KORUPSI adalah ‘penyakit’ yang mewabah di berbagai negara di dunia, tak terkecuali Indonesia. Korupsi atau rasuah adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal.
Mereka menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan pribadi saja.
Secara maknawi, korupsi juga mencangkup nepotisme, atau tindakan ‘bagi-bagi’ jabatan kepada orang dekat, baik saudara ataupun teman. Selain itu, korupsi juga mencangkup tindak penggelapan (harta negara).
BACA JUGA: Pandangan Islam soal Korupsi, dan Hukumannya di Akhirat Kelak
Namun kali ini kita akan membahas dari sudut seorang istri yang membiarkan suaminya melakukan korupsi dengan diam, atau bahkan mendukung dari ‘balik layar’. Apakah sang istri berdosa?
Perjuangan melawan korupsi sejatinya meliputi upaya pencegahan. Dalam kaidah ushul fikih, perjuangan dalam upaya pencegahan ini dikenal dengan istilah dar’ul mafasid wa jalbul mashalih, mencegah kerusakan.
Yakni, upaya mencegah terjadinya kerusakan dapat dilakukan dengan melaku kan penindakan dan menghukum koruptor.
Hukum istri yang membiarkan suaminya melakukan korupsi adalah haram. Hal ini dijelaskan ole Wakil Sekretaris Bidang Qanuniyah Lembaga Bahsul Masail Nadhlatul Ulama (LBMNU), KH Mahbub Maafi.
Sebab tindakan itu tergolong dari i’anatu ala maksiati (membantu terhadap kemaksiatan). “Jelas haram (membantu dan mendukung suami untuk melakukan korupsi),” kata KH Mahbub.
Apabila seorang istri hanya diam jika melihat suaminya melakukan tindakan korupsi, hal itu juga dikategorikan haram. Sebab dalam prinsip Islam, mencegah kebatilan haruslah dilakukan.
Jika diamnya istri karena takut kepada suami, sejatinya ia menanggalkan ketakutannya kepada Allah SWT. Menurut dia, Allah SWT melarang umatnya untuk berlaku batil ataupun bersekongkol dalam hal kebatilan secara berjamaah, baik dengan terang-terangan ataupun diam.
Allah SWT berfirman dalam Alquran surah Al-Ma’idah penggalan ayat 2 berbunyi:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Wa ta’awanu alal-birri wattaqwa, wa la ta’awanu alal-itsmi wal-udwani.” Yang artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan, dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”
Untuk itu, Kiai Mahbub mengimbau kepada para istri untuk tidak perlu takut menegur suaminya berlaku korup. Di sisi lain, pihaknya juga menilai, hampir mustahil bagi kaum istri pada zaman seperti ini untuk tidak mengetahui gerak-gerik suaminya dalam melakukan aktivitas.
Apabila sang suami hendak melakukan tindakan korup, dia menilai dapat dipastikan istri akan menge tahui hal itu. Untuk itu, dia menyebutkan, harta yang dinikmati istri dari hasil korupsi suaminya pun dikategorikan haram.
“Apalagi, kalau sampai istrinya juga menikmati (hasil korupsi), itu haram. Dia (istri) tidak melakukan korupsi, tapi ikut menikmati, dan tahu, maka haram dan batil itu semua,” ujar dia.
BACA JUGA:Korupsi, Apakah Termasuk Dosa Besar?
Dalam buku Jihad Nahdlatul Ulama Melawan Korupsi karya para peneliti Lakpesdam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dijelaskan, apabila niat seseorang untuk melakukan tindak pidana korupsi namun belum disertai dengan pemufakatan, tindakan, atau lobi-lobi pendahuluan, yang bersangkutan tidak dapat dituntut dan dijatuhi sanksi pidana. Namun, seseorang baru bisa dituntut hukuman pada saat tindak pidananya telah nyata dilakukan.
Untuk itu, apabila seorang istri mendukung suaminya melakukan tindak pidana korupsi dan terlibat atau bersekongkol dalam pelaksanaannya, ia juga bisa dihukum pidana selain tentu akan mendapatkan dosa yang besar di sisi Allah SWT.
Menurut dia, permasalahan korupsi merupakan permasalahan akut setiap bangsa. Di Indonesia, perilaku korupsi kian nyata. Tak sedikit lingkaran keluarga ikut serta di dalam nya. Dia pun mengimbau agar perilaku korupsi harus dicegah sedari keluarga, termasuk lewat peran istri. Wallahu a’lam. []
SUMBER: REPUBLIKA