Oleh: Chilmi Muhammad S, Mahasiswa Universitas Brawijaya.
“JIKA anda melempar buah apel ke atas dengan mata tertutup, apakah anda yakin akan bisa menangkapnya kembali?”
Saya yakin SEMUA manusia di dunia ini pasti memiliki kebutuhan atau hajat kepada Tuhannya. Apabila sebuah angan telah terpatri kuat di dalam otak, maka jalan satu-satunya hanyalah meraihnya hingga angan tersebut sampai kedalam genggaman kita.
Seorang yang sejak kecil telah mengagumi profesi dari seorang tentara, saya yakin orang tersebut akan selalu melakukan latihan fisik yang keras dan selalu menjaga pola konsumsinya. Namun ketika waktunya tiba, apakah kita bisa menjamin bahwa orang tersebut akan berhasil lolos tes penerimaan untuk menjadi seorang tentara?
Tentu jawabannya belum pasti. Seperti kisah seorang pemuda berikut ini. Dia sedari kecil sangat terobsesi untuk bisa menjadi seorang tentara. Setelah selesai menamatkan pendidikan di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) kemudian dia mencoba peruntungannya dengan mendaftarkan diri, tentunya dengan membawa dua kemungkinan apakah berhasil ataukah gagal. Namun setelah penentuan hasilnya tiba, apa yang terjadi? Dia gagal diterima. Apakah karena dia tidak pernah berlatih fisik setiap hari? Ataukah dia juga tidak berdo’a kepada Allah SWT?
Tidak, dia setiap hari selama masa-masa SMA selalu melakukan latihan fisik, lari pagi berkilo-kilo meter adalah hal biasa baginya, begitu juga dengan ibadah dan do’anya. Setiap hari pemuda ini juga gemar keluar masuk musholla untuk beribadah. Yang begitu tragis lagi adalah usahanya itu tidak hanya satu kali saja yang menuai kegagalan, namun hampir tiga kali. Dengan kerugian materi yang sampai berpuluh-puluh juta rupiah. Lantas jika kondisinya demikian, apakah Dia yang patut dipersalahkan?
Jikalau memang iya, apakah kita lupa bahwa Allah juga memiliki sifat Pengasih dan Penyayang kepada semua hamba-Nya? Mungkin saat itu profesi tentara tidak cocok bagi pemuda tersebut, sehingga Allah dengan penuh perhatiannya ingin mengarahkan masa depannya ke jalan yang lebih disukai-Nya. Namun yang menjadi permasalahan sekarang adalah mengolah perspektif seperti hal itu tidaklah mudah jika kita sendiri yang mengalaminya secara langsung. Tentunya sedikit banyak kita pasti akan “memberontak” apabila ada seseorang yang ingin menasehati kita dengan kata-kata yang sama persis dengan kalimat diatas.
Terkadang ego kita lebih dominan tatkala situasi tak mendukung, kita selalu banyak menuntut lebih pada Allah, menuntut inilah itulah, jika tidak terkabul maka senjata utama kita pasti lagi-lagi kalimat seperti ini
“Ah, Tuhan tidak adil kepadaku, Mengapa orang lain bisa bahagia, sedangkan aku tidak?”
Kita terlampau naif memandang hidup yang sementara ini, padahal apa yang Allah berikan dalam hidup ini selalu dan pastilah yang terbaik. Karena Allah memberikan apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan.