Oleh: Rohmat Saputra
ADA salah seorang sahabat Nabi bernama Julaibib. Ia memiliki wajah yang tidak begitu menarik. Banyak wanita yang dilamarnya selalu menolak. Bahkan pernah salah seorang wanita Anshor bilang kepada wanita yang lain, jika datang Julaibib untuk melamar, maka jangan diterima.
Hingga suatu hari Rasulullah mendatanginya karena memahami keadannya.
“Wahai Julaibib, maukah aku carikan seorang wanita pendamping hidupmu?” tanya Rasul.
“Mau ya Rasulullah!” jawab Julaibib mantap.
Kemudian Rasul mencari siapa yang nanti bakal menjadi mertua Julaibib. Dicarilah salah satu keluarga Anshor.
“Wahai sahabatku, Saya akan melamar putrimu?” Kata Rasul kepada Sahabat dari kalangan Anshar.
Dengan sangat gembira karena anaknya akan dilamar oleh seorang manusia yang mulia, lantas ia berkata, “Saya terima wahai Nabi”.
“Tapi,” lanjut Rasul, “Bukan untuk saya, lamaran ini untuk seseorang yang bernama Julaibib.”
Setelah tahu yang melamar bukan untuk Rasul, melainkan Julaibib, maka sahabat tadi bilang dulu kepada istrinya.
Sahabat Anshor dengan segera menemui istrinya dan mengatakan bahwa Rasul akan meminang putrinya.
Istrinya menjawab “Masya Allah, terima lamaran dari Rasul.”
“Tapi lamaran ini bukan untuk nabi,” ujar sang suami.
“Untuk siapa?” tanya sang istri,
“Untuk Julaibib.”
Maka sang istri langsung menyarankan cari yang lain dulu.
Namun tanpa disadari, anak dari keluarga Anshor tersebut mendengar percakapan kedua orang tuanya dari dalam kamar. Orang tuanya hendak menolak lamaran Julaibib yang dimakjomblangkan oleh Rasulullah.
Terdengarlah suara lantunan ayat yang dibacakan oleh seorang putri dari bilik kamar,
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata” (QS 33:36).
Setelah membaca firman Allah, wanita itu berkata dengan tegas, “Nikahkan aku dengan Julaibib.”
Akhirnya anak dari keluarga Anshor menikah dengan Julaibib.
Telah lama Sahabat ini ingin menikah, akhirnya keinginan itu terwujud.
Saat Julaibib ingin mencampuri istrinya, terdengar panggilan jihad. Maka dengan segera Julaibib meninggalkan istrinya untuk memenuhi panggilan suci.
***
Peperangan telah usai. Kemenangan berada ditangan kaum muslimin. Kemudian sang Nabi mencari seseorang.
“Apakah kalian kehilangan seseorang?” tanya Rasul kepada para sahabat.
Para sahabat mengatakan, “Kami kehilangan fulan, kehilang fulan, dan kehilangan fulan.“ Mereka menyebutkan beberapa sahabat yang telah meninggal.
Tapi tidak menyebutkan nama yang dicari Nabi. Diulang lagi pertanyaan beliau,
“Apakah kalian kehilangan seseorang?”
Jawabannya sama sebagaimana diawal. Mereka menyebutkan para sahabat yang gugur, tapi tidak menyebutkan nama yang beliau inginkan. Dari situ dapat dinilai, bahwa sahabat yang dicari Nabi seolah adanya seperti tidak ada.
Kemudian Rasul berkata, Kita kehilangan seorang bernama Julaibib. Maka carilah Julaibib.”
Setelah ditemukan, badan Julaibib dipenuhi luka panah dan tombak. Saking mulianya Julaibib, Nabi kemudian mengangkat tubuhnya. Lalu Nabi menjadikan kedua tangannya bantal untuk kepala Julaibib, lantas ia berkata,“Sesungguhnya dia bagian dari diriku, dan diriku bagian dari dirinya.” Rasulullah begitu mencintai Julaibib.
Rasulullah tidak melihat tampang dan penampilan seseorang. Tapi melihat dari apa yang ada dalam hati sahabatnya. Sebab Julaibib adalah sahabat yang semangat saat ada panggilan jihad dan tidak menunda-nunda ketika seruan itu tiba.
Rasulullah memuliakannya bukan karena fisik dan lahiriah. Tentu kalau Rasulullah memilih itu, banyak sahabat yang memiliki kelebihan dalam segi fisik. Tapi Rasulullah mencintai sahabat ini karena semangat dalam beramal.
Sungguh, alangkah mulianya Julaibib. Ia mendapat sisi dihati seorang manusia agung sepanjang zaman. []