SOAL jima atau hubungan suami istri, tak lagi hanya urusan syahwat semata. Lebih jauh, ia bahkan bernilai ibadah di mata sang Pencipta. Tahukah Anda, ternyata ada waktu-waktu terbaik untuk jima atau berhubungan badan. Kapan itu?
Pertama, ada kondisi dimana suami dianjurkan untuk mendatangi istrinya. Keadaan itu adalah ketika suami tidak sengaja melihat seorang wanita dan dia terpikat dengannya.
Wanita itu, ketika dilihat seperti setan (punya kekuatan menggoda). Karena itu, jika ada lelaki melihat wanita yang membuatnya terpikat, hendaknya dia segera mendatangi istrinya. Karena apa yang ada pada istrinya juga ada pada wanita itu. (HR. Turmudzi 1158, Ibnu Hibban 5572, ad-Darimi dalam Sunannya 2261, dan yang lainnya. Sanad hadis ini dinilai shahih oleh Syuaib al-Arnauth).
BACA JUGA: Doa Agar Tidak Diganggu Setan Ketika Jima
Kedua, berdasarkan beberapa riwayat berikut beberapa kebiasaan orang soleh di masa silam untuk melakukan jima atau hubungan badan.
Tiga waktu aurat
Tiga waktu aurat adalah sebelum subuh, siang hari waktu dzuhur, dan setelah isya.
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum shalat subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di waktu dzuhur dan sesudah shalat Isya’. (Itulah) tiga waktu aurat bagi kamu. tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu.” (QS. An-Nur: 58).
”Dulu para sahabat radhiyallahu ‘anhum, mereka terbiasa melakukan hubungan badan dengan istri mereka di tiga waktu tersebut. Kemudian mereka mandi dan berangkat shalat. Kemudian Allah perintahkan agar mereka mendidik para budak dan anak yang belum baligh, untuk tidak masuk ke kamar pribadi mereka di tiga waktu tersebut, tanpa izin.” (Tafsir Ibn Katsir, 6/83).
BACA JUGA: Mengapa Suami-Istri Tidak Boleh Meninggalkan Jima
Setelah Tahajud
”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidur di awal malam, kemudian bangun tahajud. Jika sudah memasuki waktu sahur, beliau shalat witir. Kemudian kembali ke tempat tidur. Jika beliau ada keinginan, beliau mendatangi istrinya. Apabila beliau mendengar adzan, beliau langsung bangun. Jika dalam kondisi junub, beliau mandi besar. Jika tidak junub, beliau hanya berwudhu kemudian keluar menuju shalat jamaah.” (HR. an-Nasai 1680 dan dishahihkan al-Albani). []