Oleh: Dr. H. Monte Selvanus, MMR
“Yang paling berat bagi saya mas,” kata dr. Joko, “Adalah mengislamkan ibu saya… alhamdulillah beliau mendapat hidayah pada usia 71 tahun. Bayangkan betapa senangnya hati saya saat itu. Harapan bertemu beliau di surga semoga kelakon mas.”
Sepenggal pembuka obrolan dr. Joko pagi ini membuat mata saya merah. Karena tiba-tiba saya merasakan bakti anak soleh kepada orang tua, merasakan sesuatu yang hilang lalu tiba-tiba kembali ke pangkuan. Robbana maa kholaqta hadza bathila. Ya Tuhanku, sungguh Engkau tiada menciptakan ini dengan sia-sia.
Dokter Joko, seorang dokter anestesi yang sangat sederhana, beberapa kali saya berjumpa dengannya dalam forum MPKU PP Muhammadiyah dan MDMC. Praktek baginya tidak lebih ia pentingkan daripada mensyiarkan agama ini, asal sudah ada pengganti, saya lebih baik berdakwah. Makanya wajar jika dalam berbagai forum yang digelar Persyarikatan beliau selalu hadir.
BACA JUGA:Â Lady Evelyn Cobbold: Wanita Mualaf Inggris Pertama yang Pergi Haji
Beliau sempat menjadi direktur di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta -cikal bakal berdirinya RS PKU se-Indonesia.- Dan sekarang setelah selesai jabatan, beliau memilih aktif di masjid dan menjadi surveyor untuk Komisi Akreditasi.
Kembali kepada obrolan kami, beliau bercerita bahwa beliau berasal keluarga Nasrani yang sangat taat beribadah.
“Rumah kami pada hari Senin hingga Sabtu di bagian pendopo dijadikan sebagai puskesmas, karena saat itu kecamatan belum punya puskesmas. Nah pada hari Ahad, pendopo tadi dijadikan gereja. Bahkan kemudian, ketika ada dana, Bapak dan ibu saya mendirikan gereja di desa kami.”
“Titik awal saya mencintai agama Islam itu saat kelas 3 SD, saat itu pelajaran agama Islam. Kawan-kawan saya yang Nasrani segera meninggalkan ruang kelas, tapi entah mengapa saya tidak ingin meninggalkan kelas. Saya justru menikmati kisah Rasulullah si anak yatim. Ditinggalkan orang tuanya saja bisa begitu mulia akhlaqnya, kok ada orang seperti beliau. Lalu saya mencari tahu Islam, dan seakan-akan Allah selalu menjadikan kawan dekat saya selalu orang Islam yang kuat keimanannya. Dan puncaknya saat semester dua di FK, saya resmi menjadi seorang Muslim setelah meyakini betul bahwa Islam adalah agama yang benar dan penuh sekali dengan kebaikan. Jika jadi orang Islam tidak menjadikan diri kita baik, itu sangat rugi sekali. Karena semua jalan dibentuk untuk kebaikan, bahkan kena musibah pun bisa menjadi kebaikan. Itulah Islam.”
“Ceritanya bagaimana dok, sampai orang tua bisa menjadi mualaf sebagaimana dokter?” Tanya seorang jamaah.
“Saya tidak pernah menawarkan agama saya kepada orang tua saya, hanya saja semenjak saya masuk Islam saya memperbaiki terus akhlaq saya khususnya kepada orang tua. Tidak sekalipun saya mengatakan “Tidak”, kepada bapak ibu. Alhamdulillah tahun 1990 saya naik haji dan tiba-tiba bapak menyatakan keislamannya. ‘Aku melu kowe Le,’ kata bapak.
BACA JUGA:Â Kisah Mualafnya Kepala Suku Afrika Bertongkat Macan
Di saat haji itulah saya bermimpi bahwa saya bertemu ibu di Mekah. Saya rasa ini tanda dari Allah bahwa ibu kelak akan masuk Islam juga. Maka setiap saat saya selalu berdoa memohon supaya ibu juga diberi hidayah, ibu supaya masuk Islam. Dan tahun 2006, saya dipanggil ibu, sama seperti bapak, ibu saya bilang, ‘Aku tak melu kowe Le.’ Bergetar hati saya, tidak menyangka bahwa akhirnya hidayah itu pun datang kepada ibu setelah 16 tahun lamanya saya berdoa. Beliau lalu saya bawa ke masjid dan di sana beliau bersyahadat. Masjid itu dekat dengan rumah, berhadap-hadapan dengan gereja yang bapak ibu bangun dulu.”
Subhanallah, sebuah kisah yang sangat menyentuh. Jujur saja, hampir saja saya meneteskan air mata saat mendengar cerita beliau.
“Apa impian dokter Joko,” saya bertanya.
“Saya ingin sekali punya pesantren atau boarding school sebelum saya kembali kepada Allah, Mas. Saya punya anak satu, dan saya bercita-cita menjadikan anak-anak yang berada dalam asuhan saya adalah hafidz dan hafidzah. Ya, semoga Allah mengabulkan permohonan saya, Mas.”
Mendekati waktu syuruq, kemudian beliau bangkit, dan berkata, “Maaf mas, saya tak shalat syuruq dulu ya. Lain kali kita ngobrol lagi.”
Masya Allah. []
Kisah Ini dikutip dari tulisan berjudul ‘Obrolan Pagi Bersama Doktor Joko’