertama di Bandung adalah kantin rumah sakit. Itulah dalam tiga hari, itulah pertama kalinya benar-benar makan. Istri saya benar-benar melupakan makan. Ia bahkan tak berbicara sama sekali terhadap saya. Saya memahaminya, itu adalah periode konsilidasi batin yang penuh dengan tekanan, antara kenyataan kehilangan sesuatu—bayi itu—atau setidak-tidaknya harapan hidupnya.
BACA JUGA: Orang-orang Hilang
Saya ingat, Saudara, saya menyuruhnya untuk duduk di kursi. Saya memesan makanan yang kelihatannya paling enak di tempat itu. “Ayo kita makan lagi,” ujar saya.
Kami makan dengan diam. Hujan agak deras membasuh Pasteur. Itu suasana makan yang sangat murung.
Saudara, untuk pertama kalinya dalam tiga atau empat hari, saya baru menyadarinya, saya baru lagi menyentuhnya. Menyentuh tangannya, istri saya itu. Saya mengatakan kepadanya, “Kita sama-sama tidak pernah mengharapkan hal ini. Dia juga, bayi kita itu. Tapi ayo kita saling berbicara lagi,” ujar saya sambil menunggu makanan.
Tak ada tanggapan.
Saudara, dengan suara yang berat dan saya merasa bahwa itu sepertinya bukan suara saya, saya berkata lagi. “Pun begitu, kamu harus tahu dan sadar, bahwa kamu tidak menghadapi ini sendirian. Aku juga tidak menghadapi ini sendiri. Kita bersama menghadapinya.”
Kali ini, Saudara—jika Anda masih di situ menyimak kisah saya ini, istri saya menatap saya nanar. Ada binar di matanya. Kecil. Tapi itu binar yang tak akan pernah saya lupakan, selain pertama kali saya menyentuhnya di hari kami dihalalkan dalam sebuah akad nikah.
“Maafkan aku,” ujar istri saya lirih, “jika dalam empat hari ini aku tak bisa berbicara apapun kepadamu. Aku hanya sedang terus berusaha menguatkan diri.”
Saya mengangguk, mengiyakan. Semua urusan soal bayi ini begitu mengambil semua hidup kami. Kami bahkan tak sempat memikirkan diri sendiri.
“Pada satu titik, aku sudah sampai pada sebuah keikhlasan kalau Allah menghendaki sesuatu terhadap anak ini. Jika Ia lebih menginginkannya, maka aku ridhokan. Tapi jika Ia memecayakannya kepada kita, maka,” ujarku, Saudara, “aku memohon padaNya agar ia sehat lahir batin, jiwa raga, dunia dan akhirat.”
Istri saya mengangguk. Ia menyeka sesuatu yang jatuh dari matanya. “Begitupun aku kiranya. Sekarang ikhtiar kita tinggal doa.”
Saya berusaha menggenggam tangannya lagi. “Kita sudah mencoba segala cara yang kita bisa dan kita tahu untuk sampai ke tempat ini. Jika kita menyerah di sini, pikirkan bayi itu lagi. Jika dia bisa bertahan, maka kita harus lebih kuat lagi daripada dia. Dan kamu tahu, aku berjanji, aku akan mengajaknya berjalan-jalan di taman kota, mengajaknya ke lapangan untuk bermain sepeda dan bermain bola, aku akan mengajaknya ke kantor, dan kamu akan mengajarkannya membaca dan menghafal Quran.”
Saudara, saya mengucapkan kata-kata itu dengan nada yang penuh keyakinan. Setengah dalam hati saya saya merasa tengah menghibur diri.
Istri saya balas menggenggam tangan saya tanpa berkata apapun.
Saudara, masih Anda mendengarkan? Hal lain yang berkecamuk dalam kepala saya ketika itu tentu saja soal biaya perawatan di rumah sakit. Saya menghitung selama tiga hari di rumah sakit saja, kami sudah habis Rp 15 juta. Itu Sudan menghabiskan separuh dari tabungan kami. Dalam tiga hari berikutnya, sisa tabungan kami mungkin akan segera terkuras juga. Tapi ketika itu Saudara, saya sama sekali mengabaikan soal ini.
BACA JUGA: Pijit Hidungnya
Kelegaan pertama yang datang adalah seorang petugas administrasi di rumah sakit ini adalah rekan satu almamater di Gontor karib saya yang mengantarkan ke sana kemari sejak awal. Kami jadi punya akses untuk mengetahui dengan segera berapa biaya yang harus kami sediakan.
Hari kelima, kami berdua dipanggil oleh dokter Ali Usman lagi. “Ini harus dioperasi. Tidak bisa tidak.”
Saya terdiam. Istri saya juga. Anak sekecil itu?
“Jika itu yang memang medis ketahui, sedangkan kami sama sekali tak punya pengetahuan akan itu,” ujar saya sebagai seorang laki-laki dari bayi yang sakit itu, “maka kami ikuti.”
Dokter Usman Ali menganjurkan kami untuk jangan pernah berhenti berdoa. Ia selalu mengulang-ulang kata yang sama, dan terus bergaung-gaung di telinga kami. “Ini di luar kekuasaan medis. Ini di luar kekuasaan medis.”
Saya sekali lagi menggenggam tangan istri saya. Erat. []
BERSAMBUNG