DI dalam buku yang berjudul “Risalah tuntunan shalat lengkap” karya Drs. Moh. Rifai rahimahullah halaman 44 (cetakan ke 54 tahun 2016) disebutkan, bahwa Ketika duduk diantara dua sujud, disunahkan untuk membaca doa dengan redaksi berikut:
رَبِّ اغْفِرْ لِي، وَارْحَمْنِي، وَاجْبُرْنِي، وَارْفَعْنِي, وَارْزُقْنِي, وَاهْدِنِي, وَعَافِنِي, وَاعْفُ عَنِّي
“Rabbighfirlii, warhamnii, wajburnii, warfa’nii, warzuqnii, wahdinii, wa ‘aafinii, wa’fu ‘annii. (Wahai tuhanku ! ampunilah aku, kasihanilah aku, cukupkanlah segala kekuranganku, angkatlah derajatku, berilah rezeki kepadaku, berilah aku petunjuk, berilah kesehatan kepadaku, dan berilah ampunan kepadaku).”
Lafaz doa di atas (kecuali lafaz “wa’fu ‘annii”) merupakan gabungan dari beberapa riwayat. Telah dikeluarkan oleh Abu Dawud no (850), Ibnu Majah no (898), At-Tirmidzi no (284), Ath-Thabrani dalam Ad-Du’a’ no (614) dan selainnya dari sahabat Ibnu Abbas radhiallahu anhu.
BACA JUGA: Mengapa Ada Dua Sujud Dalam Setiap Rakaat?
Dari masing-masing riwayat terdapat lafaz-lafaz tambahan yang saling melengkapi dengan susunan yang sedikit berbeda.
Adapun lafaz terakhir, yaitu “wa’fu ‘annii”, lafaz ini dianggap bermasalah oleh sebagian pihak. Menurut mereka, lafaz ini tidak ada asalnya dan tidak diketemukan dalam kitab-kitab hadis.
Kami (penulis)katakan, jika yang dimaksud lafaz tersebut tidak terdapat dalam kitab-kitab hadis secara ta’yin (spesifik) untuk doa duduk di antara dua sujud, mungkin benar. Karena sepengetahuan kami, lafaz ini memang tidak diketemukan dalam kitab-kitab hadis.
Namun jika yang dimaksud tidak diketemukan secara mutlak, menurut kami tidak tepat. Karena lafaz ini diketemukan dalam sebuah riwayat sebagai pengganti bacaan Al-Qur’an bagi yang tidak mampu membacanya, yang isinya kembali kepada orang yang membacanya.
Telah dikeluarkan oleh Imam Al-Baihaqi dalam “As-Sunan Al-Kubra” no (3979) dari sahabat Ibnu Abi Aufa radhiallahu ‘anhu beliau berkata: “Ada seorang laki-laki yang mendatangi Nabi ﷺ seraya berkata: “Wahai Rasulullah ! Aku tidak bisa membaca Al-Qur’an dengan baik sama sekali. Maka ajarkanlah kepadaku apa yang bisa mencukupiku sebagai penggantinya.”
Maka Nabi ﷺ menjawab: “Subhaanallah, walhamdulillah, wa laa ilaaha illallahu, wallahu akbar, laa haula walaa quwwata illaa billah.” Laki-laki itu pergi lalu kembali lagi lalu berkata: “Semua doa itu untuk tuhanku, mana yang untukku ?” Maka Nabi menjawab, katakanlah:
اللهُمَّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي وَاهْدِنِي وَارْزُقْنِي وَعَافِنِي وَاعْفُ عَنِّي
“Allahummaghfirlii, warhamnii, wahdinii, warzuqnii, wa ‘afinii, wa’ fu’annii.” (Ya Allah ! Ampunilah aku, rahmati aku, berilah petunjuk kepadaku, berilah rezeki untukku, berilah kesehatan kepadaku, dan berilah ampunan kepadaku.” Maka tatkala laki-laki itu sudah pergi, Nabi ﷺ berkata: “Adapun orang ini, sungguh tangannya telah penuh dengan kebaikan.”
Tambahan lafaz “wa’fu ‘annii” dalam doa duduk di antara dua sujud, merupakan lafaz tambahan hasil ijtihad dari Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin (1/155). Apakah tambahan dari beliau ada sandaran dalilnya ?
Tentu ada. Sekelas imam Al-Ghazali yang telah mencapai level mujtahid berpendapat tanpa ada sandaran dalil ? Ini sesuatu yang sangat tidak mungkin.
Lalu apa dalil beliau dalam masalah ini ? Ada beberapa kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah istihsan dengan diiringi qiyas (analogi) kepada riwayat Ibnu Abi Aufa karena memiliki menusabah (kesesuaian). Kalau ada yang bertanya, bukankah mazhab Syafi’i menolak dalil istihsan ?
Jawab: Benar, tapi yang ditolak adalah istihsan saat berdiri sendiri. Adapun jika istihsan diiringi dengan qiyas atau dalil, maka dipakai.
BACA JUGA: Dalam Shalat, Turun Bersujud dengan Mendahulukan Kedua Tangan
Kemungkinan kedua, beliau berpendapat bolehnya untuk membuat redaksi doa yang baru selama isinya tidak bertentangan dengan doa yang datang dari Nabi berdasarkan riwayat Rifa’ah bin Rafi’ yang akan kami sebutkan setelah ini.
Dalam kitab Tuhfatul Muhtaj karya Imam Ibnu Hajar Al-Haitami Asy-Syafi’i (w. 974 H) rahimahullah disebutkan :
(قَائِلًا رَبِّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي وَاجْبُرْنِي وَارْفَعْنِي وَارْزُقْنِي وَاهْدِنِي وَعَافَنِي) لِلِاتِّبَاعِ فِي الْكُلِّ وَسَنَدُهُ صَحِيحٌ زَادَ فِي الْإِحْيَاءِ وَاعْفُ عَنِّي
“Seorang yang duduk diantara dua sujud dalam kondisi membaca doa: ((Rabbighfirlii, warhamnii, wajburnii, warfa’nii, warzuqnii, wahdinii, wa ‘aafinii)), dalam rangka ittiba’ (mengikuti sunah rasul) dalam seluruhnya dan sanadnya shahih. (imam Al-Ghazali) menambahkan kalimat “wa’fu ‘annii” dalam kitab Ihya.”(Tuhfatul Muhtaj: 2/77).
Penambahan redaksi doa duduk di antara dua sujud, juga telah dilakukan oleh para Salaf, dimana redaksi tersebut secara persis tidak pernah dicontohkan oleh Nabi ﷺ.
Diantaranya istri Nabi, yaitu Ummu Salamah radhiallahu ‘anha, sebagaimana dirwiayatkan oleh Imam Abu Bakar Ibnu Abi Syaibah (w.235 H) dimana beliau ketika duduk di antara dua sujud membaca doa:
اللَّهُمَّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَاهْدِ السَّبِيلَ الْأَقْوَمَ
“Ya Allah! Ampunilah, kasihanilah, dan tunjukkanlah (aku) ke jalan yang lurus.” (Mushannaf : 2/267).
Doa duduk di antara dua sujud dengan redaksi seperti itu tidak pernah dicontohakan oleh Nabi ﷺ. Namun begitu diamalkan oleh Ummu Salamah.
Sekelas istri nabi amat sangat tidak mungkin mengamalkan suatu lafaz doa apalagi di dalam salat, kecuali memiliki sandaran dari nabi, baik secara langsung atau tidak langsung.
Dalam riwayat lain dari sahabat Rifa’ah bin Rafi’, pernah suatu ketika beliau mengucapkan “hamdalah” ketika bersin saat sedang salat di belakang Nabi ﷺ. Ketika mengetahui hal itu, Nabi ﷺ tidak mengingkarinya (HR. At-Tirmizi dan An-Nasai).
Dari hal ini, Hafiz Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata:
وَاسْتُدِلَّ بِهِ عَلَى جَوَازِ إِحْدَاثِ ذِكْرٍ فِي الصَّلَاةِ غَيْرِ مَأْثُورٍ إِذا كَانَ غير مُخَالف للمأثور
“(Hadis ini) dijadikan dalil akan bolehnya membuat dzikir baru di dalam salat yang tidak maktsur (tidak datang dari Nabi) apabila tidak menyelisihi yang maktsur.” (Fathul Bari : 2/287).
BACA JUGA: Sombongnya Iblis, Diperintah Bersujud, Menolak
Yang membolehkan adanya tambahan redaksi doa duduk di antara dua sujud walaupun tidak maktsur (dicontohkan) dari Nabi tidak hanya ulama mazhab Syafi’i saja, bahkan dari ulama salafi, yaitu Syekh bin Baz rahimahullah. Beliau (Syekh bin Baz) berkata:
ويقول رب اغفر لي، رب اغفر لي، رب اغفر لي، كما كان الرسول صلى الله عليه وسلم يقوله، ويستحب أن يقول مع هذا: اللهم اغفر لي وارحمني واهدني واجبرني وارزقني وعافني، لثبوت ذلك عنه صلى الله عليه وسلم، وإذا قال زيادة فلا بأس كأن يقول: اللهم اغفر لي ولوالدي اللهم أدخلني الجنة وأنجني من النار اللهم أصلح قلبي وعملي ونحو ذلك
“ Dan seorang yang duduk di antara dua sujud membaca doa: (Rabbighfir lii, rabbighfir lii, rabbighfir lii), sebagaimana diucapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan dianjurkan untuk membaca bersama doa ini : (Allahummaghfir lii, warhamnii, wahdinii, wajburnii, warzuqnii, wa ‘aafinii), karena tetapnya doa ini dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan apabila seorang membaca LEBIH/MENAMBAH dari itu, MAKA TIDAK MENGAPA (BOLEH), seperti: (Allahumaghfir lii, wa liwalidayya, allahumma adkhilniljanah, wa anjinii minnaar, allahumma ashlih qalbii wa amalii), dan yang semisal hal itu.” (Majmu Fatawa syekh bin Baz : 11/37).
Tambahan redaksi doa yang disebutkan syekh bin Baz (Allahumaghfir lii, wa liwalidayya, allahumma adkhilniljanah, wa anjinii minnaar, allahumma ashlih qalbii wa amalii), tidak ada contohnya dari Nabi. Namun begitu beliau membolehkannya dan tidak menganggapnya sebagai amalan bid’ah.
Ada ulama Salafi yang lain, yaitu Syekh Abdullah bin Syekh Muhammad rahimahullah yang secara tegas dan gamblang membolehkan lafaz “wa’fu ‘annii”. Beliau berkata:
BACA JUGA: Menyelipkan Doa saat Sujud
إذا جلس بين السجدتين، قال: رب اغفر لي، وارحمني، واهدني، وارزقني، وعافني، واعف عني
“Apabila seorang duduk di antara dua sujud, hendaknya dia membaca: Rabbighfirlii, warhamnii, wahdinii, warzuqnii, wa ‘aafinii, wa’fu ‘annii.” (Ad-Durar As-Saniyyah : 4/299).
Kesimpulannya, tambahan lafaz “Wa’fu ‘annii” pada doa duduk di antara dua sujud yang terdapat di dalam kitab-kitab fiqh mazhab Syafi’i dan diamalkan oleh kaum muslimin khususnya di Indonesia, memiliki sandaran dari sisi dalil, kaidah ushul, dan telah difatwakan oleh para ulama mujtahidin.
Oleh karenanya, hendaknya kita semua lebih berhati-hati dalam menyalahkan suatu amalan, apalagi hanya berdasar ketidaktahuan kita. Jika tidak tahu, solusinya bertanya dan belajar dengan adab yang baik. Wallahu a’lam bish shawab. []