Oleh: Mursal Mina M.Jafar,
Mahasiswa program (S1) University of Yemen, Republik Yaman asal Aceh
TENTU bukan hipotesis baru bahwa cinta adalah urat nadinya kehidupan, ia mampu menjadi paru-paru ketika manusia membutuhkan udara, ia bisa menjadi cahaya ketika manusia terjebak dalam kegelapan, bahkan ia sanggup menjadi bintang sebagai penghias di kesunyiannya kehidupan. Namun tak jarang cinta menjadi obat bius dengan dosis tinggi hingga mengkikis habis kesadaran anak manusia yang terlena dan terbuai dengan fatamorgananya.
Tak heran bila sang pujangga mengibaratkan cinta dengan ribuan bait dalam syair indahnya, karena memang seperti itulah hakikatnya cinta, tak akan habis dan usai bila terus di ceritakan, meskipun seiring dengan silih bergantinya zaman.
Bahkan Rasulullah menyandarkan kata cinta dengan kualitas keimanan seorang muslim, dimana beliau bersabda “Tidak Beriman salah seorang diantara kamu sehingga Aku menjadi orang yang paling ia cintai dari pada keluarganya.”
Sebegitu dahsyatkah cinta?
Namun pergeseran kata Cinta di akhir zaman ini sangat tergelincir dari hakikatnya, dimana Cinta sering berkonotasi negatif, dimana cinta sering diletakkan dalam fakta nafsu dan syahwat semata, dan dimana cinta sering membuat dunia gelap dengan kenistaan noda.
Terkadang cinta membuat manusia putus asa dan kecewa, bahkan cinta terkadang menjadi sebab hilangnya kehidupan seseorang di dunia ini, yaitu mereka yang dibutakan hati dan akalnya oleh cinta. Cinta yang tidak dibekali Iman membuat hidup jadi suram, hanya cinta yang yang berbalut Imanlah yang mampu menebarkan keharumannya hingga seantero negeri.
Cinta seperti itulah yang akan menebarkan kemanfaatan dan kesejahteraan untuk bangsa dan tanah air, laksana para pejuang yang rela menghembuskan nafas terakhirnya hanya karena cinta yang tidak dapat dibendung kepada bangsa dan tanah airnya.
Begitu juga para Intelektual yang rela mengorbankan fikiran, tenaga, dan waktunya untuk menata negeri ini kearah yang lebih baik dikarenakan cintanya kepada bangsa, kalau tidak ada benih cinta dalam hatinya tentu sibuk memperkaya diri meskipun dengan air mata rakyat jelata, maka mereka hanyalah lebel yang tanpa kualitas.
Kebanyakan fakta yang muncul dewasa ini, dimana bebasnya para remaja mengaplikasikan cinta menurut yang mereka pahami dan ingini, bahwa cinta yang terjebak diluar batasan Islam hanyalah hal yang biasa dan normal saja. Mereka tidak segan-segan menggandeng tangan lawan jenis tanpa ikatan pernikahan di hadapan khalayak ramai.
Pacaran di usia remaja seolah-olah sebuah kebanggan dan adat, sehingga muncullah isu bahwa ”Jomblo tidak keren”. dan bila persepsi ini tidak segera diatasi maka tinggal tunggu waktu dimana ciuman dan perzinaan di depan umum akan menjadi tradisi era baru yang tidak akan bisa dibendung, dan pada gilirannya akan lahir para generasi masa depan bangsa yang harus menanggung aib ini semua.
Lantas, salahkah Cinta?
Islam telah memberikan gambaran, aturan, undang-undang secara transparan bagaimana cara mengelola cinta yang baik dan benar. Pintu pernikahan sebagai jalan teraman dan tersuci yang bisa dilakukan oleh manusia untuk melabuhkan cinta mereka dengan tetap menjaga harga dirinya sebagai manusia yang memiliki tatanan kehidupan yang mulia dan pada akhirnya cinta yang didambakan dan diharapkan akan terwujud adanya.
Islam telah memberikan anjuran agar setiap pemeluknya senantiasa menjaga kesucian dimana saja dan kapan saja, tapi terkadang hati kita yang terlalu bebal untuk memahami ini semua.
Ketika cinta yang kita genggam bisa kita aplikasikan dengan benar maka cinta itu akan membimbing kita menuju cahaya cinta Ilahi dan pada gilirannya kesuksesan dunia akhirat berada dalam genggaman kita. Namun Bila cinta yang kita genggam diaplikasikan menurut keinginan nafsu belaka, maka cinta itu akan mendorong kita kejurang kesesatan.
Pada akhirnya kita akan jauh dari cintanya sang pemilik cinta, dan kesuksesan yang kita harapkan dalam kehidupan yang sangat singkat ini hanyalah dongengan semata. Tidak ada jalan lain bagi kita kecuali mendekatkan diri kepada Nya, dan senantiasa bersujud di hadapannya, sembari memohon ampun dalam linangan air mata. []