Oleh: Daud Farma*
NAMANYA Harun. Sahabat kami, saudara kami dan saudara muslim kita semua. Asal Nigeria. Berkulit hitam tentunya. Tapi walau pun kita berbeda suku, beda negara dan beda warna kulit, kita tetap sama di sisi Allah Subhaanahu Wata’ala. Ah, kalau ngomongin warna kulit mah, sebenarnya aku malu, kulitku dan kulitnya sama-sama hitam.
Kairo sudah memasuki musim dingin. Siapa yang tahan hidup di dalam rumah tanpa memakai jaket dan tak punya selimut tebal saat tidur adalah orang yang berkulit tebal. Tapi aku sendiri tidak pernah tuh nemu orang berkulit tebal seinci apalagi tiga inci. Kulit lembu saja pun tak sampai satu inci. Eh kok malah ngomongin kulit ya? Hihihi.
Harun adalah dari anak seorang ayah yang berada. Ayahnya seorang Dokter spesialis mata, dia terbilang anak orang kaya raya. Katanya padaku ia punya mobil sendiri-yang dibelikan ayahnya. Harun baru saja pindah ke rumah kami dan juga masih kuliah.
Sehari kemudian, kami pun akrab. Ku perhatikan ia tidak pernah makan nasi, ia sering keluar rumah dan pulang membawa satu bungkus indomie dan ia memasaknya dengan caranya sendiri. Setelah mie itu mateng lalu ia pun duduk manis di dalam kamar.
“Tafaddhal!” katanya mempersilakan, mengajak kami ikut makan bersamanya. Aku dan temanku yang satu lagi hanya bisa berkata: “syukran!”
Harun tidak seperti orang indonesia, dia tidak menawari dua kali. Maka kalau memang niat mau gabung makan dengannya, jangan malu-malu, begitu diajak langsung ambil sendok. Harun makan dengan nyantai, temanku satunya lanjut membaca, aku? Lanjut pegang handphone sambil mengetik, entah apa yang aku ketik aku pun tidak begitu paham.
Sudah satu minggu bersama, sudah saling kenal, saling memahami dan saling peduli. Kulihat Harun selama seminggu ini tidak pernah makan bersama kami, ketika kami ajak makan, ia tidak mau dan malah berkta: “syukran” seperti yang sering kami ucapkan kepadanya saat ia mengajak kami. Temanku yang satu lagi ini juga sama, ia juga bukan orang Indonesia, cuma ngajak sekali saja lalu ia pun makan dengan santai di atas kasurnya. Aku? Kuajak dua kali, tetap ia jawab seperti biasanya. Ya sudah kalau tak mau, kataku, dalam hatiku saja.
Hingga suatu hari, aku selidiki. Penasaran ia makan apa di luar?
“Ya Harun! Akakalta syai-an fil khaarij?” tanyaku. Yang artinya, ya Harun, kamu sudah makan sesuatu di luar?
“Na’am.” sahutnya.
“Maadzaa akalta ya Akhii?” tanyaku lagi. Apa yang kau makan?
“Akaltu Khubjan!” Aku makan roti, jawabnya lagi. Aku mulai mengerti. Pasti ia makan roti orang Mesir.
Makan roti? Bagiku roti saja tidak cukup. Roti hanya menahan rasa lapar sebentar saja.
“Akalta “isy?” tanyaku lagi. ‘Isy adalah roti yang terbuat dari gandum, makanan pokok orang Mesir.
“Laa.” jawabnya datar.
“Idzaan?” Jadi? Selidikku. Hummm… Barulah ia jujur, bercerita.
Katanya, di rumahnya sebelumnya ia sudah terbiasa masak indomie dan makan roti seperti roti biskuat. Katanya lagi di Nigeria memang roti seperti biskuat adalah makanan utama, cara memakannya dengan dicelupkan ke dalam gelas yang berisi susu. Dia jarang sekali makan nasi. Dia bercerita padaku tentang apa yang ia alami sampai membuat dirinya tak diperhatikan keluarganya, terabaikan.
“Anak pamanku sangat mencintaiku. Aku tahu itu. Dan Ayahku juga setuju, dia mau gadis itu jadi menantunya. Kedua pihak keluarga kami sudah saling mau, kami dijodohkan. Ayahku menyuruku untuk menikah. Tetapi aku tidak mau menikah. Dengan alasan; Aku ingin melanjutkan kuliah dulu dan lulus tes imtihan qabul ke Universitas Al-Azhar. Alasan lain kenapa aku tidak ingin menikah jugalah karena usiaku masih sembilan belas tahun, semangatku menuntut ilmu masih membara, lagipula aku tidak mencintai anak pamanku itu!” paparnya lumanyan panjang.
Aku mendengarkannya saksama. Ah, bukan kah aku adalah pendengar setia? Jadi tak mengapa ia banyak cerita, silakan curhat Harun! Silakan!
Maka oleh sebab itu, sang ayah memutuskan untuk melepasnya. Ayahnya marah padanya. Ayahnya tidak lagi membiayainya. Baik itu biaya hidup maupun biaya kuliahnya, tidak walau sepeser pun. Hingga-hingga ia terbang ke Mesir juga dengan hasil jerih payahnya sendiri. Dia mencari biaya ke sana kemari, ia tidak memberitahuku kerja apa yang ia lakukan untuk dapat membeli tiket pesawat.
Dua tahun sudah ia di Mesir. Kedua orangtuanya belum pernah mengiriminya duit walau hanya se-pound Egypt. Meskipun demikian kejadiannya, ia tetap bertahan dan betah tinggal di Mesir.
“Kamu kerja?” tanyaku penasaran, pake bahasa arab ya? Sebab dia tak tahu bahasa Indonesia. Aku banyak tanya karena masih heran ia bisa bertahan lama sebetah itu. Biasanya kalau tak punya kiriman hal apalagi yang dilakukan mahasiswa selain kerja? Pikirku. Aku masih penasaran.
“Tidak.” jawabnya kalem, lalu ia pun diem.
“Terus bagaimana kamu makan?, bagaimana kamu bayar uang rumah?” selidik temanku, Ya’qub, orang Lebanon-yang tadinya juga tak pandai mengajak dua kali saat makan.
“Saya makan dengan rezeki Allah, saya bayar uang rumah juga dengan rezeki Allah, Alhamdulillah,” sahutnya tanpa memasang wajah sedih sedikit pun. Padahal matanya sempat berkaca-kaca sebelumnya saat ia menceritakan bahwa orangtuanya melepas dirinya. Tidak membiayainya, tidak memperhatikannya.
Kami takjub dengan jawaban tersebut, kami penasaran dengan rahasia hidupnya, kebaikan apa yang ada pada dirinya, apa amal ibadah yang ia lakukan? Sehingga ia sekuat itu? Puasa kah ia? Atau mengurangi jatah makan diri sendiri? Hanya makan roti dan indomie? Masa sih?
Kemudian ia pun melanjutkan bicaranya…
“Nanti, kalau pun aku sudah tamat dari Al-Azhar, aku tidak akan pulang ke Negaraku!” tuturnya memasang mimiknya yang serius, tidak pake bercanda, hilang senyumnya yang tadi sempat membuat wajahnya jadi tampan.
“Terus mau pulang ke negara mana?” tanyaku heran. Dia kira boleh lama-lama tanpa visa di negara orang.
“Kemana aja,” sahutnya singkat. Dia pikir keluar masuk ke negara orang semudah senyum dan cemberut. Hebat ya! Hebat sekali!
“Oh kalau begitu ke negaraku saja, Indonesia. Hidup di Aceh Tenggara. Hehehe,” tawarku sembari senyum getir. Lalu aku tunjukkan photo Pesantren Dayah Perbatasan Darul Amin. Pondokku. Dia pun memandangi album yang ada di galeri handphone milikku.
“Khair, insyaAllah,” jawabnya pendek.
Lama bercerita, ternyata ia adalah seorang penghafal Al-Quran, ahli qiroat ‘asyara sughra dan suaranya yang merdu. Dia siap kapan pun diuji. Dia hafal ayat tersebut di surah apa? Juz ke berapa? Rubu’ ke berapa? dan halaman berapa? Pernah aku dengar ia membaca Al-Quran di tengah malam sambil berdiri, lampu mati, kukira ia mimpi, ngigo, ternyata ia shalat tahajud.
Kami melihat video-nya saat ikut kompetisi Internasional Musabaqah Tilawatil qur’an di Dubai tahun 2013. Videonya yang ia ambil dari Youtube. Dubai loh Dubai! Hebat nggak? Dia salah satu utusan dari Negaranya. Dari seratus peserta lomba, ia terpilih sepuluh besar.
Sudah lama kami mengenalnya, jumpa di kuliah. Kebetulan ia juga seangkatan kami. Bangga memilikki teman seperti dia yang langsung bertemu dan bertatap muka dengan Syaikh Misyari Bin Rasyid Al-Afasy. Ternyata dia jugalah seorang Syaikh. Dia adalah pengajar mahasiswa tahsin bacaan dan yang setor hafalan. Dia adalah tangan kanan salah seorang syaikh pemilik sanad yang tinggi. MasyaAllah!
Sejak hari itu aku tidak lagi memanggil namanya, kalau pun kusebut namanya, aku slipkan kata syaikh di depannya. Syaikh Harun!
Allah Swt, memuliakan orang yang hafal Al-Quran. Penghafal kitab Allah, kalamullah.
MasyaAllah. Meski pun ia tidak diperhatikan kedua orangtuanya, Allah subhanahu wata’ala mememperhatikan hambanya yang hafal Al-Qur’an. []
*Based on Really story.
Cairo, Gamalia, Markaz.
2 Februari 2016. (Setahun yang lalu)
Kirim RENUNGAN Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri.