PERJANJIAN Hudaibiyyah adalah sebuah perjanjian yang diadakan di wilayah Hudaibiyah Mekkah pada Dzulqa’dah, 6 H.
Ibnu Ishaq menceritakan: Az-Zuhri berkata: Rasulullah memanggil ‘Ali bin Abu Thalib lalu berkata padanya, “Tulislah Bismillahir Rahmaanir Rahiim.”
Suhail bin Amr berkata, Aku tidak tahu kata-kata itu, namun tulislah Bismikallahumma (dengan nama-Mu, ya Allah).
Rasulullah kemudian berkata pada ‘Ali, “Tulislah Bismikallahumma” Ali bin Abu Thalib lalu menuliskannya.
BACA JUGA:Â Nasib Orang Lemah Pasca Perjanjian Hudaibiyah
Rasulullah melanjutkan, “Ketahuilah wahai Ali, ini adalah perdamaian antara Rasulullah dengan Suhail bin Amr.”
Suhail bin Amr berkata, “Kalau aku bersaksi bahwa engkau sebagai Rasulullah, aku tidak memerangimu, akan tetapi tulislah namamu dan nama ayahmu.”
Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wasallam kemudian bersabda kepada ‘Ali, “Tulislah, ini adalah perdamaian antara Muhammad bin Abdullah dengan Suhail bin Amr. Keduanya bersepakat untuk menghentikan perang selama sepuluh tahun, masing-masing pihak saling memberikan rasa aman dan saling menahan diri atas pihak lainnya selama jangka waktu tersebut. Barangsiapa di antara orang-orang Quraisy datang kepada Muhammad tanpa seizin walinya maka ia harus dikembalikan kepadanya, dan barangsiapa di antara pengikut Muhammad datang kepada orang-orang Quraisy maka ia tidak harus dikembalikan kepadanya, kita harus patuh dengan isi perdamaian, tidak ada pencurian rahasia dan pengkhianatan, barangsiapa yang suka dengan perjanjian Muhammad maka ia masuk ke dalamnya, dan barangsiapa yang suka dengan perjanjian orang Quraisy maka ia masuk ke dalamnya.”
Orang-orang Khuza’ah berdiri dan berkata, “Kami masuk ke dalam perjanjian Muhammad.”
Orang-orang Bani Bakr juga berdiri dan berkata, “Kami masuk ke dalam perjanjian orang Quraisy.” Engkau (Muhammad) harus pergi dari tempat kami tahun ini dan tidak boleh masuk ke Makkah. Dan di tahun yang akan datang, kami akan keluar Makkah, setelah itu engkau dan sahabat-sahabatmu boleh memasuki Makkah, dan engkau boleh berada di sana selama tiga hari dengan membawa senjata seperti halnya musafir yaitu hanya pedang berada di sarungnya dan tidak boleh membawa senjata selain pedang.
Di saat Rasulullah sedang menulis teks perdamaian dengan Suhail bin Amr, tiba-tiba Abu Jandal bin Suhail bin Amr datang dengan membawa pedang, dia adalah orang yang berhasil lolos dari orang-orang Quraisy dan sampai ke Rasulullah. Sebenarnya para sahabat tidak merasa ragu akan pembebasan kota Makkah di saat mereka keluar dari Madinah, di karenakan mimpi Rasulullah. Maka ketika mereka menyaksikan apa yang terjadi dari proses perdamaian, sikap mengalah atas orang-orang Quraisy, dan apa yang dirasakan Rasulullah, mereka merasa sedih dan terpukul, dan keragu-raguan pun menghampiri dan masuk ke hati mereka hingga hampir saja rasa ragu-ragu itu membinasakan mereka.
Di saat Suhail bin Amr melihat Abu Jandal, ia berdiri kemudian memukul wajahnya dan mencengkeram kerah bajunya, lalu berkata, “Wahai Muhammad, perjanjian di antara kita telah usai sebelum orang ini datang menemuimu.”
Rasulullah bersabda, “Engkau berkata benar.”
Maka Suhail bin Amr mencengkeram lebih keras kerah baju Abu Jandal dan menyeretnya untuk dibawa kepada orang-orang Quraisy. Abu Jandal berteriak dengan suaranya yang paling kencang: “Wahai kaum Muslimin, apakah kalian akan membiarkanku di seret dan dibawa kepada kaum musyrikin lalu mereka menyiksaku karena agamaku?”
Kaum Muslimin bertambah sedih menyaksikan peristiwa yang menimpa Abu Jandal.
BACA JUGA:Â Inilah Masjid yang Menjadi Tempat Perjanjian Jin dan Rasulullah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Wahai Abu Jandal, bersabarlah dan berharaplah pahala di sisi Allah, sesungguhnya Allah akan membuka jalan keluar bagimu dan bagi orang-orang tertindas sepertimu. Sungguh, kita telah menanda tangani perjanjian dengan kaum tersebut. Kita berikan kepada mereka pejanjian dan mereka berikan kepada kita janji Allah, kita tidak akan mengkhianati mereka.”
Az-Zuhri melanjutkan kisahnya:
Umar bin Khaththab berdiri menghampiri Abu Jandal lalu berjalan di sampingnya dan berkata, “Bersabarlah engkau, wahai Abu Jandal, sesungguhnya mereka orang-orang musyrikin dan darah mereka adalah darah anjing.”
Umar bin Khaththab merapatkan gagang pedang kepada Abu Jandal.
Umar bin Khaththab melanjutkan, “Aku berharap agar Abu Jandal mencabut pedang tersebut lalu menebaskan pedang tersebut kepada ayahnya. Akan tetapi dia tidak berbuat apapun terhadap ayahnya, sehingga selesailah permasalahannya.” []
Referensi: Sirah Nabawiyah perjalanan lengkap Kehidupan Rasulullah/ Asy Syaikh Al Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al Albani/ Akbar Media