Oleh: Anita Dewi Ekawati, Anita24dewi@gmail.com
SATU persatu teman-temanku mulai melangkah ke jenjang pernikahan, tapi itu tak mengusikku untuk segera menentukan pilihan. Orang tuaku juga bukan tipe orang tua yang kerap bertanya masalah pernikahan. Seperti kebanyakan lajang yang sudah pantas menikah lainnya, aku pun sering mendapat sindiran dari orang lain dan pedoman “yang penting orang tuaku tidak memaksakan untuk segera menikah”, aku pegang teguh.
Aku kembali dari Solo ke rumah orang tuaku di Jakarta seusai wisuda. Malam itu aku dan mama duduk berjarak beberapa langkah. Kami sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Pandangan mataku mengarah pada mama dan disaat yang sama aku bisa menangkap ekspresi kaget dari mata beliau. Rupanya dari tadi mama memperhatikan aku.
BACA JUGA: Jangan Baper jika Jodoh Belum Datang
“Kak, ada laki-laki yang dekat sama kakak sekarang?” Deg. Aku menangkap kemana arah pembicaraan ini akan berlanjut. Tiba-tiba seperti ada kekakuan diantara kami. Untuk pertama kalinya mama bertanya soal ini ke anak perempuannya.
“Enggak ada ma. Kenapa?” ada kepasrahan yang luar biasa saat kata “kenapa” itu aku ajukan. Mama lalu mengutarakan maksudnya untuk menjodohkan aku dengan laki-laki pilihannya. Aku hanya terdiam. Perang batin mulai bergejolak di dadaku. Di satu sisi aku pasrah karena aku yakin mama pasti sudah memikirkan untuk kebaikanku nantinya. Disisi lain, rasa takut mulai membuat banyak kalimat diawali dengan kata “bagaimana kalau…”
Setelah percakapan hari itu, mama tidak pernah membahas lebih lanjut. Aku mulai serius bertanya tentang siapa jodohku lewat doa. Beberapa kali melalui mimpi, aku seperti diberi tanda. Pernah beberapa kali juga aku terpikir tentang seseorang yang sudah lama aku kenal namun jarang sekali kami berkomunikasi. Aku anggap itu hanya ingatan sesaat saja. Aku terus berdoa dan bertanya, sampai akhirnya aku berada dititik terjenuhku. Penat akan sindiran orang dan ada rasa ingin untuk memiliki hubungan yang serius. Pernah aku merasa kalau ingatan tentang kawan lama yang muncul itu jangan-jangan adalah pertanda dia jodohku. Orang yang sangat baik tapi terkadang kaku. Tidak ada kriteria yang aku mau padanya. Aku anggap kesimpulan itu kubuat saat aku mulai penat saja.
Waktu mempertemukan aku dan laki-laki itu lagi. Saat itu aku sudah lupa pada mimpi dan ingatan yang sering terlintas. Bahkan aku mulai berhenti berdoa untuk bertanya tentang jodohku. Saat bertemu dengannya, seperti biasa hanya membicakan sebatas keperluanku kepadanya saja. Aku sempat ijin untuk sholat sebentar. Dia duduk berjarak beberapa meter dibelakangku. Selesai sholat, aku merapikan alat sholat sambil menatap ke arahnya “jangan-jangan aku suka sama dia”. Aku langsung istighfar, tak tahu darimana pikiran itu bisa muncul.
BACA JUGA: Jodoh Itu Cerminan Diri, Benarkah?
Di tengah obrolan kami, tiba-tiba telponnya berdering. Mama meminta tolong untuk mengantarkan aku ke kantornya. Memang sebelumnya aku sudah bilang kalau kita membuat janji bertemu. Awalnya aku kenal dia juga dari mama. Jadi bisa dibilang dia lebih dekat dengan mama. Sepanjang perjalanan, kami membicarakan berbagai macam topik. Aku temukan sisi lain pada dirinya. Apa yang aku minta ada di dirinya.
Beberapa minggu setelah petemuan itu, dia datang melamarku. Allah menjawab doaku dengan sangat indah. Meneguhkan hatiku yang berkali-kali ragu untuk melangkah dengannya. Meruntuhkan egoku yang mendikte siapa jodohku lewat doa. Aku beristigfar dan berusaha tidak mengulang hal yang sama setiap berdoa kepada Allah sang Maha Segalanya. []