Oleh: Ralda Rizmainun Farlina
(Penulis tinggal di Purwakarta)
INGIN sekali menulis tentang hal ini, tetiba ingatakanku kembali kepada peristiwa 2016 yang lalu…
Tadi, ketikaku membuka dompet dan mencek seluruh isinya tak sengaja kutemukan sebuah surat yang pernah diberikan seseorang kepadaku..
Sampai saat ini yang aku rasakan hanya biasa-biasa saja, tak ada yang aneh dan berbeda sedikitpun, hanya saja ada hikmah yang bisa dipetik di balik semua kejadian ini.
Pertengahan 2016 setelah lulus dari ‘Sekolah Menengah Kejuruan’ aku bekerja disalah satu toko kue ternama di Purwakarta, ya aku menjadi kasir di sana kurang lebih 3 bulanan.
Karena toko kue itu memiliki beberapa cabang, tak heran jika tiap pekannya bergantian jaga di cabang-cabang yang lain. Namun, karena waktu itu aku karyawan baru dan masih harus ditutor, maka dari itu sering sekali ditempatkan dipusat.
Setelah selesai Shalat Dzuhur biasanya aku pergi keluar untuk mencari makan, tak pernah jauh. Alhamdulilah tak jauh dari toko ada tukang jual makanan, macam-macam menunya.
Dari situlah mungkin awal mula ceritanya, memang dulu aku orangnya lebih suka yang simpel dan cepat, tak mau putar-putar hanya untuk mencari makan siang. Maka dari itu aku sering berlangganan datang ke tempat makanan itu.
Beberapa minggu kemudian…
Singkat cerita, waktu itu aku sedang membereskan berangkas kasir, rekan shiftku sedang istirahat, dan kebetulan satpampun sedang berjaga di luar toko.
Beliau (yang punya tempat makanan itu) masuk ke toko, berjalan kesana kemari melihat-lihat kue. Dulu pikirku polos, mungkin beliau memang mau membeli kue, jadi ekspresiku pun biasa saja. Tetiba dia berjalan ke arah mesin kasir (ya, tempat dimana aku diam). Aku sedikit bingung, dan agak aneh melihat beliau seperti orang yang kebingungan dan grogi. Beliau tak berani sedikit pun melihat ke arahku, sedikit menunduk dan memainkan tangan.
Ya, aku pun biasa saja, tak menyangka apa-apa, aku bukalah percakapan, pikirku memang khawatirnya beliau sedang mencari sesuatu namun lupa nama sesuatu tersebut.
“Maaf a, mau cari apa ya?” tanyaku.
Tak banyak percakapan diantara kami, beliau langsung to the point dan menjawab.
“Hmm… Nggak teh, saya cuma mau ngasih ini,” menyodorkan kertas putih tanpa amplop hanya dilipat saja.
Sedikit kaget dan bingung, namun kertas itu tetapku ambil. Pikirku mungkin dia mau menitipkan kepada seseorang dan memintalah bantuanku
“Oh iya, buat siapa ya, A?” jawabku tanpa bertele-tele.
“Buat teteh, tapi nanti aja dibukanya kalau sudah di rumah,” beliau pun kemudian pergi dengan tergesa-gesa dan mengucap salam.
Hah? begitulah kira-kira dalam hati, benar-benar kaget, apa sebenarnya isi dari kertas ini. Kali ini tanganku gemetar. Amanah beliau yang memintaku membuka isi surat itu di rumah terpaksa aku langgar.
Bergegaslah aku membuka isi dari surat tersebut, hah? ternyata isinya…. Sungguh kali ini tanganku benar-benar semakin gemetar, bukan senang, bukan pula baper, namun justru sebaliknya kala itu aku merasa kaget dan takut.
Isi dari surat itu sangat sopan sekali, bahkan tak bertele-tele basa basi dengan sejuta gombalan. Sedikit inti dari surat itu adalah sebagai berikut:
“Ukhti, mungkin ana belum mengenal ukhti lebih jauh, bahkan berbincang pun tak pernah, yang ana sadari, ukhti berbeda dari teman ukhti yang lainnya, lebih utamanya dari segi penampilan. Jadi, ijinkan ana menyampaikan niat baik ana, memang Allah yang berkehendak namun apa salahnya kita sebagai manusia berjuang dan berikhtiar. Jika ukhti bersedia, ana ingin bertemu dengan orang tua ukhti, sampaikan pada mereka bahwa ana akan segera mengkhitbah ukhti, disini ana cantumkan nomor HP, jika ukhti bersedia, maka tolong segera kabarkan dan kirimkan alamat rumah ukhti, jika tidak maka abaikan surat ini,” kurang lebih seperti itu.
Bocah berumur 17 tahun yang mendapat sepucuk surat seperti itu, bagaimana tidak kaget? Takut? Dan khawatir?
Tak kuasa sekali ingin kuceritakan isi surat ini kepada rekan seniorku yang jauh lebih lama diam di tempat ini. Sedikit cerita dari rekan senior, ternyata beliau itu adalah seorang guru fisika di Aliyah, hanya saja setiap Ba’da Dzuhur dia kembali ke lapak untuk berdagang, tak jarang didapati sesekali dia berdagang dengan menggunakan seragam guru.
Tak ada baper-baperan kala itu, aku berusaha menegaskan diri. Bahwa memang kala itu aku belum siap, dan faktanya banyak hal yang harus aku selesaikan bahkan aku kejar. Keminiman ilmu kala itu pun semakin membuatku berpikir, istikharah pun tak memberikan jawaban keyakinanku pada beliau.
Satu bulan kemudian aku tak kunjung memberi kabar akan jawaban dari surat itu, aku benar-benar menghindar untuk tidak membeli makan disitu, bahkan setelah kejadian itu, aku sering berjaga di toko cabang.
Sampai akhirnya aku resign dari toko itu, tak pernah aku berkunjung lagi ke tempat makan itu.
Namun, beberapa bulan setelah resign, aku mendapat kabar, bahwa katanya beliau telah menikah baru-baru ini. Barakallah, jujur aku ikut senang mendengar kabar itu. Akhirnya beliau dipertemukan dengan apa yang beliau cari.
Mungkin jika dulu aku memilih meng’iya’kan, apa sekarang aku akan kuliah? apa sekarang aku akan bekerja di tempat dakwah? apa sekarang aku bisa bebas melangkah mencari ilmu? Hmm entahlah… ini semua tak lain hanya coretan kecil disepanjang perjalanan hijrahku.
Intinya, ketika kita dihadapkan dengan sebuah pilihan, pilihan apapun itu, haruslah libatkan Allah disetiap pilihan itu. Jangan sampai nafsu menguasai diri. Kaji baik-baik terlebih dahulu sebelum akhirnya memutuskan memilih, kemudian adukan semua persoalan hanya kepada Allah, dan mintalah agar dituntun kepada pilihan yang terbaik menurut-Nya. []