WAHAI istriku, punggungmu seperti punggung ibuku. Khaulah gusar mendengar kalimat yang terucap dari bibir suaminya, Aus bin Shamit bin Qais. la tak suka dipersamakan dengan ibu mertuanya.
Aus adalah tipe suami yang kasar kelakuannya. Hari itu, Khaulah membantah perkataan Aus hingga terucaplah kalimat itu untuknya. Belum hilang rasa kesal Khaulah, sang suami malah datang kepadanya untuk menunaikan hajat.
“Tidak, wahai suamiku. Demi Allah, jangan engkau menggauli aku sementara kau telah mengucapkan kalimat yang tidak menyenangkanku. Biarlah Allah dan Rasul-Nya yang memutuskan,” kata Khaulah menolak keinginan suaminya.
BACA JUGA: Secuil Amalan yang Mengantarkan Sahabat ke Surga
Khaulah memiliki nama lengkap Khaulah binti Tsa’Iabah bin Ashram bin Fahr. Ia adalah wanita yang fasih dan indah perkataannya. Dalam menghadapi sikap suaminya, Khaulah tidak bertindak semaunya sendiri. Ia memilih berhujah pada Allah dan Rasulullah. Maka, ia pun datang dan mengadu pada beliau.
“Wahai Rasulullah, suamiku telah menghabiskan masa mudaku. Kuberikan padanya perutku hingga aku tak bisa beranak lagi, lalu ia malah menyakitiku dengan kata-katanya,” keluh Khaulah.
“Engkau adalah istrinya. Engkau tidak haram bagi suamimu,” jawab Rasulullah
Khaulah sepertinya kurang puas. Ia bertanya sekali lagi. Namun jawaban yang ia terima tak jauh beda, “Aku tidak mengatakan engkau haram bagi suamimu.”
Khaulah yang makin gusar lalu menengadahkan tangan untuk berdoa. Ia mengadu kepada Allah atas apa yang ia alami. Masya Allah…. Allah Maha Mendengar doa hamba-Nya.
Belum selesai Khaulah berdoa, Jibril datang menemui Rasulullah untuk menyampaikan wahyu. “Wahai Khaulah, Allah telah menurunkan satu ayat Al-Qur’an untukmu dan suamimu,” sabda Rasulullah Beliau kemudian membacakan surat al-Mujadalah ayat 1-3: “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Orang-orang yang menzhihar istrinya di antara kamu, (menganggap istrinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah istri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. Orang-orang yang menzhihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Mendengar sabda Rasulullah Khaulah bersyukur, namun juga bingung. Beliau meminta suaminya memerdekakan seorang budak, sedangkan Aus tidak memiliki budak.
BACA JUGA: Sahabat yang Diberi Gelar Abu Yahya
“Suruhlah dia berpuasa dua bulan berturut-turut,” jawab Rasulullah.
“Dia laki-laki yang sudah tua, tidak akan sanggup berpuasa selama itu,” kata Khaulah.
“Kalau begitu, suruhlah ia memberi makan fakir miskin sebanyak 60 sha’ kurma.”
“Dia tak punya makanan sebanyak itu, wahai Rasul.”
“Aku akan membantunya dengan setandan kurma,” kata Rasulullah lagi.
“Dan aku membantunya setandan lagi,” sambung Khaulah.
“Niatmu sungguh mulia. Lakukanlah untuk suamimu dan perlakukan dia dengan baik.”
Khaulah kembali ke rumahnya dengan hati yang puas. Kini tahulah ia putusan atas permasalahannya dengan sang suami. Meski semula hatinya kesal, namun pada akhirnya dengan tulus is membantu suaminya menunaikan kafarat atas zhihar yang ditujukan kepadanya. Masya Allah, begitu mulia hati Khaulah binti Tsa’labah. []
Sumber: 77 Cahaya Cinta di Madinah/Penulis: Ummu Rumaisha/ Penerbit: al-Qudwah Publishing/ Februari, 2015