Beberapa hari lalu saya bertakziah ke tempat seorang yang baru saja meninggal dunia. Orang yang wafat ini merupakan seorang pengusaha yang berhasil dan termasuk orang kaya. “Jalan masuk ke rumahnya hanya cukup untuk satu mobil,” begitu saya diberitahu, “tapi rumahnya besar sekali.”
Ketika tiba di rumahnya, saya tidak begitu memperhatikan keadaan tempat itu, karena perhatian tertuju pada orang-orang lainnya yang hadir di sana. Beberapa waktu kemudian, jenazah dibawa dengan sebuah mobil pengantar jenazah menuju ke masjid untuk disalatkan dan kemudian dibawa ke kubur.
Saya sendiri tidak ikut menyalatkan di masjid dan mengantarkan ke kuburan. Saya menunggu ibu saya yang ikut bertakziah keluar dari dalam rumah untuk kemudian pulang ke rumah.
Orang-orang sudah mulai pergi meninggalkan tempat itu dan suasana menjadi lebih sepi. Ketika itu, sambil menunggu ibu, saya memperhatikan halaman serta rumah yang besar itu. Untuk sebuah rumah pribadi, tempat itu memang sangat besar. Ia memiliki bangunan tempat meletakkan mobil yang terpisah dari bangunan rumah utama. Halaman dan kebunnya juga sangat luas.
“Besar sekali rumah ini,” saya bertanya-tanya ingin tahu, “berapakah luasnya?”
“Saya dengar luasnya 1 hektar,” kata abang yang ada di sebelah saya.
Dapatkah anda membayangkan sebuah rumah pribadi, di tengah kota besar seperti Jakarta, yang luas tanahnya 1 hektar? Tentu saja Allahyarham bukan satu-satunya orang kaya yang memiliki rumah dan halaman seluas itu. Ada orang-orang kaya lainnya yang memiliki rumah pribadi dengan tanah yang luas. Tapi jumlah mereka tentu terbatas, apalagi jika dibandingkan dengan kebanyakan orang yang rumahnya tidak sampai 100 atau 150 meter persegi. Masih banyak lagi yang tidak memiliki rumah sama sekali dan hanya mampu menyewa rumah.
Kalau pemilik rumah ini selalu bersyukur kepada Tuhannya atas nikmat itu, tentu ia termasuk orang yang beruntung. Ia memiliki rumah yang besar, memiliki kekayaan yang lebih dari cukup, memiliki kendaraan dan bangunan khusus untuk meletakkan kenderaannya, memiliki bisnis yang hebat, serta memiliki banyak hal lainnya. Tentu tiada alasan untuk tidak bersyukur.
Tapi kita yang rumahnya kecil pun, atau belum punya rumah, jangan sampai tak bersyukur. Karena nikmat yang sedikit pun perlu disyukuri. Sekecil apa pun nikmat, di dalamnya ada tuntutan untuk bersyukur. Dan bagi orang yang bersyukur, nikmatnya akan dilipatgandakan.
Jadi begitulah, orang itu memiliki rumah yang sangat besar. Namun kini ia sudah meninggal dunia. Jenazahnya dibawa meninggalkan rumah itu, menuju ke tempat yang lain. Kemana jenazah itu dibawa? Ya, ia dibawa ke ‘rumah’ yang baru. Luas rumah yang baru itu hanya sekitar dua meter persegi, tidak lebih.
Rumah barunya itu sama saja dengan rumah kita semua pada akhirnya. Orang yang tidak punya rumah selama hidupnya pun pada akhirnya akan menempati ‘rumah’ yang luasnya kurang lebih sama dengan yang ditempati si kaya.
Rumah di akhir kehidupan itu bernama kuburan. Kita semua akan masuk ke dalamnya. Kekayaan kita di dunia tidak membuat kubur itu lebih besar dan nyaman. Kekayaan amal-lah yang akan menjadikannya terang dan aman.
Jangan hanya sibuk membeli dan mengurus rumah duniawi. Kerana pada akhirnya rumah itu akan jadi milik orang lain. Persiapkan diri untuk rumah yang terakhir. Agar kelak kita tak merasa kecewa yang berkepanjangan.[]