ADA salah seorang pengajar tahfidz al-Qur’an di sebuah masjid bercerita. Suatu ketika datang kepada saya seorang bocah kecil yang hendak daftar ikut halaqah, halaqah menghafal Al-Qur’an. Kemudian saya bertanya kepadanya, “Apakah kamu hafal sebagian dari Al-Qur’an?
Dia menjawab, “Ya.”
Saya menyuruhnya untuk membaca Surat al-Naba’ (‘Amma). Ia pun membacanya dengan baik dan lancar.
Kemudian saya bertanya lagi, “Apakah kamu hafal Surat al-Mulk (Tabaarak)?” Dia pun menganggukkan kepalanya.
Saya dibuatnya terheran dan kagum dengan hafalannya yang lancar dan fasih meskipun umurnya masih sangat muda.
Kemudian saya menyuruhnya untuk membaca Surat al-Nahl (juz 14). Ia pun membaca dengan lancar dan sempurna. Semakin bertambah kekaguman saya dengan anak kecil ini. Subhanallah. Maha suci Allah.
Saya pun ingin mengujinya dengan surat-surat panjang. “Apakah kamu hafal Surat al-Baqarah (juz 1)?”
Ia pun dengan tenang menjawab, “Ya.”
“Subahanallah wa Masya Allah, Tabarakallah!” Sungguh saya terpana atas kekuatan hafalan dan kefasihannya. Sungguh menakjubkan!
Saya pun meminta kepadanya untuk datang lagi besok hari bersama dengan orang tuannya.
“Seperti apakah bapak itu? Pikir saya. Terlintas dalam pikiran saya bahwa orang tuanya adalah orang yang berpenampilan rapi, berwibawa layaknya seorang syekh dan aura wajahnya tampak bersinar.
Ketika mereka datang, sungguh sangat mengherankan. Lamunanku sirna. Saya memandangnya dengan seksama dan tidak terlihat pada penampilannya yang menunjukkan bahwa orang ini berpegang teguh dengan sunnah Nabi.
Segera ia (bapaknya) menghampiri saya seraya berucap, “Saya tahu bahwa Anda heran dan kaget jika saya adalah bapak dari anak ini!”
Lagi-lagi dia memutuskan lamunan saya dan kebingungan saya atas keadaan ini. Belum hilang rasa ketakjuban saya, ia pun kemudian bercerita bahwa di belakang kesuksesan anak ini terdapat seorang perempuan.
“Saya ingin mengabarkan kepadamu bahwa di rumah kami ada tiga anak laki-laki kami. Semuanya hafal Al-Qur’an. Sementara anak perempuan kami yang masih berumur empat tahun sudah hafal juz ‘Amma.”
Saya sangat kagum. Saya pun kemudian bertanya, “Bagaimana bisa seperti itu?”
Kemudian dia bercerita. “Yang paling penting adalah apabila anak mulai bisa berbicara, saat itu pula diajarkan menghafal Al-Qur’an dan mendorongnya untuk itu dengan melakukan perlombaan: barangsiapa yang hafal terlebih dahulu maka ia berhak memilih menu makan malam saat itu; barangsiapa yang muraja’ah (mengulang hafalannya) terlebih dahulu dengan baik maka ia berhak memilih tempat yang akan dikunjungi pada saat libur mingguan; dan barangsiapa yang khatam Al-Qur’an terlebih dahulu maka ia berhak memilih tempat rekreasi dan refreshing yang akan dikunjungi pada saat liburan panjang. Dengan demikian, terciptalah sebuah persaingan di antara anak-anak kami, baik dalam hal muraja’ah maupun menghafal. Itulah kehebatan seorang perempuan yang shalehah, yang mana apabila ia baik maka akan baik seisi rumah. Itulah sosok ibu.”
Ada hikmah penting dari kisah ini. Perempuan dengan segala kelebihan dan kelemahannya, ia merupakan kunci kesuksesan bagi anak-anaknya. Perempuan yang baik akan melahirkan generasi yang baik, begitu pula sebaliknya.
Perempuan dengan tetesan air matanya saat berdoa, dapat menyibak langit, membuka satir (penghalang) antara dia dengan Tuhannya. Maka tidak heran ketika Rasulallah menyuruh kita untuk selalu berbakti kepada perempuan yang melahirkan kita.
Perempuan dengan segala kelemahannya adalah seorang pendidik sejati, walau tidak bergelar strata pendidikan tertentu. Karena dengan sentuhan tangannya yang lembut, ia dapat menciptakan manusia yang unggul dan dengan kearifan bahasa dan tutur katanya yang santun. Ia juga dapat membangkitkan semangat jiwa anak-anaknya. Pesan-pesannya selalu terpatri dalam relung jiwa anak-anaknya.
Bagi perempuan yang shalehah, kesuksesan anaknya, tak membuatnya congkak dan sombong. Ia hanya menebarkan senyum dan air mata haru. Kepedihan rasa sedih yang ia rasakan karena anaknya, tidak membuatnya lemah dan terpuruk dalam kehinaan. Ia selalu menundukkan kepala, bersujud menengadah kepada Tuhannya. Untaian doanya tidak pernah putus, untaian kasih sayangnya tidak pernah habis dan bertepi. []
Sumber: Nu.