SAYA masih ingat dulu pada dekade 70-80-an, saya memiliki seorang teman yang menyebut dirinya “Mbak Sri”. Jangan dibayangkan dia seorang cewek karena dia sesungguhnya seorang cowok sebagaimana saya.
Nama lengkapnya sebut saja Sri Wardono. Ketika Mbak Sri masih dalam kandungan, ibunya sangat berharap ia akan lahir sebagai anak perempuan. Maklum di keluarganya, belum ada seorang pun anak perempuan. Semua anak adalah laki-laki yang jumlahnya sudah 4 orang. Ibunya sangat mendambakan kehadiran seorang anak perempuan agar ia tak sendiri sebagai perempuan dalam keluarga itu. Di sinilah awal mula permasalahan.
Ibunda Mbak Sri, sebut saja Bu Basuki, memang sangat mengidamkan memiliki seorang anak berjenis kelamin perempuan sebagaimana dirinya. Dalam setiap doanya kepada Tuhan ia selalu menyatakan hal itu.
Mbak Sri belum lahir saja, ibunya sudah menyiapkan nama anak perempuan “Sri Lestari” sekaligus pakaian anak perempuan yang bagus-bagus. Singkat cerita Bu Basuki berdoa keras agar Allah memberinya anak perempuan yang akan menjadi anak kelima dalam keluarganya.
Mbak Sri akhirnya benar-benar lahir ke dunia bukan sebagai anak perempuan, tetapi sebagai anak laki-laki. Bu Basuki kecewa dengan kanyataan yang ada. Tetapi ia tidak menyerah begitu saja. Ia masih memiliki kesempatan untuk tetap memberikan nama depan “Sri” yang sudah ia siapakan sebelum kelahirannya.
Nama belakang Mbak Sri bukan “Lestari” sebagaimana rencana awal, tetapi sudah disesuaikan dengan jenis kelamin yang sebenarnya, “Wardono”. Jadi nama lengkap Mbak Sri menjadi “Sri Wardono”.
Dengan nama depan “Sri”, ibunya masih bisa berimajinasi bahwa anak kelimanya adalah perempuan karena nama “Sri” lebih umum dipakai untuk anak perempuan. Setiap hari Bu Basuki memperlakukannya sebagai anak perempuan. Baju-baju anak perempuan yang sudah disiapkan sebelum kelahirannya, tetap dipakaiankan pada anak itu. Ketika baju-baju itu sudah tak cukup untuk badannya yang sudah semakin besar, Bu Basuki tetap membuatkan baju-baju baru dengan model baju perempuan.
Penampilan Mbak Sri yang dipaksakan feminin oleh ibunya ini, sedikit demi sedikit mempengaruhi kejiwaannya. Hal itu tampak pada perilakunya. Misalnya, ia lebih suka bergaul dengan anak-anak perempuan dan mulai tertarik dengan sesama laki-laki. Dia belajar berjalan dengan langkah gemulai meski suaranya tetap seperti kodratnya sebagai laki-laki. Ketika dewasa jakun di lehernya tak bisa disembunyikan.
Hari demi hari terus berjalan. Tahun demi tahun terus berlalu. Mbak Sri telah tumbuh dan berkembang cukup besar. Ia harus sekolah sebagaimana anak-anak sebaya. Oleh orang tuanya, Mbak Sri didaftarkan sebagai anak laki-laki. Di sekolah ia memakai celana dan kemeja. Di rumah ia memakai rok. Hal ini berlangsung hingga ia duduk di kelas 4 SD. Saat itu umurnya telah mencapai 10 tahun.
Di usia kesepuluh itulah, ia dikhitankan oleh orang tuanya. Namun, ketika lukanya telah mengering dan sembuh, ia memutuskan memilih menjadi anak perempuan dan tidak lagi mau sekolah. Ia tinggalkan bangku sekolah dan tanggalkan seluruh pakaian laki-lakinya. Selanjutnya ia hanya mau memakai pakaian perempuan, terutama rok. Termasuk dalam hal ini ia tanggalkan sarung yang selama ini ia kenakan untuk shalat di masjid. Kemudian ia mengganti sarung dengan mukena sebagaimana perempuan.
Jika sebelumnya ia selalu shalat berjamaah di ruang laki-laki, sejak itu ia pindah ke ruang perempuan. Di ruang perempuan ini, ia memilih bersendirian di baris paling belakang. Atau kalau memang di sebelah kiri atau kanannya ada perempuan, ia bersikap hati-hati dengan mengambil jarak agar tidak bersentuhan kulit. Ia menyadari kelaki-lakiannya dan cukup tahu hal-hal yang bisa membatalkan wudhu. Ia tak ingin membatali wudhu teman-teman perempuannya.
Ketika usia Mbak Sri telah mencapai 25 tahun, ia mengadakan pesta ulang tahun di rumah sendiri dengan mengundang banyak tamu terutama kerabat dekat, teman-teman sesama waria dan tetangga sendiri. Saya juga termasuk yang diundang dan hadir dalam acara itu. Saat itu saya sudah kuliah, entah di semester berapa saya lupa.
Perayaan ultahnya yang ke 25 itu ternyata ia manfaatkan untuk mengumumkan perkawinannya dengan seorang gay yang selama beberapa tahun memang dikenal sebagai pacarnya. Tentu saja tidak ada ritual khusus seperti ijab qabul dan sebagainya dalam acara itu. Mbak Sri dan “suaminya” duduk berdua di kursi “pelaminan” layaknya perkawinan yang sebenarnya. Mereka juga melakukan adegan saling menyuapi makanan di depan para tamu.
Usia Mbak Sri kini sekitar 58 tahun. Sedang usia saya memasuki 53, atau lima tahun lebih muda dari pada Mbak Sri. Saya tak tahu kabar Mbak Sri sekarang. Di mana kebaradaannya saya juga tidak tahu. Sejak puluhan tahun ia telah pindah ke kampung lain yang tidak saya ketahui.
Fenomena Mbak Sri hendaknya membuka kesadaran masyarakat. Hal lain yang perlu menjadi pelajaran berharga adalah para orang tua tentu boleh mendambakan seorang anak dengan jenis kelamin tertentu sesuai harapannya. Namun doa yang tidak pernah dipasrahkan kepada Allah akan berpotensi memaksakan kehendak.
Jika ternyata Tuhan menghendaki lain, orang tua bisa sangat frustrasi atas kenyataan yang ada karena kurangnya tawakal. Yang saya maksud dengan tawakal dalam hal ini adalah sikap menyerahkan kepada Allah semata apa pun hasil dari apa yang diperjuangkan baik melalui usaha maupun doa-doa.
Mbak Sri adalah contoh dari sikap orang tua yang tidak bisa menerima kehendak-Nya. Mbak Sri adalah korban. Padahal Allah telah mengingatkan di dalam Al-Qur’an, Surah Ali Imran, ayat 159:
“Ketika engkau telah membulatkan tekad (memiliki keinginan tertentu), maka bertawakallah kepada Allah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal (kepada-Nya).”
Ayat di atas menegaskan bahwa Allah tidak melarang seorang hamba memiliki keinginan tertentu. Tetapi Allah mengingatkan apa pun tekad seseorang untuk mencapai keinginan tertentu itu, dari yang sepele hingga yang muluk-muluk, pada akhirnya tekad tersebut harus dipasrahkan kepada-Nya karena Dia-lah Yang Mengatur Hidup ini.
Sumber: dream (dari Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta)