SAAT terdapat perbedaan pendapat ulama dalam satu persoalan, kita dianjurkan untuk keluar dari perbedaan tersebut, dan mengambil atau mengamalkan sisi yang disepakati atau diterima oleh seluruh ulama yang berbeda pendapat tersebut. Istilahnya, “Al-khuruj minal khilaf mustahab” (الخروج من الخلاف مستحب).
Menurut Imam Al-‘Izz bin ‘Abdis Salam, hal itu dengan cara:
1. Jika ada yang mengharamkan, ada yang membolehkan, maka yang utama adalah meninggalkannya.
2. Jika ada yang mewajibkan, ada yang hanya menganjurkan (mustahab) saja, maka yang utama adalah melakukannya.
BACA JUGA: Khilafiyah
3. Dalam hal masyru’iyyah, ada yang menganggap suatu amal itu disyariatkan, sedangkan yang lain tidak menganggapnya disyariatkan, maka mengamalkannya lebih utama.
Contoh keluar dari khilaf ulama ini sangat banyak, di antaranya:
1. Disunnahkannya menggosok dengan tangan (الدلك) pada anggota wudhu, keluar dari khilaf ulama yang mewajibkannya.
2. Disunnahkannya mengusap seluruh kepala saat wudhu, keluar dari khilaf ulama yang mewajibkannya.
3. Dianjurkannya berurutan dalam melakukan qadha shalat, keluar dari khilaf ulama yang mewajibkannya.
4. Makruhnya “hilah” (membuat trik agar tidak jatuh dalam keharaman) dalam bab riba, keluar dari khilaf ulama yang mengharamkannya.
5. Makruhnya shalat sendiri di belakang shaf, keluar dari khilaf ulama yang menyatakan shalat orang ini batal.
Namun, anjuran keluar dari khilaf ulama itu ada syarat-syaratnya, yaitu:
1. Keluar dari khilaf ulama, tidak boleh membuat jatuh pada khilaf ulama lainnya.
Karena itu, memisah shalat witir menjadi dua rakaat salam kemudian satu rakaat salam, itu lebih utama daripada menggabungkannya tiga rakaat sekali salam, berdasarkan Hadits Nabi riwayat Imam Ad-Daraquthni: لا تشبهوا الوتر بالمغرب (Janganlah kalian menyerupakan shalat Witir dengan shalat Maghrib).
Dan tidak diperhatikan khilaf Abu Hanifah yang melarang memisahkannya. Karena, jika memperhatikan khilaf beliau, dan kita memilih untuk menggabungkan tiga rakaat sekali salam, maka itu membuat kita jatuh pada khilaf ulama lain, yang malah tidak membolehkan menggabungkannya.
BACA JUGA: Jika Terjadi Khilaf, Lakukan 3 Hal Penebusnya
2. Tidak menyelisihi Sunnah Nabi yang shahih.
Karena itu, disunnahkan mengangkat tangan dalam takbir-takbir shalat, dan tidak perlu memperhatikan pendapat yang menyatakan batalnya shalat karena melakukan hal tersebut, dari kalangan Hanafiyyah, karena hal ini tsabit dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan diriwayatkan oleh sekitar 50 orang Shahabat.
3. Pendapat yang khilafnya diperhatikan itu, harus dilandasi oleh dalil dan argumentasi yang layak diterima, bukan berasal dari ketergelinciran atau pendapat syadz ulama.
Karena itu, puasa Ramadhan bagi orang yang safar lebih utama, jika ia masih kuat puasa, dan pendapat Dawud Azh-Zhahiri yang menyatakan puasanya tidak sah, tak perlu diperhatikan, karena pendapat tersebut sangat lemah dasar argumentasinya.
Wallahu a’lam. []
Rujukan:
1. Al-Fawaid Al-Makkiyyah Fi Maa Yahtajuhu Thalabah Asy-Syafi’iyyah Min Al-Masail Wa Adh-Dhawabith Wa Al-Qawa’id Al-Kulliyyah, karya Sayyid ‘Alawi bin Ahmad As-Saqqaf, Halaman 198-199, Penerbit Muassasah Ar-Risalah, Beirut.
2. Idhah Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, karya Syaikh ‘Abdullah bin Sa’id Al-Lahji, Halaman 132-134, Penerbit Dar Adh-Dhiya, Kuwait.
Facebook: Muhammad Abduh Negara