SELANDIA BARU–Seorang ekstremis sayap kanan di Selandia Baru mengalami penolakan pembebasan bersyarat untuk kedua kalinya. Hal ini lantaran dirinya diduga mengancam akan menyerang masjid Newcastle dan membunuh Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern.
Polisi menuduh Cormac Patrick Rothsey, 43, berada di belakang ancaman yang dituduhkan itu, melalui postingannya di Facebook pada bulan Agustus tahun ini.
BACA JUGA:Â Selandia Baru Sediakan Restoran Halal, Travel Muslim Bisa Coba!
Pria tersebut dituduh menggunakan layanan publik untuk mengancam, melecehkan, atau menyinggung. Pelanggaran ini mendapat ancaman hukuman tiga tahun penjara.
Jaminan yang diajukan Rothsey awalnya ditolak setelah dianggap sebagai risiko yang tak bisa diterima, karena ia tidak memiliki alamat tetap.
Tetapi pada hari Senin (11/11/2019) pengacaranya, Hannah Bruce, mengajukan permohonan kedua dengan dasar ia sekarang beralamatkan di rumah kos, di mana obat-obatan terlarang atau alkohol dilarang.
Namun permohonan pembebasan bersyarat itu ditolak oleh Hakim Pengadilan Tinggi Newcastle, Susan Horan.
Postingan dianggap anti-Islam
Direktur Penuntutan Publik Selandia Baru telah memilih untuk menangani kasus Rothsey, dan masalah ini akan ditangani di Pengadilan Distrik Newcastle.
Menurut jaksa penuntut Anna Payten, Rothsey berpeluang menimbulkan risiko yang signifikan bagi masyarakat jika ia dibebaskan.
“Pelanggaran serius itu berlangsung 10 hari dan ketika pertama kali terdeteksi di Facebook, pihak berwenang menemukan konten rasis, kekerasan dan anti-Islam,” kata Payten.
“Postingan itu penuh kekerasan dan rasis dan memiliki agenda khusus anti-Islam.”
Postingan-postingan itu juga diduga mengancam kehidupan Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern dan juga menyatakan dukungannya terhadap serangan teror di Christchurch.
“Ada penyebutan untuk Perdana Menteri Jacinda Arden dan sebuah postingan yang mengatakan 9 dari 10 orang yang saya temui seperti itu terjadi di negara ‘S**l’-nya,” kata Payten.
BACA JUGA:Â Jubir Parlemen Selandia Baru Bawa Bayi saat Debat ParlemenÂ
Jaksa mengatakan kepada pengadilan bahwa kalimat itu adalah penyebutan untuk apa yang terjadi di Christchurch awal tahun ini.
Payten mengatakan tak ada ketentuan dari pembebasan bersyarat yang bisa meringankan ancaman apapun yang akan Rothsey timbulkan terhadap masyarakat.
“Ada tingkat pengetahuan yang bergerak melampaui tindakan mengomentari dan mengutuk,” katanya.
“Ia mengidentifikasi dengan pasti rencananya dan komunitas yang akan ia serang dan hari ketika ia akan menyerang, pada hari ketika jumlah terbesar orang berkumpul.”
“Hari itu adalah hari Jumat, untuk shalat Jumat.” []
SUMBER: ABC INDONESIA