RIBUAN gulung kain diperjual-belikan di pasar-pasar.
Ada begitu banyak kain putih yang sedang dibeli, diukur dan dipotong.
Ada sedemikian banyak kain putih yang siap digunakan sebagai kain kafan.
Ada sedemikian banyak kain kafan yang seolah bertanya
“Untuk siapa aku akan dibeli?”
Esok hari siapa gerangan pembeli berikutnya.
Mungkin saja kain putih itu akan dibeli orang yang tidak kita kenal.
Mungkin saja kain putih itu kita sendiri yang akan membelinya untuk tetangga atau orang tua kita.
Mungkin saja seseorang sedang membelikannya untuk jenazah kita yang sedang menunggu dikubur.
Kita boleh saja tertawa, tapi mungkin saja kain kafan kita dalam proses pengiriman barang yang sedang disusun digudang-gudang kain itu.
Kita boleh saja merancang masa depan tapi mungkin saja kain kafan kita sedang dipesan si pemilik toko.
Kita boleh saja tertidur nyenyak, tapi mungkin saja seorang penenun sedang memintal kain kafan kita.
Kita boleh saja menikmati keindahan dan kesenangan, tapi boleh jadi seorang petani sedang memanen kapas bahan kain kafan kita.
Kita tidak pernah tahu kapan hidup kita berakhir.
Kita juga tidak tahu kain kafan mana yang akan menemani kita di kuburan.
Tapi yang jelas kain itu sendiri tidak pernah tahu kepada siapa ia akan digunakan.
Seandainya kain kafan itu boleh dan dapat berbicara.
Tentu dia akan meminta agar digunakan oleh orang soleh dan solehah. []