KALIAN pasti sudah mendengar dan mengetahui kalau beberapa minggu terakhir ‘Dilema Maudy Ayunda’ sedang sangat populer diberbagai kalangan. Tweet dari Maudy Ayunda tentang dilemanya memilih kampus sudah mendapat lebih dari 12.000 Retweet dari netizen seluruh Indonesia dan berbagai usia.
Mulai dari yang menceritakan kontrasnya dilema yang dialami Kak Maudy Ayunda yang harus memilih antara dua kampus terbaik di dunia dengan dilema yang dialami para netizen. ‘Dilema’ yang dirasakan oleh netizen cenderung pada topik-topik unik seperti memilih menu makan, memilih pakaian untuk keluar. Dan, dilema-dilema lainnya ala netizen yang unik dan menghibur tentunya.
Penulis sendiri ikut merasa senang, bangga, iri (dalam konteks positif tentunya) dengan prestasi yang diraih oleh Kak Maudy Ayunda. Tentu hal tersebut menjadi motivasi untuk generasi milenial lainnya bukan?
Curhat Lagi
Kali ini penulis menerima cuhatan lagi dari salah seorang milenial yang juga kawan lama. Kami pernah satu kampus selama empat semester. Tapi kemudian ia harus pindah ke kampus lain. Rupanya selama perjalanan akademiknya banyak hal yang bisa ia ceritakan. Tentang berbedanya budaya belajar, cita-cita yang dibangun oleh lingkungan sekolah juga diskusi lainnya. Tentu sembari ngopi-ngopi cantik ala milenial.
BACA JUGA: Merindu Generasi Sahabat di Era Milenial
Ada kegelisahan yang disarakan oleh sahabat penulis ini. Ketika di kampus barunya ia merasakan semangat belajar dan cita-cita yang berbeda. Ia menceritakan betapa kagumnya pada kawan-kawan sekelas kami dahulu ketika masih satu kampus. Sekarang ada yang saat ini sedang melanjutkan studi S2 di berbagai kampus baik di dalam maupun luar negeri.
Ada juga yang terlibat dalam dunia industri atau bekerja dibidang lainnya. Ia melihat budaya yang dibangun di kampus kami lebih luas dan berani juga tegas ketika berbicara tentang cita-cita. Ia mengambil contoh salah satu kawan kami yang sedang bekerja sebagai content reviewer di Malaysia. Kesempatan itu membuatnya takjub bagaimana dua kampus tempatnya sekolah mampu memberikan wawasan dan pemikiran yang begitu berbeda.
Sementara di kampus barunya ia melihat diskusi antara teman satu angkatan dengan jurusan yang sama seperti sebelumnya yaitu ekonomi Islam yang memiliki impian yang homogen yaitu bekerja di Bank. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan hal itu. Karena jalan dakwah ekonomi Islam bisa dari mana saja. Tapi ia menyayangkan dengan ilmu yang sudah diterima, waktu dan biaya yang sudah dihabiskan seharusnya ada cita-cita lebih, apalagi terkait tentang Islam.
Dari curhatannya tersebut penulis seolah-olah merenungkan kembali dengan blueprint dari ekonomi Islam yang tidak fokus hanya pada bank, atau keuangan syariah. Jika kita berbicara tentang ZISWAF (Zakat, Infaq, Shadaqah, Wakaf) itu artinya kita sedang berbicara tentang ekonomi Islam. Berbicara tentang Pembagian Waris Islami juga bagian ekonomi Islam. Bahkan ketika membicarakan akad-akad yang dipakai sehari-hari dalam sebuah transaksi juga harus dikaitkan dengan ekonomi Islam, terutama bagi seorang Muslim. Industri halal yang sekarang sedang didorong pertumbuhannya juga termasuk ekonomi Islam.
Lalu dimana sebenarnya bank? Penulis tidak bermaksud mengecilkan industri perbankan syariah yang sudah sangat besar dan juga berjasa untuk memperkenalkan ekonomi Islam kepada dunia.
Tapi mungkin ini saatnya untuk berkembang lagi maju lebih jauh dari hanya sekedar memenuhi kebutuhan industri. Ekonomi Islam itu lebih besar dari hanya sekedar perbankan. Disana mencakup ekonomi mikro, makro, bahkan nano yang jarang orang ketahui dan ini berhubungan dengan serba serbi waris Islami.
Jika seluas itu cakupan ekonomi Islam, akan sangat disayangkan jika mengasumsikan ekonomi Islam sama dengan perbankan Islam.
Tidak lama ini, Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) sudah meluncurkan Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia (MEKSI) yang berisikan perencanaan strategis dari 2019 hingga 2024 untuk meningkatkan pertumbungan sektor – sektor terkait dengan ekonomi syariah (baca Islam) di tanah air dengan dibantu dengan ekosistem yang memadai.
Ekosistem tersebut meliputi beberapa sektor industri halal dan melibatkan semua stakeholders terkait. Sakinah Finance saat ini sedang bekerjasama dengan KNKS untuk meningkatkan literasi keuangan dari berbagai jenjang usia yang didalamnya terdapat pendidikan dan pendekatan apa saja untuk mempraktikan ekonomi Islam secara utuh (kaafah).
Sekolah Itu Buat Apa Sih?
Ini adalah hal yang menurut penulis cukup sensitif dan melibatkan banyak pihak. Selama ini yang penulis alami juga mungkin sebagian besar dialami oleh milenial lainnya tuntutan dari setelah mengenyam bangku pendidikan baik SMP, SMA dan sekolah tinggi adalah memenuhi kebutuhan industri. Karena mindset yang dibangun kalau udah kelar kuliah ya kerja atau kuliah lagi atau nikah.
Angkatan 95 pasti tahu banget deh dengan pilihan-pilihan dilematis itu sekarang. Mungkin kita harus kembali membuka buku sejarah kita tentang revolusi pendidikan pasca era industri yang mulanya dimulai dari Britania raya dan menyebar ke seluruh dunia.
Jika kita melihat sejarahnya orang dulu diberbagai belahan dunia akan menurunkan bakatnya kepada anak-anaknya. Sehingga biasanya nama seseorang memiliki gelar sesuai dengan profesinya. Seperti taylor (penjahit), smith (tukang besi) juga farmer (petani). Tetapi pasca revolusi industri ada tuntutan kebutuhan industri yang tinggi sehingga dibuatlah sekolah-sekolah formal untuk memenuhi kebutuhan industri.
Dan berlanjut dengan dibuatnya institusi pendidikan sejak usia dini untuk meningkatkan tingkat literasi dari calon-calon tenaga kerja yang cerdas juga sesuai dengan kebutuhan industri. Model pendidikan ini terlihat seperti shortcut untuk terlibat dalam industri sebagai karyawan atau menjadi pegawai pemerintahan yang memiliki penghasilan tetap dan terjamin. Tapi mengesampingkan urgensi dari ilmu itu sendiri.
Ilmu Itu Versus atau Featuring Industri?
Pada forum, kelas dan berbagai diskusi sering dilontarkan pernyataan kesuksesan seseorang itu tidak dipengaruhi oleh pendidikan. Bahkan ada yang mengatakan saya yang tidak lulus SD saja bisa memiliki perusahaan dengan belasan ribu karyawan. Sementara kawan yang juara umum dikelas hanya menjadi tenaga pendidik.
Pernyataan-pernyataan seperti itu sangat penulis sesalkan karena ia adalah orang yang berpengaruh dan mampu membangun statement dimasyarakat. Bahkan ada beberapa dosen dan guru penulis yang pernah menyepakati statement tersebut hingga disampaikan di kelas. Setiap orang bebas beropini tetapi perlu diperhatikan dampak dari opini yang dilontarkannya tersebut apalagi jika termasuk orang yang berpengaruh. Dari statement itu seolah-olah terlihat ada pihak yang lebih unggul dari yang lain.
BACA JUGA: Dibalik FinTech Syariah
Penulis ingin mengambil contoh dari penemuan bola lampu. Kalian masih ingat kan siapa penemu dari bola lampu? Thomas Alva Edison, adalah orang yang memiliki klaim dan hak paten atas penemuannya tersebut. Penemuannya juga digunakan sampai sekarang bukan? Walaupun penemuan penting tersebut memiliki berbagai kontroversi tetapi kita dapat mengambil pelajaran bagaimana kolaborasi antara industri dan ilmu bersatu.
Tanpa adanya ilmu untuk membuat bola lampu tersebut tentu tidak akan pernah kita merasakan manfaat dari bola lampu. Tapi jika tidak adanya industri, mungkin bola lampu itu hanya akan menjadi sebuah rancangan di atas kertas. Tidak terealisasi dan penemunya hanya akan disebut pemimpi.
Jika orang yang memiliki ilmu identik dengan mereka yang menerima pendidikan tinggi.
Maka pernyataan tadi seharusnya tidak relevan. Karena antara ilmu dan industri yang ada bukanlah persaingan tetapi kolaborasi. So, milenial hapuskan statement atau pola pikir dari otak antara praktisi dan akademisi itu tidak akan pernah bersatu. Atau antara industri dan ilmu itu seperti minyak dan air. Semuanya harus sejalan karena ada hal lebih besar dari sekedar sibuk mempolarisasi antara praktisi dan akademisi.
Wallahu a’lam bis-shawaab. Salam Sakinah!