RASULULLAH menghampiri sebatang pohon anggur, beliau mengucapkan doa yang amat terkenal menunjukkan duka lara yang memenuhi hati beliau karena mereka menolak kedatangan Nabi dan agama yang ia bawa. Inilah sebuah kisah haru tentang doa Rasulullah di Tha’if.
Selepas wafatnya Abu Thalib, perlawanan dan kezaliman tak henti-hentinya dilakukan oleh kaum Quraisy kepada Rasulullah.
Melihat penderitaan yang begitu buruk dialami Rasulullah, Utbah dan Syaibah merasa iba. Mereka menyuruh seorang budak mereka untuk memberikan buah anggur kepada Rasulullah.
Rasulullah menjulurkan tangan untuk memgambil anggur seraya mengucap, “Bismillah.”
Budak itu terkejut keheranan mendengar ucapan itu.
BACA JUGA: Perjuangan Rasulullah di Kota Thaif
“Kata-kata itu tidak pernah diucapkan oleh penduduk negeri ini,” ujarnya.
Kemudian, Rasulullah bertanya kepada sang budak siapa namanya dan dari negeri mana dia berasal, serta apa agamanya.
“Namaku Addas, aku berasal dari Niniveh di Mesopotamia. Aku beragama Nasrani.”
Rasulullah kemudian berkata lagi, “Dari negeri baik-baik, Yunus bin Matta.”
Dengan rasa heran yang lebih besar daripada sebelumnya, Addas bertanya, “Darimana Tuan tahu nama Yunus bin Matta?”
“Dia saudaraku,” jawab Rasulullah, “dia seorang nabi dan aku juga seorang nabi.”
Mendengar itu, hati Addas dipenuhi rasa haru yang menyengat. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia mencium kepala, tangan, dan kaki Rasulullah.
Utbah dan Syaibah memerhatikan hal itu dengan heran.
“Lihat, ia merusak budakmu,” kata Syaibah.
Ketika Addas kembali, mereka bertanya dengan marah, “Mengapa pula engkau cium kepala, tangan, dan kaki orang itu?”
“Itulah laki-laki yang paling baik di negeri ini,” jawab Addas. “Ia mengatakan sesuatu yang hanya diketahui oleh para nabi.”
Utbah dan Syaibah saling pandang sebelum berkata dengan keras,”Addas, jangan sampai orang itu memalingkan engkau dari agamamu. Agamamu itu lebih baik daripada agamanya.”
Doa Rasulullah di Tha’if, Allah Mengutus Jibril
Karena itu, Rasul Shallallahu alaihi wa sallam kemudian meninggalkan Thaif dan mencari tempat yang aman.
Di lokasi itu, Rasul Shallallahu alaihi wa sallam berdoa.
”Ya Allah, Aku mengadukan kepadamu lemahnya kekuatanku, dan sedikitnya daya upayaku pada pandangan manusia.
Wahai yang Maha Pengasih, Engkaulah Tuhan orang-orang yang merasa lemah, dan Engkaulah Tuhanku.
Kepada siapakah Engkau serahkan diriku, kepada musuh yang akan menguasaiku atau kepada keluargaku yang Engkau berikan segala urusanku.
Tiada suatu keberatan asal tetap dalam ridla-Mu. Afiatmu lebih berharga bagiku.
BACA JUGA: Peristiwa yang Terjadi setelah Rasulullah Diusir Penduduk Thaif
Aku berlindung kepada-Mu dengan nur wajah-Mu, yang menyinari segala kegelapan, dan yang memperbaiki urusan dunia dan akhirat, dari turunnya murka-Mu atasku atau turunnya azab-Mu atasku.
Kepada Engkaulah kuadukan, hingga Engkau ridha. Tiada daya dan upaya melainkan dengan-Mu.”
Mendengar doa Rasul Shallallahu alaihi wa sallam, Allah mengutus Jibril untuk menyampaikan bahwa Allah menerima doanya.
Rasulullah Shallahu alaihi wasallam keluar dari kebun itu dalam keadaan murung, sedih dan hati teriris-iris, menuju Makkah. Setelah berjalan beberapa saat dan tiba di Qarnul Manazil.
Allah mengutus Jibril dan Malaikat Penjaga Gunung, menawarkan diri untuk menghancurkan Tha’if. Namun, Rasulullah menolak, beliau bahkan mendoakan kebaikan bagi penduduk Tha’if.
Doa Rasulullah di Tha’if, Kembali ke Makkah
Setelah Abu Thalib meninggal, Abu Lahab lah yang terpilih sebagai pemimpin kabilah Bani Hasyim. Abu Lahab langsung mengumumkan kepada khalayak bahwa Bani Hasyim kini tidak lagi melindungi Rasulullah.
Hal itu berarti Rasulullah boleh dianiaya, bahkan sampai dibunuh oleh siapa pun tidak akan ada yang menuntut balas kematiannya.
Dalam perjalanan kembali ke Mekah, keadaan Nabi yang tanpa perlindungan ini merisaukan Zaid. Zaid pun bertanya,
“Wahai Rasulullah, apa yang akan kita lakukan jika kita kembali ke Mekah tanpa perlindungan? Aku khawatir jika orang akan berbuat sewenang-wenang kepada Anda.”
Rasulullah menatap Zaid dengan pandangan menghibur sambil berkata dengan keyakinan penuh,
“Allah akan melindungi agama dan Rasul-Nya.”
Tiba-tiba di luar Mekah, melalui seorang penduduk, beliau menghubungi Al Akhnas bin Syariq untuk menanyakan apakah ia mau memberi perlindungan. Namun, Al Akhnas menolak.
Rasulullah kemudian menghubungi Suhail bin Amr dari Bani Amr bin Lu’ay, tetapi ia juga menolak. Akhirnya *Al Muth’im bin Adi bersedia memberi perlindungan.
Esok paginya, Al Muth’im menuju Ka’bah dan memgumumkan perlindungannya. Abu Lahab datang dan memprotes dengan ejekan.
“Kamu memberi perlindungan atau menjadi pengikutnya?”
“Kami memberi perlindungan kepada orang yang seharusnya engkau lindungi”, jawab Al Muth’im.
Suatu hari, Rasulullah pergi ke Ka’bah, Abu Jahal melihatnya dan berseru kepada sekumpulan orang Quraisy dengan nada menghina.
“Wahai keturunan Abdu Manaf, inilah Nabi kalian.”
Menanggapi olokan itu, Utbah bin Rabi’ah berkata, “Peduli apa pula engkau, apakah kita ini mempunyai seorang nabi atau raja?”
Rasulullah mendekati keduanya dan berkata,
“Wahai Utbah, demi Allah ucapanmu adalah tanggunganmu sendiri. Sementara untukmu, Abu Jahal, nasib jelek akan menimpamu sehingga kelak engkau akan sedikit tertawa dan banyak menangis.”
Doa Rasulullah di Tha’if, Saat penuh perjuangan
Setelah Abu Thalib meninggal, ruang gerak dakwah Rasulullah di Mekah semakin sempit. Beliau pun mencoba mengalihkan dakwah Islam ke suku-suku Arab lain yang sering berdatangan ke Mekah pada bulan-bulan haji.
Setiap hari Rasulullah mengunjungi perkemahan Badui, setiap kali itu pula Abu Lahab mengikuti beliau. Setelah beliau beranjak pergi, Abu Lahab mendekat dan berkata.
“Orang yang tadi hanya ingin menukar kepercayaan Anda kepada Latta dan Uzza, serta jin-jin sekutu Anda, dengan agama sesat yang dibawanya.”
BACA JUGA: Meski Terluka karena Dilempari Batu oleh Penduduk Thaif, Kelembutan Hati Nabi Tak Berubah
Seorang pemuka kabilah Badui pernah bertanya kepada Rasulullah,
“Kalau kami jadi pengikutmu dan Tuhan memberimu kemenangan menghadapi lawanmu, apakah kami akan berkuasa setelah Anda?”
Rasulullah menjawab,
“Kekuasaan adalah pemberian Allah ketika Ia menghendaki.”
Dengan muka masam, pemimpin kabilah itu berkata ketus,
“Dugaan saya, Anda ini mengharap kami melindungi Anda dari orang Badui dengan dada kami, lalu kalau Anda menang orang lain akan memetik untung! Tidak, terima kasih.”
Itulah sekelumit kisah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam saat berdakwah di Thaif. []